Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... lainnya -

hidup adalah pilihan.. kebanyakan bukan soal salah ato benar.. tergantung kita mau memilih yg mana.. yg terpenting adalah konsekuensi dr setiap pilihan.. bisakah kita mengantisipasi konsekuensi pilihan kita?

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wajah Kematian

24 Oktober 2010   16:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:08 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tubuh lemah itu terbujur kaku di atas ranjang pavilliun rumah sakit bersprei putih. Bibirnya menyunggingkan senyuman… ah bukan! sinis atau… mungkin meringis lebih tepat, seperti menahan sakit yang teramat sangat.

Disebelahnya terduduk dengan tangis yang menyayat hati, seorang anak perempuan yang memeluknya erat, seakan tak mau terpisah walau sedetik. Kulit hitam manisnya basah oleh keringat, kaosnya basah erat melekat karena kerasnya upaya sang anak memeluk sang mama. Mencegahnya dari kepergian yang kekal. Disudut ruangan terduduk kaku… seorang anak dengan kepala tertekuk sangat dalam. Tidak terdengar isak sedikitpun… hanya bening tetes air yang mengalir membasah pipi hitam cekung itu. Sulung itu terlihat lebih tegar, kerasnya kehidupan yang harus dijalani yang membuatnya lebih bisa menahan diri. Seorang pemain watak alami. Dan laki-laki itu berdiri saja tanpa bersuara. Ketenangannya berbanding terbalik dengan gemuruh yang memenuhi rongga hati dan pikirannya… nasib apalagi yang akan datang… takdir apalagi yang akan digariskan. Lahir, jodoh dan kematian adalah takdir yang sudah digariskan sejak awal, dan laki-laki itu pun meyakininya dengan sangat. Tapi tetap saja dia manusia yang memiliki hati yang bisa terbolak-balik dalam sesaat. Rasa cinta fanalah yang membuatnya tetap membumi sebagai manusia. *** Tiba-tiba daun jendela terbuka… melayang turun sesosok tubuh berjubah hitam dengan wajah angkuh… ah bukan… teduh… hmmm… sang malaikat maut. Tidak satupun mahluk diruangan itu terganggu, hanya laki-laki itu… Tubuh tinggi besar itu menghampiri sosok tergolek di ranjang putih. Melihatnya dalam… menatap cukup lama. Wajah perempuan itu berubah-ubah…terlihat takut, gemetar, tersenyum, menantang, dan … takut lagi. Dan tiba-tiba sang malaikat maut berbalik… menatap tajam laki-laki yang terus saja terdiam. Ahhh… belum giliran perempuan itu rupanya. hmmm… apakah giliran laki-laki itu??? Laki-laki itu tersenyum lebar, merentangkan tangannya menyambut sang malaikat maut seperti teman lama yang terpisah puluhan tahun. Dalam pikirannya terbayang indahnya pertemuan dengan Kekasih yang didambanya selama puluhan tahun, di hatinya gemuruh menantikan saat yang ditunggunya untuk bersatu dengan Dzat yang mengisi hari-hari rindunya. Indahnya bertemu Kekasih, syahdunya tenggelam dalam rengkuhNya. Ahhh… sekaranglah saatnya… Sang malaikat maut terhenti langkahnya… wajah teduh itu menggeleng lemah… “belum saatmu…,” suara malaikat itu seperti berbisik. “mengapa?” sahut laki-laki itu. “hanya memastikan… kalian baik-baik saja,” jawab lirih sang malaikat maut. “cuman itu…?” parau suara laki-laki itu mencari kepastian jawaban. Sang malaikat maut tidak menjawab… hanya mengangguk lemah… sebelum bayangannya berpendar… menghilang bersama tatapan kosong laki-laki itu. Tubuh tegap itu pada akhirnya luruh… terduduk lemas, pandangannya menerawang… Betapa kerinduan pada Kekasihnya harus ditahankan sekali lagi, betapa hangatnya tenggelam dalam rengkuh Kekasih masih saja berupa bayangan. Belum… bukan sekarang! Tugasmu belum selesai. Indrapura, 20 Oktober 2009

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun