Mohon tunggu...
fendi chaniago
fendi chaniago Mohon Tunggu... -

aku alumni smk negeri 2 medan tahun 2005,aku orangnya sederhana, berasal dari keluarga yang biasa aja, tapi memiliki kasih sayang yang luar biasa banyaknya. aku anak ke 2 dari 3 bersaudara. hobi membaca, olahraga, dan maen musik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

menjadi Qurban

6 November 2011   07:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:00 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: nur efendi

Idul adha atau juga di kenal dengan sebutan hari raya qurban telah tiba. Halaman Mesjid dan lahan-lahan kosong dijadikan tempat untuk pelaksaaan pemotongan hewan kurban. Beramai-ramai masyarakat datang untuk menjadi panitia atau sekedar menyaksikan jalannya proses penyembelihan hewan kurban itu.

Setelah selesai menyembelih dan memotong-motong daging qurban menjadi bagian-bagian kecil, maka para panitia segera akan membagikan jatah daging kurban tersebut kepada orang-orang miskin di sekitar kampung itu.

“maaf nak, uwak tidak mau. Kalian berikan saja sebagai tambahan daging untuk yang lain” ucap wak syarif ketika panitia kurban yang bertugas untuk membagikan daging kurban itu datang ke gubuknya.

Wak Syarif, begitulah panggilan masyarakat padanya. Pria paruh baya itu memang setiap tahunnya selalu mendapatkan jatah daging Qurban. Penunjukkan Wak Syarif sebagai penerima daging qurban bukanlah tanpa sebab. Ia termasuk beberapa orang yang terbilang miskin di kampung itu. Ia tinggal di gubuk rewot yang berdinding tepas dan bertembok bata separuh. Orang tua itu tinggal sebatang kara, semenjak ia di tinggal mati oleh istrinya. Apalagi selama ini mereka tidak di karuniai anak. Berbekal dana pensiun nya sebagai pegawai Pemda rendahan, wak Syarif membiayai kehidupannya sendiri. Untuk mengisi kesehariannya, dengan tubuhnya yang sudah renta itu tiap harinya ia mencoba mengolah kebun setapak di belakang gubuknya. Di tanah itu ia tanami singkong dan berbagai jenis sayur-sayuran yang bisa di konsumsinya sendiri.

“tapi ini memang bagian buat uwak” ungkap pemuda itu.

“tidak apa nak, berikan saja pada yang lain” Wak Syarif masih saja menolak.

Si pemuda sedikit kebingungan. Apa ada suatu kesalahan yang panitia lakukan sehingga Wak Syarif tidak mau menerima lagi daging qurban yang telah terbungkus dalam plastik keresek hitam itu.

“biar saya tambahkan satu bungkus lagi. Maklum wak, semakin tahun orang yang berqurban juga semakin berkurang, jadi potongan dagingnya di buat agak kecil agar cukup buat semua orang-orang yang membutuhkan di kampung kita ini.” Pemuda itu mengambil satu lagi bungkusan daging.

Senyum yang terlihat sederhana terbentuk di bibir kering Wak Syarif.

“bukan nak, bukan karena jumlahnya yang sedikit” ia menepuk-nepuk bahu pemuda itu “sudah setiap tahun uwak mendapatkan jatah daging qurban dari mesjid. Tiap tahun pula uwak merasakan kebahagiaan.Bukan sekadar dari daging yang nanti bisa uwak nikmati untuk beberapa hari. Namun, uwak merasa diperhatikan oleh kalian sebab kalian masih ingat dengan orang tua renta sebatang kara seperti uwak ini.”

“tapi, kenapa sekarang uwak tidak mau menerimanya?”

Sekali lagi senyuman sederhana itu tergambar di wajah renta ditambah pula kempot pipinya.

“tahukah kau anak muda” ucapannya terhenti sejenak oleh dehemannya, “apa tujuan dari berqurban?” lanjutnya lagi.

Pemuda tersebut diam sejenak. Mungkin tak banyak yang dia tau, sedangkan ia hanya sebagai panitia pelaksana dan belum pernah pula mendapatkan kesempatan untuk berqurban.

“untuk menggembirakan fakir miskin. Mereka dapat mengambil manfaaat dari daging yang mereka makan”

“apa hanya itu saja?” potong Wak Syarif.

“untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai tanda ketaatan terhadap perintahnya”tambah pemuda itu lagi.

“ya, untuk itu semua lah maka uwak berqurban. Adakah sebagian manusia yang masih menganggap dengan berqurban maka ia akan dipandang kaya dan dermawan. Bila ada, maka tanyakan padanya. Apakah berarti sekarang uwak sudah menjadi orang yang kaya dan dermawan?.”

Pemuda tersebut semakin memutar otaknya. Ia mencoba memahami maksud dari perkataan orang tua itu.

“sekarang pergilah nak, berikan bagian itu pada mereka yang lain.”

Dengan raut kebingungan, pemuda itu mengucap pamit dan melangkah meninggalkan gubuk Wak Syarif.

Sesampainya pemuda itu kembali ke mesjid. Ia mencari tau tentang siapa-siapa saja orang kampung yang menjadi pengkurban tahun ini. Di temuinya lah seorang pria berumuran 40 tahunan yang menjadi penanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan qurban di kampung itu.

“mereka yang berkurban masih sama seperti tahun yang lalu. Hanya ada tambahan beberapa ekor kambing lagi dari orang yang tidak mau di sebutkan namanya.” Jelas pria yang bertugas sebagai ketua dalam kegiatan kurban di mesjid itu.

“bolehkah ku tau namanya?.”

“orang itu adalah Wak Syarif. Sudah lama ia menabung dari uang pensiun yang di dapatkan nya tiap bulan. Ya… hanya untuk bisa berqurban”

Pemuda itu terdiam. Ia telah mengerti maksud perkataan dari seorang tua yang renta itu. Sungguh… ia telah menjadi Qurban untuk dirinya meski tak sepenuhnya menjadi seperti ismail yang sebegitu ikhlas memenuhi permintaan Allah.

Kandang kancil, 6 November 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun