Mohon tunggu...
Teguh Hartono Patriantoro
Teguh Hartono Patriantoro Mohon Tunggu... profesional -

Modern and Independent\r\nwww.soundvillages.webs.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Estetika Dibalik Klinik Estetika

3 Juli 2013   20:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:03 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang sudah menjadi rahasia umum jikalau berbagai karya dari Mozart, Beethoven, Da Vinci, Angelo, Basuki Abdulah, Raden Saleh, bahkan sampai istri Ahmad Fathanah selalu diburu masyarakat karena letak keindahannya. Namun, keindaan seperti apa yang sebenarnya tersirat dari mereka? Bagaimanakah pasar membentuk diri untuk menghargai sebuah keindahan dengan uang ratusan juta? Tentu saja, jikalau hal ini dibahas secara detail akan menimbulkan perdebatan panjang yang mungkin berakhir dengan tragedi penyiraman teh oleh Munarman.

Pusat keindahan yang selalu dihubungkan dengan aspek inderawi manusia, secara sederhana memang berumuskan faktor kenyamanan+kenikmatan. Namun, bagaimana ketika faktor sederhana tersebut tidak berhasil dimunculkan, tetapi mampu menyihir masyarakat untuk mengeluarkan uang ratusan juta? “woooow” hal ini perlu kita telusuri.

Lewat estetika yang terpancar dari sketsa “Berburu Celeng” milik Joko Pekik yang berharga ratusan juta misalnya. Secara kasat mata, sketsa ini biasa saja, tidak menunjukan keindahan alam, kenikmatan mata untuk melihat, ataupun goresan dari sang maestro. Tetapi kenapa uang ratusan juta berhasil masuk ke rekeningnya? Faktorhistorical accident-lah jawaban yang tepat untuk menghakimi keindahan tersebut. Transformasi politik yang terjadi di Indonesia, yakni saat Rezim Soeharto yang tahun 1998 berhasil digulingkan oleh rakyat, ternyata sudah diprediksi oleh sang Maestro lewat karyanya.Historical accident yang dimaksudkan di sini, berawal dari penggambaran Negara carut-marut yang menurut rakyat bersumber pada hama (celeng) untuk kemudian diringkus bersama tergambar jelas dalam sketsa tersebut. Maka, tak heran jikalau sketsa “Berburu Celeng” tersebut akhirnya bernilai seni tinggi karena menyimpan pesan politik yang mendalam. Namun, apakah hal ini masih mampu untuk menilai pusat keindahan yang lain, seperti lukisan kotoran yang mahal, ataupun dalam ranah audiktif (musik)?

"Berburu Celeng" milik Djoko Pekik 1998

sumber Foto: http://gerigi-padi.blogspot.com/2010/07/djoko-pekik-dan-ideologi-celeng.html

ulalala…. Untuk menilai keindahan ini, saya masih ingat benar saat tahun 2005 silam mengunjungi sahabat dikediamannya. Di sela-sela kopi dan rokok yang ia suguhkan, Herry Firmansyah yang kini ber_metamorphoSELF sebagai guitaris solo beraliranbluesjuga menyuguhkan nada-nada radikal yang romantis. Nada-nada radikal yang selalu tersusun rapi dilengkapi dengan ekspresi Sang Guitaris saat itu telah konsisten menyihir penggemarnya sampai kini. Namun, apa yang terjadi ketika sang guitaris saat itu mengabulkan permohonan saya untuk memainkan nadangawuryang meleset jauh dari pakem danfals? Mengherankan!!! Kegiatan saat itu berhasil menghadirkan beberapa orang untuk sekedar mengintip, menyampaikan salam, bahkan duduk bersama.

Hal yang menyebabkan banyaknya orang untuk mengintip, saya yakin bukan karena hidangan ataupun canda tawa kami yang keras, melainkan munculnya rasa penasaran untuk mellihat apa yang terjadi pada sang Guitaris.Musik yang identik dengan zat audiktif yang dapat ditangkap oleh indera manusia, seperti: (1) melodi, (2)pitch, (3) ritme, (4) tempo, (5) dinamika, (6) harmoni, dan (7)tone colourpada dasarnya adalah ungkapan ekspresi yang lahir dari pelaku, terlepas dari konsep sengaja/tidak tersusun rapi; namun,seperti kebanyakan musisi pada umumnya. Memainkangenremusik yang meleset dari pakem sudah tentu mendapatkan apresiasi yang sedikit dibandingkan dengan musisi yang memunculkan keindahan harmoni, syair, dan penampilan fisik dari sang vokalis/performer.

