Kesalahan yang kedua, dari sisi psikologis penciptaan labelling tentunya berpengaruh besar. Saya jelakan dengan satu teori saja yaitu self-fullfilling prophecy. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa anggapan kita terhadap suatu hal dapat mempengaruhi perilaku kita sehingga menciptakan keadaan seperti yang ada dalam pikiran kita. Secara mudahnya anggapan kita terhadap sesuatu secara tidak sadar mempengaruhi kita untuk menciptakan keadaan tersebut secara nyata.
Penelitian dilakukan dengan membagi dua kelompok siswa berIQ rata-rata. Kemudian guru diberi tahu bahwa satu kelompok memiliki IQ yang jauh di atas rata-rata dan yang lain biasa saja (padahal keduanya sama saja). Dan hasilnya menngejutkan adalah kelompok yang diberi labelling berIQ tinggi menunjukkan prestasi yang lebih bagus daripada kelompok satunya. Mengapa? Karena secara tidak langsung dan tidak disadari guru memberi perhatian yang lebih khusus kepada kelompok berIQ tinggi tersebut.
Dan adanya labelling bahwa kelas KMS itu bodoh-bodoh dan sebagainya (salah satu oknum guru yang mengatakannya) ditakutkan menciptakan pengaruh terhadap perilaku pengajar (guru) dalam mengajar kelas tersebut sehingga akan terjadi suatu diskriminasi yang tidak disadari.
penutup
Apa yang saya tuliskan disini bukan bermaksud mendiskreditkan atau menyalahkan pihak tertentu. Hanya saja saya kurang setuju dengan fenomena yang tersebut. Mengapa saya tuliskan beberapa pihak karena saya ingin agar mereka melakukan koreksi terhadap kebijakan mereka dan tulisan ini dapat menjadi sebuah masukan bagi mereka. Saya sungguh berharap mereka yang mampu (alumni, pakar pendidikan, penentu kebijakan, dsb) meneruskan pemikiran saya ini dapat menyalurkannya ke pihak yang bersangkutan agar tercipta kondisi yang lebih baik bagi semua pihak. Mari bersama membangun pendidikan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H