Mohon tunggu...
Paras Tuti
Paras Tuti Mohon Tunggu... Guru - Cakrawala Dunia Indonesia-Jepang

Kosong itu penuh. Dan, penuh itu kosong

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cara Takeshi San Menghormati Orang Puasa, “Tidak Banana, Kopi Saja”

13 Juli 2014   17:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:27 936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_347477" align="aligncenter" width="300" caption="Ini suguhan yang saya siapkan untuk pak Takeshi (foto koleksi pribadi)"][/caption] “Saya tidak mau makan banana dan kue ini, kopi saja, karena saya mau hormati puasa Tuti san dan teman-teman semua,” ujar Takeshi san begitu saya menyuguhi cemilan, banana buah kesukaannya dan secangkir kopi.

“Haaa?” Sontak kami tergangga.

“Baiklah Pak Takeshi, silakan dinikmati kopinya,” saya mempersilakannya sembari masih menggantungkan pertanyaan di kepala ini.

Itulah sebuah ilustrasi yang kami alami saat beribadah di bulan Ramadan di Negara Sakura ini. Siang itu, setelah ada acara kami masih melanjutkan diskusi di apartemen saya. Pada siang itu saya mendapatkan pelajaran otentik banget, bagaimana orang Jepang berpikir tentang ibadah puasa. Padahal Takeshi san ini sudah 20 tahun lebih keluar-masuk Indonesia selama di masih aktif bekerja. Dan saya anggap beliau termasuk orang Jepang yang paham tentang Indonesia termasuk paham tentang ibadah keagamaan orang Indonesia lebih dari orang Jepang yang lain.

Bisa saya ambil simpulan sementara, bahwa mereka memiliki pemikiran sebagai berikut. Menghomati orang puasa tergantung besar-kecil yang masuk mulut. Hehehe… tapi itu logis dan sah-sah saja saja mereka beranggapan demikian:).

Sebetulnya waktu itu saya bisa menjelaskan pada Pak Takeshi lebih jauh lagi dengan penjelasan yang lebih masuk dalam logika mereka. Sayang pada waktu itu, tidak ada kesempatan untuk membahasnya. Semoga saya memiliki kesempatan di lain waktu untuk menjelaskannya.

Saya pikir melalui banana yang sangat Pak Takeshi suka, saya bisa menjelaskannya. Bahwa ibadah puasa itu pada dasarnya adalah menguji keikhlasan kita sebagai manusia. Misal, menahan diri dari keinginan makan banana yang sangat disukainya. Bisa dimaklumi, sampai 40 tahun lalu, banana ini merupakan buah langka dan mahal. Dan karena Pak Takeshi sering mengunjungi Indonesia, banana ini sudah membuat beliau berbangga hati. Karena bisa makan banana sepuasnya dari berbagai jenis di negara Indonesia saat dia bertugas selama bertahun-tahun.

Kembali pada banana itu. Dengan menahan diri dari makan banana dan tentu saja juga minum kopi, kita sudah belajar untuk ikhlas mengikuti perintah Tuhan. Itu masih berhubungan dengan sesuatu yang masuk dalam perut. Selain itu masih ada beberapa point lain. Misalnya sesuatu yang diperbolehkan tapi saat kita berpuasa, kita harus menahannya, misalnya hubungan suami-istri. Atau, ikhlas melakukan ibadah baik yang lainnya.

Jadi intinya bukan tergantung besar kecil atau porsi yang masuk ke mulut, tapi rasa ikhlas untuk menahan sesuatu ini, yang terpenting. Dan tentu saja jika seorang nonmuslim ingin menghormati orang yang sedang melakukan ibadah ramadan, ya sebaiknya menahannya juga. Atau paling tidak menjauh waktu makan atau minum suguhan itu. Walaupun yang sedang melakukan ibadah puasa itu tidak memasalahkannya.

Tapi memang susah untuk menjelaskannya pada orang Jepang itu. Jadi sangat terheran-heran jika saya katakan pada mahasiswa Jepang ketika mengajar Kelas Percakapan dan Kelas Mengarang di suatu Universitas di Nagoya, bahwa saya tetap berpuasa walau mengajar dengan mengeluarkan energi yang tidak sedikit.

“Mengapa Bu Tuti melakukannya, bukannya di sini Jepang bukan Indonesia?” tanya salah seorang mahasiswa yang punya keberanian untuk bertanya secara pribadi usai perkuliahan.

“Tuhan tidak kemana-mana, Dia ada di dalam hati manusia, Dia selalu melindungi kita, tidak terbatas pada tempat kita berada,” saya berusaha menjawabnya, semoga mahasiswa, seorang anak muda Jepang itu bisa paham.

Satu lagi pertanyaan dari seorang manager di suatu anak perusahaan mobil Toyota. Ketika itu saya mengajar Bahasa dan Budaya Indonesia karyawan perusahaan yang sedang mendirikan Pabrik Cabang Luar Negeri di daerah Bekasi.

“Kalau orang sedang berpuasa dan kemudian dia pingsan, apakah puasanya batal?” Manager itu bertanya dengan nada kekuatiran tinggi.

Maklumlah perusahaan itu juga baru mempunyai pengalaman pertama menerima pekerja magang dari Indonesia 5 orang anak muda Indonesia yang sangat bersemangat dalam kerja. Dan kelimanya, Alhamdulillah di tengah musim panas yang juga waktu puasanya lebih panjang dari Indonesia masih berusaha untuk melakukan ibadah puasa.

Kembali pada pertanyaan manager itu. “Orang yang berpuasa itu harus dalam keadaan sehat lahir batin, sehubungan dengan hal tersebut ada beberapa aturan yang tertulis jelas di Kitab Suci dan Hadist.” Saya berusaha menjawab dengan semudah mungkin untuk bisa dipahami.

“Dan setiap orang itu boleh jadi ada perselisihan pendapat seiring dengan kemampuannya dalam pemerolehan pendidikan agamanya dan tergantung lingkungan di mana orang itu dibesarkan,” saya menambahkannya.

Terlihat respon Manager itu dengan manggut-manggut berulang kali. Saya merasa bersyukur, perlahan tapi pasti, semakin banyak orang Jepang yang mau mencoba mencari tahu tentang Islam. Dan tentu saja ini juga merupakan tanggung jawab kita bersama untuk menjaga rasa ingin tahu mereka, agar tidak berubah menjadi antipati.

Misalnya dengan menjaga kesehatan kita yang terus prima saat menjalankan ibadah puasa. Jangan sampai ambulance datang karena kita pingsan di tengah kerja. Karena akan berimej buruk. Dengan begitu, kita sudah dianggap mengganggu dan merepotkan orang lain untuk bisa memenuhi target kerja hari itu.

Satu lagi contoh, jika mereka memberikan waktu dan tempat untuk melaksanakan ibadah sholat. Kita sebaiknya menjaga area Wudhu agar tetap kering dengan berbagai cara. Karena mereka diajari sedari kecil untuk membersihkan toilet dari cipratan air.

Intinya, karena mereka sudah membuka dirinya, walaupun belum banyak, maka kita harus menjaganya, sesuai dengan kondisi atau kebiasaan yang mereka miliki, agar kita terlabeli menjadi muslim yang elegan dan patut dihormati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun