Mohon tunggu...
khusni mustaqim
khusni mustaqim Mohon Tunggu... -

ketika semua orang berpikir tentang putih maka aku berusaha untuk berpikir tentang hitam,, ketika semua orang berpikir tentang kebaikan maka aku akan berusaha berpikir tentang keburukan,,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keluar Istana bak Pahlawan?

24 Oktober 2009   01:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:33 1489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pria kecil itu kini tak berada lagi disana. Kini kumis tipisnya tidak akan lagi terlihat di dalam bangunan putih tersebut. Dia keluar dengan senyum dan kembali menikmati kehidupannya sehari-hari. Sungguh seharunya dia bersyukur telah keluar gedung itu dengan senyum. Kini hanya ada satu matahari dalam tempat itu.

Empat puluh tiga tahun yang lalu sang orator itu diusir keluar dari tempat itu dan dikucilkan. Sebelas tahun lalu Jendral yang tersenyum itu juga keluar setelah diusir oleh ribuan orang dijalanan. Tak lama anak jenius itu juga keluar dengan hardikan. Delapan tahun lalu sang Kiai pun keluar hanya berkaos dalam dan celana pendek. Lima tahun yang lalu Srikandi pertama itu pun juga keluar dengan penuh aura perlawanan. Sungguh telah banyak orang keluar dari tempat itu dengan penuh luka coreng.

Namun apa yang terjadi padanya justru berbeda. Pria itu keluar bak pahlawan. Meski dia hanya bulan tetapi dia disamakan seakan matahari. Namanya dielu-elukan oleh semua orang, bahkan oleh mereka yang bukan bagian dari 13 pendukungnya saat Juni.

Hanya pada masa lelaki itu lah beringin raksasa tersebut mampu menjadi sebuah beringin, meski kini itu semua kandas karena beringin tersebut justru lebih suka menjadi tanaman rambat. Tetapi perlu kita akui seumur hidup, baru kali ini beringin itu berani untuk (bahkan hanya sekedar berpikir) tumbuh sendiri tanpa perlu merambat ke pohon lain.

Mungkin lelaki itu tidak tampan, tidak pula anggun dan pandai berkata-kata. Dirinya pun tidak fotogenik sehingga tidak banyak penggemarnya. Tapi sungguh, mereka yang mendukungnya melihat jauh ke dalam diri lelaki Makassar itu. Dirinyalah yang mereka kagumi. Meski mungkin lelaki berpeci itu bukanlah matahari yang seharusnya menyinari kami selama lima tahun ini, namun sinarnya jauh lebih terang daripada matahari itu sendiri. Dua yang bisa kami katakan saat kaki lelaki berlapis sepatu buatan Indonesia itu melangkah keluar: Selamat Jalan dan Terima Kasih. Lelaki itu sungguh lebih besar dari apa yang tampak oleh mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun