Mohon tunggu...
Muhammad Ikhsan
Muhammad Ikhsan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Lahir di Sinjai, remaja di Makassar, diospek di Bogor, [.....] di Jepang. Mahasiswa Ilmu Komputer di Institut Pertanian Bogor, tertarik dengan isu-isu sospol. Blogger kurang konsisten di http://pararang.com. #KnowledgeSeeker

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengimpor Ikan dari Laut Sendiri, karena Semua yang Impor Itu Keren

29 Maret 2011   09:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:19 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tersenyum miris juga baca berita di portal kompas pagi ini yang berjudul "Stop Impor Ikan"KW 2"". Disitu dikatakan sebanyak 200 kontainer berisi 5.300 ton ikan beku ditahan di pelabuhan Belawan Medan, pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, Tanjung Perak Surabaya, Tanjung Mas Semarang, serta di Bandar Udara Soekarno-Hatta Tangerang. Mayoritasnya berupa ikan kembung, layang, teri, tongkol kecil sampai ikan asin. Ikan beku itu ditahan karena tidak memilki izin impor.

Sudah seharusnya setiap importir mengurusi izin masuk bagi semua barang yang akan mereka impor ke Indonesia. Namun bukan karena tidak adanya izin impor ini yang membuat kita semua prihatin, tapi barang apa yang coba diimpor ke Indonesia, ikan.

Ada yang perlu kita pertanyakan dan perbaiki dalam kasus ini. Wilayah Indonesia yang didominasi lautan serta tidak ada yang membantah bahwa lautan Indonesia merupakan wilayah perairan yang kaya akan sumber daya termasuk ikan laut yang berlimpah. Namun, pada kenyataannya ternyata masih ada pihak yang berusaha untuk mengimpor ikan ke negeri ini.

Para importir tidak akan melakukan hal tersebut seandainya tidak ada permintaan akan hal tersebut, dalam hal ini animo masyarakat untuk membeli. Jawabannya mungkin kita dapatkan dari ilustrasi berikut: harga ikan kembung impor dari China berkisar Rp 5.000 per kilogram, sedangkan ikan kembung lokal Rp 20.000 per kilogram. Yah, mungkin inilah salah penyebab kenapa permintaan pasar dalam negeri terhadap ikan impor masih ada dan tergolong tinggi meskipun kita mempunyai laut dengan jutaan ton ikan di dalamnya.

Inilah yang pantas disebut paradoks perikanan Indonesia. Untuk menikmati ikan dengan jenis yang sama dan dengan harga yang terjangkau, kita harus mendapatkannya dari tanah seberang. Sementara kita membiarkan perairan kita di"oprek" oleh kapal-kapal penangkap ikan dengan bendera negara lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan kita malah mengimpor ikan dari perairan Indonesia sendiri. Seperti diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Fadel Muhammad yang mengakui bahwa ikan-ikan impor berasal dari laut Indonesia yang dicuri oleh kapal-kapal asing di perbatasan. Ujung-ujungnya nelayan kita yang kena dampaknya, ikan tak laku sementara anak-anak mereka butuh nasi, butuh pendidikan serta sandang, pangan dan papan lainnya.

Kita, khususnya pemerintah dan tentunya dengan dukungan berbagai pihak yang berkompeten harus mampu memaksimalkan potensi perairan kita, menjadi stackholder yang kuat bagi industri perikanan nasional dalam mengefesiensikan biaya produksi sehingga harga jualpun dapat terjangkau oleh para konsumen, khususnya konsumen dalam negeri. Sehingga tidak ada lagi alasan untuk mengimpor ikan, apalagi harus mengimpor ikan sekelas ikan kembung dan ikan teri.

Kalaupun hal ini kita biarkan berlarut-larut maka betapa malasnya kita, atau betapa lugunya kita. Kita harus membiarkan orang luar mengambil sumber daya kita agar kita dapat memilikinya dengan harga murah. Inilah kita negara agraris dengan berbagai kasus kelaparan dan busung laparnya. Inilah kita negara maritim yang perbatasannya dijaga kapal nelayan negara lain. Inilah kita negara agraris yang masih harus belajar menanam. Inilah kita negara maritim yang masih harus belajar berenang. Atau bangsa ini, Indonesia, tidak lagi pantas diidentikkan dengan sebutan negara agraris ataupun negara maritim. Dua sebutan bagi Indonesia yang pernah membuat saya ber"wah" ketika pertamakali menemukan istilah ini dipelajaran Geografi waktu SMP.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun