Mohon tunggu...
Paramesthi Iswari
Paramesthi Iswari Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu Rumah Tangga

Ibu rumah tangga. Sedang belajar untuk kembali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Realistis Sikapi Program Makan Bergizi

24 Juli 2024   10:31 Diperbarui: 24 Juli 2024   11:44 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi makan siang untuk pelajar (Dok. Shutterstock/Peaceloving Pax via Kompas)

Untuk kesekian kalinya publik gaduh memperbincangkan program makan bergizi.  Kali ini publik bereaksi terhadap kabar pemotongan anggaran yang semula Rp. 15.000,- menjadi Rp.  7.500,- per porsi.  Masyarakat mempertanyakan kualitas makanan dengan anggaran terbatas tersebut.  Apalagi dengan praktek korupsi dan mark-up yang masih sering terjadi dapat berimplikasi pada kuantitas dan kualitas makanan yang tidak sesuai dengan perencanaan.

Belakangan kabar tersebut ditepis oleh Menteri Airlangga Hartarto dan wapres terpilih, Gibran Rakabuming.  Keduanya menegaskan bahwa hingga kini semuanya masih dalam taraf pembahasan.

Sekedar mengingatkan, ini adalah kesekian kalinya program tersebut direvisi, baik dari segi penamaan (dari makan siang, lalu menjadi sarapan, diubah lagi jadi makan bergizi), tujuan dan sasaran (dulu untuk mengatasi tengkes & gizi ibu hamil), bentuk (susu diganti telur), hingga anggaran. Hal itu seperti membenarkan dugaan bahwa pada saat digagas dan dilontarkan ke publik tampaknya program tersebut memang baru sebatas omon-omon yang belum dikaji secara mendalam. Atau mungkin juga memang sengaja dibuat kontroversial untuk mendongkrak angka elektabilitas.

Dengan anggaran sebesar Rp. 71 triliun pada tahun 2025 program tersebut dapat menjangkau 17,9 juta siswa, dengan asumsi biaya Rp. 15.000,- per porsi.  Bila biaya per porsi adalah Rp. 9.000,- maka dapat menjangkau 29,8 juta siswa dan bila biaya per porsi sebesar Rp. 7.500,- maka dapat menjangkau 36 juta siswa.  Hitung-hitungan inilah yang tampaknya menjadi pangkal bermulanya kabar pemangkasan anggaran program.

Dilema Antara Tujuan Mulia dan Keterbatasan Sumber Daya 

Program makan bergizi untuk pelajar atau lazim dikenal sebagai "school meals" telah dilaksanakan di berbagai negara di dunia. Program tersebut memiliki berbagai manfaat seperti: meningkatkan kualitas nutrisi pada anak, meningkatkan konsentrasi siswa, meningkatkan jumlah keikutsertaan anak di bangku sekolah dan mengurangi angka putus sekolah, menjadi sarana literasi gizi, mengurangi angka malnutrisi dan obesitas, dll. 

Namun, besarnya anggaran yang dibutuhkan membuat publik mempertanyakan realisasinya.  Apalagi situasi perekonomian dunia yang cenderung lesu saat ini banyak berpengaruh terhadap perekonomian dalam negeri. Meski data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih cukup baik, namun terjadinya kenaikan harga kebutuhan pokok, ekskalasi penutupan bisnis dan angka pengangguran membuat publik sangat sensitif terhadap pembahasan tentang alokasi APBN. Banyak program perlindungan sosial (dan pendidikan) yang dianggap masih harus dipertahankan dalam APBN dan tidak bisa digeser begitu saja demi mengakomodir program baru dengan anggaran fantastis.

 

Kalau anggarannya terbatas, lalu sekarang harus bagaimana ? 

Sederhana saja, bersikaplah realistislah. Program makan bergizi perlu banyak menyesuaikan dengan keterbatasan anggaran tanpa harus mengorbankan substansinya. 

Realistis Dalam Sasaran dan Pembiayaan

Bila merujuk pada gagasan awal program makan bergizi, awalnya program tersebut akan diberikan kepada seluruh pelajar di tingkat TK sampai dengan SMA dengan anggaran sebersar Rp. 450 triliun. Rencana awal tersebut menyerupai skema "universal school meal" sebagaimana diterapkan di Finlandia. Dalam skema tersebut semua pelajar - tanpa kecuali - mendapatkan makan siang yang sepenuhnya didanai oleh negara.  Penerapan school meals di berbagai negara pernah saya ulas dalam artikel Kompasiana terdahulu.  

