Media mainstream pastinya dibekali dengan kapital/modal kerja yang 'fixed. Sehingga Legalitas, official equipment, akomodasi, transportasi, dan gaji/honor pun berani diatas UMR yang berlaku termasuk bonus bonus lainnya.
Lalu bagaimana dengan teman teman yang 'hanya mampu bekerja atau menjadi Pemilik Media Non-Mainstream khususnya media online?
Dan dari jumlah itu 2.000 adalah media cetak, 674 radio, 523 televisi termasuk  tv lokal, dan lebihnya media online.
Berarti dari 47.000 media kemudian dikurangi 3.197 media yang tercatat di DPI , maka masih ada tersisa 43.803 media, apakah ini yang kemudian disebut dengan Media Non-Mainstream (MNM) karena tidak 'tercatat' di DPI?, Jika Betul, betapa mulianya teman teman MNM memberikan sumbangsih bagi bangsa Dan Negara ini.
Namun keberadaan pekerja MNM adalah realita yang tidak dapat dipandang 'sebelah Mata, dimana hasil kerja MNM Itu kemudian tersebar di APBN melalui pajak motor, uang sekolah anak, E-Money, Pulsa provider, PAM Jaya, Restribusi Parkir, Dsb.
Jika saja dari 131.409 pekerja MNM Itu terpangkas Rp.1 juta/bulan untuk hal diatas, maka Negara mendapat sekitar Rp.131,4 milyar/bulan atau  Rp.1,576 trilyun/tahun.
Juga,Jangan tanya tentang bagaimana militansi mereka dilapangan, Â Karena mereka pun memahami UU.Pers No.40/1999 Itu. Bagaimana mengumpulkan, mengolah data sehingga menjadi Berita Dan disebarkan kepada publika. Yang kadang Berita ini 'lalai' ditayangkan oleh Wartawan Mainstream.
Apakah para wartawan Media Mainstream (MM) juga selalu benar menetapkan UU Pers tersebut?, Tidak juga. Karena terbukti pernah ada kasus Penyiaran/penayangan hoaks. Jawa Pos misalnya, pernah wartawannya melakukan wawancara palsu. TVOne juga pernah melakukan hal serupa. Metro TV pernah menyiarkan video palsu. Mungkin bukan media itu yang berniat jahat, tapi oknum di MM itu.