Sebenarnya saya mulai tergelitik tentang masalah ini sejak awal tahun ajaran baru. Namun selama ini saya selalu mencoba positif thinking terhadap hal ini. Baru ketika tadi pagi mendengar cerita dari seorang teman, maka saya yakin bahwa pemikiran ini haruslah disampaikan.
aturan yang mendiskreditkan?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa baru-baru ini legislatif mengesahkan UU BHP yang tentunya berpengaruh banyak terhadap dunia pendidikan kita. Salah satunya adalah aturan dimana setiap institusi pendidikan wajib memberikan porsi tersendiri (saya lupa berapa persen tepatnya) bagi warga miskin dari kuota total. Namun tentu saja seperti isu-isu lainnya yang hilang ditelan masa, UU BHP kini sudah tidak diperbincangkan lagi.
Namun disadari atau tidak, kini seluruh instansi pedidikan mulai berbenah diri untuk menyesuaikan dengan aturan yang baru tersebut. Salah satunya adalah melalui sistem penerimaan siswa baru PSB online yang dilakukan di Yogyakarta dimana rakyat miskin (warga berKMS) mendapat perlakuan khusus.
Untuk tahun ini, siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu diberi jalur tersendiri dalam mendaftar sekolah di kota Yogyakarta. Mereka diberi kesempatan khusus untuk mendaftar yaitu sebelum dilaksanakannya Penerimaan Siswa Baru secara serentak dan online serta memperebutkan jatah/kuota khusus di sekolah yang diinginkan. Harapannya adalah sebagai bentuk penerapan UU BHP yang mewajibkan adanya kuota warga kurang mampu dan tentunnya memberi akses jaminan kepada warga kurang mampu agar benar-benar tidak terlalu dibebani oleh biaya pendidikan (tentunya siswa yang terdaftar sebagai siswa KMS harus mendapat perlakuan khusus dalam masalah administrasi).
dan masalah muncul
Sebelumnya saya khawatir bahwa dengan sistem kuota tersebut justru mengurangi kesempatan orang miskin untuk bersekolah. Karena logikanya jika orang miskin dibatasi jumlahnya, lalu bagaimana jika jumlahnya melebihi kuota? Akankah mereka tetap tertampung? Untungnya fakta membuktikan yang sebaliknya. Justru animo siswa ber-KMS sangat kecil dan bisa dibilang hampir semua sekolah kuotanya tidak terpenuhi.
Kekhawatiran saya yang kedua adalah sistem tersebut justru makin menunjukkan antara mana orang miskin dan orang mampu. Jika dengan sistem yang dahulu informasi tentang orang miskin hanya diakses oleh kalangan terbatas (birokrasi, TU, kepala sekolah, dsb) kini justru informasi tersebut muncul secara terang-terangan. Dan parahnya itu benar-benar terjadi.
Tadi pagi saya mendapat berita mengejutkan dari teman-teman saya yang melakukan observasi di sebuah SMP Negeri favorit (sebut saja SMP * YK) tentang fenomena yang menarik. Ternyata selain kelas SBI dan akselerasi, kini muncul trend baru di dunia pendidikan kita yaitu kelas KMS.
Muncul sebuah pertanyaan besar dalam diri saya adalah apa maksud dari sekolah tersebut melakukan pembagian semacam ini? Setahu saya, sejak Islam masuk ke Indonesia dan menggantikan hindu maka sistem kasta telah dihapuskan. Lalu kenapa sekarang muncul lagi pembedaan antara siswa miskin dan siswa mampu ekonomi?
Karena di dunia saya selalu mengharuskan saya untuk selalu berpikir positif maka saya pun melakukannya. Satu-satunya alsan yang terlinntas dipikiran saya adalah adanya perbedaan NEM. Saya teringat cerita kejadian bahwa ternyata mayoritas pengguna KMS memiliki NEM yang relatif lebih rendah daripada standar sekolah tersebut. Kalo misalnya suatu sekolah memiliki NEM rata-rata dari jalur PSB Online 35, maka banyak dari pengguna KMS yang masuk hanya dengan NEM sekitar 25an. Dan mereka tentu diterima di sekolah tersebut karena minimnya peminat pendaftaran menggunakan sistem KMS jauh dibawah kuota yang disiapkan.
Jadi menurut pikiran positif saya, mereka dibedakan bukan karena mereka miskin, tetapi karena NEM mereka (dan mungkin kemampuan intelektual mereka) yang relatif berbeda dengan siswa lainnya.
Namun tetap saja saya tidak setuju dengan adanya kelas KMS. Minimal itu menyalahi dua hal yaitu secara filosofis dan secara psikologis. Secara filosofis, keberadaan kelas tersebut menunjukkan adanya diskriminasi terhadap orang miskin. Maka seburuk-buruknya adalah mereka yang memandang manusia dari sisi materi, dan merasa diri mereka lebih baik dari orang lain karena mereka memiliki materi.