Namun perlu diingat bahwa Finlandia adalah negara dengan GDP per kapita yang jauh lebih tinggi dari pada Indonesia. Data tentang GDP per kapita yang dilansir Worldometer menempatkan Finlandia pada peringkat ke 21 dan Indonesia pada peringkat ke 96.

Dengan GDP yang jauh lebih kecil, jumlah pelajar lebih banyak, apakah sudah tepat jika program makan bergizi pelajar di Indonesia menggunakan skema universal school meal ? 

Beberapa negara lain memilih menerapkan skema "subsidized school meal".  Dalam skema subsidi, program makan bergizi dilaksanakan secara nasional namun pembiayaan oleh negara difokuskan untuk pelajar dengan kriteria tertentu, misalnya berasal dari masyarakat berpenghasilan rendah, difable, dll. Salah satu negara yang sukses menerapkan skema ini adalah.  Di Portugal, program nasional makan untuk pelajar dilaksanakan dengan ketentuan subsidi 100% bagi siswa ekonomi lemah, 50% bagi siswa dari ekonomi menengah, dan membayar penuh bagi siswa ekonomi atas.

Skema pembiayaan subsidi untuk program makan bergizi tampaknya lebih realistis untuk konteks Indonesia.  Dengan skema pembiayaan subsidi, mungkin dana yang dibutuhkan lebih kecil dari Rp. 450 triliun. Adanya basis data yang kuat dan sinkron lintas instansi tentu menjadi dasar yang penting untuk pelaksanaan skema pembiayaan tersebut agar tak terjadi kericuhan dalam pelaksanaanya.

Realistis Dengan Prioritas dan Pentahapan

Sejauh ini pembahasan yang berjalan sudah memasukkan rencana pelaksanaan secara bertahap dengan meletakkan kriteria 3T (terdepan, teluar, tertinggal) sebagai prioritas dalam tahun pertama pelaksanaan. Selain itu, mungkin juga dapat ditambahkan prioritas berdasarkan jenjang pendidikan.  Misalnya, prioritas untuk siswa TK dan SD pada tahun petama pelaksanaan. Dengan demikian tahun pertama pelaksanaan dapat menjadi uji coba yang benar-benar terukur dan dapat menjadi landasan bagi kelanjutannya.  Perlu diingat bahwa kesuksesan program school meals di negara-negara lain tidak dibangun seketika melainkan lewat proses panjang.  Apalagi mengingat besarnya jumlah pelajar di Indonesia, keberagaman dan kondisi geografis menyajikan tantangan tersendiri dalam pelaksanana proram makan bergizi.

Realistis Dalam Bentuk

Atas praktek school meals di berbagai negara, FAO (Food and Agriculture Organization) membuat guidelines/pedoman tentang gizi dalam school meal.  Di dalamnya disebutkan ada 3 macam modalitas/ bentuk school meals yang diterapkan, yaitu: sarapan, makan siang, dan makanan tambahan/snack.  Masing-masing memilki standar kandungan gizi yang berbeda, yaitu sarapan dengan kandungan 20% dari kebutuhan energi harian dan 30%  pada makan siang. 

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang disarankan oleh Kementrian Kesehatan untuk anak usia 10 -- 12 tahun adalah 2000 kalori per hari. Merujuk pada standard tersebut maka paket sarapan pada program makan bergizi idealnya mengandung 500 kalori dan 700 kalori untuk makan siang. 

Kemenkes RI
Kemenkes RI

Masing-masing bentuk school meals memiliki konsekwensi besaran pembiayaan yang berbeda.  Barangkali, penyesuaian inilah yang selama ini mengakibatkan perubahan berkali-kali dalam penamaan program makan bergizi yang semula digagas sebagai makan siang kemudian diubah menjadi sarapan dan saat ini demi fleksibilitasnya dinamai sebagai program makan bergizi. 

Pilihan bentuk dalam program makan bergizi, perlu memperhatikan ketentuan nutrisi baik yang direkomendasikan oleh FAO maupun oleh Kemenkes sehingga tidak mengorbankan kualitasnya.  Memaksakan realisasi program dengan anggaran yang sangat minim (Rp. 7.500,- per porsi) beresiko pada buruknya kualitas gizi makanan sehingga tujuan peningkatan nutrisi asupan anak tidak tercapai dan malah membuahkan problem baru malnutrisi dan problem kesehatan pada anak. Misalnya bila realisasinya makanan yang diberikan hanya nasi, mie dan secuil lauk yang secara nutrisi kurang berkualitas.  Hal tersebut bukan hanya berdampak pada kekecewaan publik yang berimbas pada elektabilitas dalam pemilu yang akan datang namun juga dapat menjadi sorotan internasional yang negatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun