Mohon tunggu...
Paradha Wihandi Simarmata
Paradha Wihandi Simarmata Mohon Tunggu... Lainnya - Orang yang masih sangat bodoh..

Ja Sagen!!!

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Hutan Lautan Api

10 Oktober 2019   16:06 Diperbarui: 10 Oktober 2019   16:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebakaran hutan dan atau lahan (Karhutla) telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, dan PP No.4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. 

Peraturan-peraturan tersebut menjadi acuan jelas bahwasanya pembukaan lahan dengan cara membakar hutan akan dituntut di Pengadilan Tinggi Negeri. Tuntutan terhadap pembakaran hutan telah diatur dalam Putusan Pengadilan Negeri Tembilahan No. 94/Pid.Sus/2014/PN.Tbh beserta hukuman dan denda nya.

Namun, pada pasal 4 ayat (1) Permen LH No. 10 Tahun 2010 menjelaskan bahwa "Masyarakat hukum adat yang melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimum 2 (dua) hektar per kepala keluarga untuk di tanam jenis varietas lokal wajib memberitahukan kepada kepala desa." Permen LH tersebut membolehkan pembukaan lahan dengan cara membakar, namun hanya bagi mereka masyarakat hukum adat. 

Namun apakah benar bahwa 2 hektar hutan yang dibakar bisa di jamin tidak menyebar? Apakah benar hanya masyarakat adat yang membakar hutan untuk membuka lahan? Apa keuntungan yang di dapatkan bagi mereka yang membakar hutan?

Penyebaran api
Pembakaran hutan untuk membuka lahan pertanian atau pun perkebunan memang lebih hemat, daripada harus menyewa alat berat. Namun, dari pembakaran tersebut akibatnya merambat dan membuat kebakaran yang menjadi bencana berkala. Penyebaran api yang begitu cepatnya, dipengaruhi dari beberapa hal diantaranya: curah hujan, suhu permukaan tanah, jenis penutupan lahan, dan arah angin.

Rendahnya curah hujan membuat kandungan air di kawasan hutan menjadi menurun, sehingga daun-daun, ranting dan sebagainya mengering dan terbakar secara baik. Jadi, daun-daun, ranting dan lainnya mengering, akan mudah tersulut dengan api. Rendahnya curah hujan akan berdampak pada meningkatnya permukaan tanah, sehingga tutupan lahan sekitarnya akan mengering.

Api bisa merambat karena terdapat media yang mudah terbakar di sekitarnya. Tutupan lahan harus menjadi pertimbangan dalam membuka lahan dengan cara terbakar. Daun-daun, ranting, semak belukar, dan savana/padang rumput. Media tersebut apabila kering, akan mudah terbakar dan merembet ke segala arah. Bahan yang merembet kan api tersebut diatur juga oleh arah angin.

Menurut Hukum Buys Ballot, arah angin bergerak dari daerah bertekanan maksimum ke minimum. Banyak sekali jenis angin di Indonesia yang diapit dua benua dan samudra. Salah satunya ada yang dinamakan angin muson. 

Angin muson yang biasanya mengakibatkan kebakaran hutan disaat matahari berada di belahan bumi utara. Pada saat itu, Australia mengalami musim dingin dan menjadi daerah bertekanan maksimum. Angin tersebut dinamakan muson timur, yang terjadi pada bulan April-Oktober.

Dilema pembukaan lahan   
Lahan yang dibuka oleh warga, biasanya digunakan untuk bercocok tanam atau pun menjadi tempat berteduh. Namun, untuk membukanya tidak semudah yang dipikirkan. Warga takut memakai Permen LH no 10/2010 digunakan dalam membuka lahan nya, sebab areal jauh dari titik sumur bor, jauh dari aliran sungai, dan takut api akan merembet lebih luas.

Di suatu daerah yang menjadi sorotan kebakaran yang begitu luas (narasumber memohon untuk tidak di sebar luaskan), salah satu tokoh masyarakat melarang mereka untuk menggunakan chain saw. 

Bila ingin menggunakan chain saw, lahan nya harus di pagar terlebih dahulu. Lalu mereka mengeluhkan, bagaimana mereka melakukan itu? Uang yang mereka miliki untuk kebutuhan sehari-hari tidak akan cukup bila harus membuka lahan dengan cost yang begitu besarnya.

Jalan alternatif yang mereka pikirkan adalah menjual lahan nya ke pebisnis dan berharap agar mereka nantinya akan diberi pekerjaan di perusahaan nya. Namun, apakah perusahaan mau menampung begitu saja lahan yang dijual? Apakah ada faktor lain sehingga pengusaha mau membeli lahan nya?

Kaitan elit bermain karhutla
Mahalnya biaya membuka lahan untuk berladang, membuat banyak masyarakat yang enggan berladang. Masyarakat lebih senang menjual lahannya ke pebisnis. Penelitian oleh Herry Purnomo di Forest Policy and Economic Journal yang ditampilkan oleh majalah Tirto pada 7 Oktober 2019, mengunkap tentang bisnis menguntungkan mengenai jual beli lahan dibalik karhutla.

Aktor pembakar lahan dibagi menjadi tiga tipe: Tipe kecil, misalnya peladang atau masyarakat lokal. Tipe ini tidak berdampak besar, sebab lahan nya tidak luas. Tipe menengah, biasanya dia adalah pendatang yang menjadi perantara jual beli lahan antara elit lokal dengan pembeli di kota, Terakhir ialah tipe elit, mereka adalah aktor yang mengatur transaksi tanah.

Pembakaran yang dilakukan untuk menaikkan harga lahan. Bila lahan masih hijau, hanya dihargai Rp. 3.000.000/Ha. Bila pohon-pohon telah ditebang, harga akan naik menjadi Rp. 9.000.000/Ha. Nilainya akan lebih naik apabila lahan sudah dibakar, harganya menjadi Rp. 11.000.000/Ha. 

Metode pembakaran, menjadi pilihan termurah, karena saat land clearing, perusahaan hanya mengeluakan biaya Rp. 500.000/Ha. Sedangkan lahan yang tidak dibakar, akan mengeluarkan biaya Rp. 5.500.000/Ha.

Hancurnya ekologis
Besarnya dampak negatif dari pembakaran hutan sangat nyata dirasakan. Penambahan profit bagi mereka yang berbisnis tidak sebanding dengan: kerusakan ekologis, menurunnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya kualitas udara.

Besar kemungkinan, bahwa hewan-hewan yang ruang hidupnya terbakar akan mati, sebab tidak mampu lagi bertahan diatas kepulan asap. Hewan-hewan reptil, primata, dan juga buas tidak akan mungkin bisa berbuat banyak saat ruang hidupnya habis terbakar.

Benar bahwasanya kita tidak mudah lepas dari industri kayu, atau pun minyak sawit. Namun kita masih membutuhkan oksigen untuk bernafas, membutuhkan iklim yang nyaman, penjaga cadangan air sehingga tidak terjadi longsor dan erosi, serta keanekaragaman hayati untuk ekosistem bumi yang sehat dan berlanjut. Semua itu tidak akan didapatkan bila hutan basah tidak tersedia lagi.

Apakah karena mereka tidak memberi keuntungan ekonomi yang, sehingga kita ambil ruang hidupnya? Apa karena mereka tidak membayar sehingga tidak perlu kita suarakan kesusahannya? Banyak sekali pelajaran yang telah kita ambil dari alam. Jangan sampai hanya penyesalan yang tersisa dalam diri kita atas kerusakan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun