Ketika penciptaku saja mengizinkannya memiliki 2, 3, atau 4 istri, bagaimana aku akan menolak dan mendemo Tuhanku? Namun seandainya bisa, aku ingin menjadi satu-satunya, sebagaimana aku menjadikannya satu-satunya dalam hidupku.
Aku berbicara dengan diriku, dengan anak perempuanku, dan seluruh perempuan yang membaca tulisan ini. Mungkin saja kalian akan mengalami hal yang aku alami ini. Karena kelak pasti akan datang hari dimana engkau sendiri tidak akan tahu apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi.Â
Kita akan ditampakan dengan perkara yang kita sendiri belum siap, namun harus dituntut siap, apapun itu. Entah kehilangan, kemiskinan, kegagalan. Dan ketika hal itu terjadi, yang aku inginkan hanyalah satu. MengingatMu  dan berucap, "Ya Allah, aku hambaMu dan aku hidup hanya untuk mengabdi kepadaMu. Semua telah tercatat di lauhul mahfudzMu. Maka kuterima hal itu dan aku hanya berharap kekuatan dariMu."
Tak dapat kupungkiri bahwa aku menikah dengan suamiku karena beliau memiliki kepribadian yang sangat menarik perhatianku hingga aku bersedia mengabdikan diri kepadanya. Aku mencintainya yang tak sepenuhnya karena cintaku padaMu, ampuni aku ya Allah.Â
Namun di antara kekagumanku pada suamiku, terselip sebuah ketenangan bahwa, bersama suamiku aku akan menjadi pribadi yang lebih baik, suamiku orang yang begitu sabar, begitu tenang menghadapi permasalahan dalam perjalanan hidupnya, suamiku orang yang bisa mendamaikan kegelisahanku, dan aku menitipkan harapan bahwa kelak suamikulah yang akan menjadikanku istri solehah hingga kelak akan dijadikan pula diriku ini bidadari yang menemaninya di syurga, bersama bidadari-bidadariMu.
Tapi ya Allah, mengapa bayangan bidadari-bidadari syurga itu sudah nampak di pelupuk mataku? Ketika aku harus menerima bahwa suamiku ingin menambah bidadari-bidadarinya di dunia. "Jatahku empat." Katanya.
Aku tak akan pernah mengelakMu, aku tak akan menentang keinginannya, namun betapa sakit hatiku membayangkan seandainya hal itu benar terjadi. Masih bisakah aku meraih syurgaMu sebagai istri soleha yang taat padaMu dan juga taat pada suamiku? Masih bisa ikhlaskah hatiku berbagi suami? Bisakah aku melandaskan ibadah dalam pernikahanku?
Ya Allah, aku tidak khawatir dengan ketentuanMu, aku pun tidak khawatir dengan keadilan suamiku. Aku juga tidak khawatir dengan orang-orang sekelilingku. Yang aku khawatirkan adalah diriku sendiri.
Aku khawatir bahwa meskipun Engkau telah menciptakan takdir baik untukku dengan menjadikan suamiku berpoligami, justru hatiku yang kotor ini terus menerus mengelak akan kebaikan-kebaikan yang semestinya kuraih dalam sabarku. Aku takut seandainya suamiku sudah bersikap adil sekalipun terhadap aku dan istri-istrinya serta terhadap anak-anakku dan anak-anak lainnya, aku akan tetap merasa bahwa yang dilakukannya terhadap mereka tak akan pernah sebanding dengan apa yang dipersembahkannya kepadaku.Â
Dan aku sangat khawatir seandainya semua orang telah begitu memahami keadaan kami sekalipun, aku justru menghakimi mereka dengan menganggap bahwa semua orang di sekelilingku jahat dan tak memihak kepadaku.
Sungguh bukan perkara aku ragu pada ketentuan yang Engkau miliki, melainkan aku ragu pada hatiku yang tak pernah bisa berusaha jernih dalam menerima apapun yang tidak aku kehendaki. Ampuni aku, ya Allah.