Berbeda dengan saos lain yang bisa digunakan secara bergantian, keberadaan sambal kacang pada patatje oorlog layaknya sebuah pakem yang tak boleh dilanggar.
Sambal kacang adalah salah satu bentuk budaya yang diimport oleh Belanda dari Indonesia, baik melalui sejarah panjang kolonialisasi maupun migrasi masyarakat Indonesia ke Belanda.
Saat ini, banyak restoran di Belanda yang menyajikan patatje oorlog dengan berbagai variasi sambal dan saosnya. Namun patatje oorlog dalam bentuk yang paling orisinil menggunakan 3 kombinasi dalam toppingnya: sambal kacang, mayonaise dan potongan bawang.
Kompleksitas cita rasa sambal kacang ala Indonesia memang tak mudah untuk direplikasi di Belanda. Beberapa bumbu yang digunakan dalam membuat sambal kacang seperti: kencur, jahe, terasi, daun jeruk ataupun asam jawa tak mudah ditemukan di Belanda. Namun hal itu tak menyurutkan kegemaran masyarakat Belanda kepada sambal kacang.
Salah satu cara yang sering digunakan adalah menggunakan sambal ulek kemasan untuk menggantikan sentuhan macam-macam empon-empon dalam membuat sambal kacang. Masyarakat Belanda juga sering menggunakan sambal kacang – atau yang mereka sebut sebagai satay sauce – untuk mencocol aneka makanan seperti roti, ketimun, kroket, dll.
Patatje oorlog sekilas tampak sebagai kudapan biasa namun di dalamnya ada metafora yang sulit untuk diingkari. Kontrasnya warna coklat sambal kacang dan mayonaise yang putih saling berebut ruang dalam wadah seperti sedang berperang, namun justru menciptakan harmoni rasa. Mayonaise yang dingin terasa kontras dengan sambal kacang yang sedikit pedas. Metafora yang kian jelas bila mengingat kehadiran patatje oorlog yang berjalin kelindan dengan sejarah kolonialisme.
Patatje oorlog mengingatkan saya pada realita bahwa sejarah kekerasan dan penindasan sering tersembunyi dalam hal-hal yang terlihat biasa-biasa saja dalam keseharian, seperti dalam makanan, pakaian, maupun bahasa yang kita gunakan.
Senja itu, menyantap patatje oorlog telah mengantar kami pada percakapan yang tak terduga.
“I am sorry for the past,” ujar Annemarie terdengar lirih, ringkas namun jelas dan tulus.
Untuk kesekian kalinya saya mendapat ucapan serupa dari kawan yang berasal dari Belanda. Hingga kini pun saya masih tak tahu jawaban yang paling tepat untuk merespon ucapan tersebut. Pahit getir rasa bersalah sebagai beban sejarah kolonialisasi ternyata tak bisa ditepis begitu saja bahkan oleh generasi yang hidup berpuluh tahun sesudahnya.
Setiap kesalahan membutuhkan pertanggungjawaban. Setiap luka membutuhkan pemulihan. Kami sama-sama tahu pemerintah kedua negara tengah berproses mencari cara terbaik untuk itu. Namun setidaknya, sejarah kelam itu tak perlu menjadi hambatan untuk saling berteman sebagai sesama manusia.