Dari fenomena tersebut, terlihat jelas bahwa aspek inderawi manusia, dalam pemaparannya selalu mencakup nilai-nilai yang tercermin dalam sikap kejujuran, ketulusan, dan kebenaran. Logika yang berhasil dirumuskan Ruth Lorand terhadap estetika mengatakan bahwa:

“….mencermati sebuah benda “secara estetik” berarti menilainya tanpa pamrih atau menerapkan konsep tertentu. Jika sebuah benda didekati secara estetik, tanpa menunjukkan pamrih dan tanpa mengedepankan konsep-konsep yang ada, kita dapat memberikan kenikmatan yang esensi terhadap karya tersebut.”

Di Samping itu, faktor lain yang dapat dijadikan tolak ukur dalam mendeskripsikan aspek estetis menurut Lorand adalah: jelek (ugly), tanpa makna (meaningless),kitcsh, membosankan (boring), tidak penting (insignificant), dan tidak berkaitan (irrelevant). Enam faktor tersebut adalah hasil perenungan Lorandyang mungkin bisa kita pakai untuk membicarakan estetikaterhadap karya yang berbentuk benda atau artefak dan karya berupa zat audiktif (musik).

Ya..itulah estetika kefilsafatan yang diurusi oleh lembaga/komunitas tertentu. Tetapi, bagaimanakah dengan estetika yang terpancar dari lembaga kecantikan? Menurut hemat saya, sejak lama para filsufmemangtidak memasukkan estetika kecantikan ke dalam objek bahasan estetika kefilsafatan. Namun,Sekitar satu dekade yang lalu, Richard Shusterman mengenalkan SOMA-ESTETIKA sebagai sebuah bentuk estetika yang mengutamakan peran bersama 'tubuh' dan mental/jiwa. Oleh karena itu, baginyaaktivitas sepertidiet, pijat, yoga, perawatan tubuh, aerobik, bina raga, dan lain-lain layak dijadikan sebagai bahan bahasan serius dalam wacana estetika kefilsafatan, terlebih dalam obrolan di angkringan.

Estetika kefilsafatandan estetika kecantikan yang sama-sama diayomi olehlembaga, pada dasarnya adalah komunitas yang sama-sama gelisah dengan masalahsurface.Estetika kecantikan tubuh (terutama perempuan) dan keremajaan kulityang dalam beberapa waktu ini berhasil memiliki ribuan penggemar untuk mengeluarkan uang ratusan juta, pada dasarnya adalah ungkapan untuk menampilkan dirinya dalam ranah publik.

Baumgarten, Kant, Hegel, dan Schopenhauer telah menjadikan estetika dan kata 'estetika' sebagai subjek wacana intelektualistik, yang bisa diartikan sebagai bagiansulit untuk dimengerti di kalangan umum dan lebih mengutamakan peran 'tubuh' daripada mental/jiwa. Di Klinik Estetika, wanita dari berbagai usia dan tiga-empatlelaki sok pemalu yangberduit pada bersemangatuntukmemudakan dan mempercantik diri. Hal ini tentu saja sah dan wajar mengingat uang yang mereka miliki mampu meracuni mental/jiwa mereka untuk mengutamakan peran tubuh (fisik).

Keterlibatan tubuh dan mental/jiwa akan menempatkan pelukis-lukisan-apresiator, desainer-karya desain-penyuka desain, penyaji pertunjukan-karya seni pertunjukan-penyuka seni pertunjukan, pemijat-hasil pijatan-terpijat, peresep diet-hasil diet-pendiet, penampil musik dangdut-aransemen dangdut-penonton yang ikut berjoget dangdut menjadibagian pembahasan estetika kebersamaan yang menjadi pokok bahasan dalam SOMA-ESTETIKA.Estetika yang tidak hanya mengutamakan 'tubuh' saja tetapi mengutamakan peran bersama tubuh dan mental-jiwa.

Bagi anda atau siapapun yang memang tercatat sebagai anggota Klinik Estetika, mungkin ungkapan dalam bahasa latin ini bisa dijadikan pledoi atas tindakan yang anda ambil. Kalimat tersebut berbunyi:De Gustibus Non Est Dispuntandum yang berarti masalah selera tidak dapat diperdebatkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun