Melihat perkembangan lembaga riset nasional saat ini sudah "seperti" terlembagakan dengan baik, baik itu dari segi manajemen maupun birokrasi. Secara manajemen, misalnya, alokasi dana riset saat ini makin gamblang dikontrol karena sudah menjadi satu sistem. Namun hal ini tentunya tidak cukup masih banyak yang harus dibenahi agar sistem riset yang "berkelas dunia internasional", yang didengung-dengungan banyak peneliti dan lembaga peneliti kita, bisa tercapai.
Saat ini mungkin lembaga riset nasional sudah berada di track yang benar, namun kelihatannya sistem riset itu sendiri masih jauh dari apa yang disebut "berkelas dunia internasional" tadi.
Beberapa pihak mungkin bisa berargumentasi bahwa lembaga ini masih muda dan memang masih banyak yang harus dibenahi. Penulis tentunya bisa mengerti dengan alasan ini.
Namun ada yang harus dipahami secara filsafat fisikologi bahwa sesuatu yang baik itu dapat dengan mudah didoktrin atau diajarkan kepada yang masih muda. Sebaliknya kalau sudah tua maka akan sulit untuk berubah.Â
Berdasarkan filosofi ini maka ada baiknya lembaga riset nasional melangkah dengan melakukan perubahan-perubahan signifikan di lembaga riset nasional, agar apa yang diinginkan dapat tercapai secara lebih pasti. Kalau hanya berjalan seperti biasa-biasa tanpa ada perubahan signifikan maka yang terjadi hanya rekstruturisasi lembaga, bukan sistem riset.Â
Padahal perubahan utama yang harus dicapai adalah perubahan iklim riset dan sistem riset (research system). Dan ini harus dilakukan secara konsisten hari demi hari. Kalau ini tidak terjadi maka keinginan untuk mencapai "lembaga riset berkelas internasional" hanya angan-angan dan slogan semata.
Mengulas balik berdirinya lembaga riset nasional dilebur menjadi satu lembaga adalah agar mudah mengalokasikan dana dan memperbaiki sistem riset dengan mengikuti "riset satu pintu" yang diinisiasi oleh Presiden Jokowi bersama Pak Ahok ketika menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan slogan "pelayanan satu pintu".
Secara ide ini sangat baik pada hakekatnya, namun, lagi-lagi, ini harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan.
Selain itu, tujuan lainnya adalah agar mudah mensinergiskan para peneliti, yang memudahkan dan mendukung para peneliti agar bisa bekerja secara multidisiplin bila ada riset yang "overlapping" diantara sesama peneliti.Â
Karena sebelumnya hal ini sangat sudah untuk dicapai karena tidak ada konferensi atau workshop yang bisa mempertemukan para peneliti yang berbeda bidang, ditambah lagi egosentris dari lembaga-lembaga riset yang ada.Â
Saat ini, hal-hal seperti ini sangat menjadi mudah. Namun, ini tidak menjadi poin penting karena riset multidisplin itu hanya menjadi efek sampingan bila lembaga riset sudah mempunyai peneliti yang mumpuni.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa lembaga nasional masih kekurangan SDM riset yang mumpuni atau mandiri. Dan penulis setuju ini menjadi poin penting, artinya manajemen perekrutan SDM harus dibenahi.
Penulis telah lama mengusulkan dan mendengung-dengungkan agar perekrutan SDM dengan pola-pola CPNS atau PNS dengan sistem lama harusnya diubah secara signifikan. Karena sistem seperti ini sangat melemahkan bahkan menghambat lembaga riset itu sendiri untuk berkembang secara nasional maupun internasional.Â
Jadi ini harus diubah mau tidak mau atau suka tidak suka, demi kemajuan riset dan peneliti itu sendiri. Kebebasan bertanggungjawab harus diberikan sepenuhnya bagi para peneliti agar mereka bisa berkembang secara alamiah baik secara riset individu maupun dari lingkungan riset.Â
Hal ini akan membentuk karakter dari periset itu sendiri. Namun, secara administrasi memang riset harus dikontrol agar transparan, hal inilah yang harus ditangani oleh administrasi riset. Tetapi jangan mengintervensi kemadirian riset dari peneliti.
Secara umum ini pastinya banyak orang yang sudah menjadi PNS sangat tidak setuju dengan usulan seperti ini. Tetapi ini mau nggak mau atau suka nggak suka harus dilakukan, demi kemajuan riset.
Maka yang dilakukan adalah bukan malah melakukan "defense" tetapi seharusnya mendukung dengan cara mencari jalan keluar yang "win-win solution" mengutip kata yang sering dikatakan Presiden Gus-Dur.Â
Win-win solutionnya adalah dengan melakukan perubahan perekrutan peneliti untuk peneliti-peneliti selanjutnya, artinya bagi yang sudah menjadi peneliti PNS, biarkan mereka tetap menjadi peneliti PNS tanpa mengurangi hak-hak mereka sebagai ASN.Â
Tetapi pastinya ada perubahan signifikan yang dilakukan bagi perekrutan peneliti dengan cara baru, baik itu dari segi administrasi dan lainnya.Yang pasti perekrutan baru ini harus dipetakan bisa meningkatkan sistem riset nasional.
Jadi restrukturiasi lembaga tanpa melakukan perubahan dari segi perekrutan dan manajemen, penulis berpikir bisa jadi tidak sangat tepat untuk menciptakan sistem riset yang mendukung. Apalagi untuk mencapai sistem riset yang mendunia.
Misalnya dengan mempertahankan perekrutan PNS atau CPNS, yang seperti penulis jelaskan, sangat tidak baik untuk periset dan sistem riset itu sendiri, dimana kemandirian peneliti itu seharusnya dijamin dan didukung penuh tapi dikontrol secara administrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H