Mohon tunggu...
Teguh Hartono Patriantoro
Teguh Hartono Patriantoro Mohon Tunggu... profesional -

Modern and Independent\r\nwww.soundvillages.webs.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bizarre on Stage: Jogjak(art)a Term of Reference

28 Maret 2012   14:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1360293865292279726

Wacana seni yang selalu menjadi sumber acuan untuk memahami kenyataan hidup, pada dasarnya adalah reflektor suatu lingkar ruang dan waktu untuk disuguhkan dalam sebuah realita yang bernama panggung. Dunia seni (apapun bentuknya) yang disuguhkan di panggung pada dasarnya adalah tahapan proses yang tersusun rapi dengan beberapa ikatan pendukung. Sosiologi Seni David Inglis, pernah menggolongkan proses berkesenian, meliputi: 1. kreasi (cultural production), 2. distribusi (distribution), 3. apresiasi (consumption), 4. cultural production. Keempat faktor ini merupakan bagian yang menjadikan sebuah karya itu ada. Artis baik sebagai komponis, penyanyi, penulis skenario, dan sutradara menciptakan karya seni dengan ragam kesenimanannya. Tahap kedua adalah distribusi, yakni tahapan dimana pihak tertentu menjadikan produk masal yang dapat dicapai publik (lewat galeri, museum, auditorium). Dalam tahap ini manager artis dan pengelola gedung menjadi penting karena memegang peranan sirkulasi pasar. Tahap berikutnya Apresiasi/Consumption merupakan tahap dimana publik mengapresiasi dan menerima bentuk kesenian yang muncul. Tahap apresiasi dilakukan oleh penonton dan peserta kegiatan pendidikan seni. Tahap terakhir adalah gedung pertunjukan yang disignalir juga memunculkan organisasi non-profit seperti dewan kesenian kota (city councils), dalam hal ini gedung pertunjukan, dan dewan kesenian menjadi agen dalam proses distribusi seni yang diterjemahkan Inglis sebagai cultural production.

Masyarakat Jogjakarta yang diistimewakan dengan multikulturalnya, dewasa ini juga tidak mau kalah untuk memproduksi seni yang kadang terlepas dari patron. Patron yang dimaksudkan di sini bukan saja ikatan kontrak antara pelaku dengan pihak pemesan, aturan baku dalam memproduksi pertunjukan, dan bentuk pertunjukan pada umumnya (baik yang bersifat kotemporer maupun genre baru). Patron yang dimaksudkan di sini adalah pola yang terdapat dalam proses berkesenian itu sendiri; dimana pihak produser merencanakan sebuah term of reference yang disuguhkan di panggung untuk bersilaturahmi dengan gayanya. Kasus ini diterjemahkan oleh pelaku seni dengan istilah “keganjilan”.

Proses berkesenian masyarakat Jogjakarta dalam konteks “keganjilan” dapat kita saksikan dalam event bertajuk Bizarre on Stage. Definisi kata Bizarre [bih-zar] menurut dictionary.com merujuk pada: markedly unusual in apperance, style or general character and offten involving incongruous or unexpeted elements; outgeosly or whimsically strange; odd: bizarre clothing; bizarre behavior.

Sumber Foto: Adel Boros, 16 Maret 2012

International event yang diselenggarakan 2 malam ini, mengambil lokasi di Auditorium Jurusan Teater ISI-Jogjakarta, Jalan Parangtritis KM 6,5. Sekitar 18 negara peserta turut berpartisipasi di dalamnya dengan berbagai macam “message”nya. Pertunjukan yang dibuka dengan pementasan bathroom singer kemudian disusul dengan ikatan pernikahan dalam group band dihari berikutnya adalah term of reference dari pelaku seni untuk penikmatnya. Agenda acara yang kita temui dalam event ini diterjemahkan oleh J. E. Kaemmer sebagai: 1. Individual music events: merupakan kejadian menyanyi atau bermain secara individu, misalnya saat kita mencuci pakaian, saat mandi, juga menyanyi sendiri seperti pengamen jalanan.  2. Communal music events: sebuah komunitas yang berencana untuk mementaskan pertunjukan, baik dalam kegiatan ritual/non-ritual, 3. Contractual music events: kegiatan pertunjukan yang sudah diatur antara musisi dengan pihak lain dalam durasi waktu yang pendek, pengaturan dapat melalui surat kontrak atau tanpa surat kontrak. 4. Sponsored music: ditemui dimana musisi terikat secara jangka panjang dengan pihak agen yang mempertimbangkan untuk mendapat keuntungan, tetapi dalam event Bizarre penyelenggara berhasil menghindarinya. 5. Commercial music yang memiiki karakter aktivitas dari agen untuk melayani penyaji dan penonton.

Pertunjukan silaturahmi  18 negara yang tidak mendapatkan dukungan financial dari pihak sponsor ini memang perlu kita apresiasi, mengingat manusia terkadang membutuhkan saat untuk menepi dan menyadari langkah-langkah kekerdilan hidup. Maka sangatlah pantas jika tanggal 15-16 Maret 2012 audience datang bersama kolega, baik itu kekasih, teman organisasi, atau rekan dari berbagai profesi. Tujuan utama audience mengajak kolega untuk menikmati suguhan ini dikarenakan tema dari bizarre itu sendiri yang secara harafiah berarti “keganjilan”. Supaya tidak merusak tema acara dari “ganjil” menjadi “genap”, syarat di atas setidaknya wajib dipenuhi, dan biarlah keganjilan itu kita genapi dalam pribadi kita masing-masing.

****^^^****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun