Mohon tunggu...
Paoezan Sept.
Paoezan Sept. Mohon Tunggu... Petani - petani

Suka duduk, tapi lebih senang berjalan. Aku bilang untuk menghilangkan Jenuh...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Keputusan

17 Desember 2015   02:13 Diperbarui: 17 Desember 2015   02:28 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Waktu kita belum terhenti adinda. Ruang kita juga belum terpisah. Aku masih yakin besok masih ada hari-hari yang yang kita lalui. Kita: kau dan aku.

Keraguan itulah yang menjadi tembok tinggi dan tebal yang menjadi jarak kita. ia adalah tembok yang tak bisa dinaiki atau ditembus hanya dengan untaian do’a serta baris kata-kata. ia hanya bisa dilalui dengan keberanian serta keyakinan.

Aku tahu kau hanya menungguku menmbus tembok itu atau meruntuhkannya. Ya, kau tahu karena kau jualah yang membangun tembok itu. sedang kau, masih seperti biasa:dirimu beserta ketenangan yang berbalut senyuman. Sesekali kaupun mengumamkan harapan serupa mantra, “aku bukan dewi shinta, bukan pula Rabi’ah.” Dan aku pun tak seperti arjuna atau hanoman.

Siapa yang paling berkuasa atas diri kita adinda? Siapa jua yang akan bertanggung jawab atas diri kita? siapa yang tahu apa yang akan kita temui di balik tirai esok hari? Dan apa yang akan menjadi buhul teguh yang mengikat kita?

Ada bayang-banyang hitam yang kadang datang. Ia seakan ekor yang bergelayut di belakangku atau ia seperti sekawanan gagak di atas kepalaku. Ia membuatku gugup, berdebar, merinding dan membuatku hilang arah, lupa pada adinda di sana. Bayang-bayang itu kelam. Ia berbau tajam namun tak urung membuatku menginginkannya dan di sisinya aku datang. Ia sperti memberiku jalan untuk bebas dari kekangan. Ia seirn datang saat malam, terutama saat aku dalam kesendirian.

Saat pagi datang ada embun yang menyapa tubuhku. Ia sejuk dan menenangkan. Setiap tetes beningnya ia seakan berkata; “Selesaikan semua kusam dan lekat hitam di tubuhmu. Karena yang suci hanya akan bertemu dengan yang suci”. Kadang aku ikuti anjuran mulia itu, dan saat itulah aku sering teringat engaku adinda. Engkau yang masih menunggu dengan rapalan do’a tanpa jeda.

Banyang-banyang terkadang lebih menggoda dari embun yang penuh dengan kepastian. Namun keduanya tetap butuh satu hal yang sama, ia bernama keyakinan dan keberanian. Barangkali aku tak belum punya itu, atau aku masih terpesona dengan segal bayang-banyang itu? aku masih bergelut. Masih melangkah dengan kaki dan wajah yang kadang berbeda. Atau aku masih kakiku masih ingin menjelajah.

Waktu dan ruang yang masih tersedia itu akhirnya menjadi hampa. Ia akhirnya membentuk dua arah jalan. Untuk kita, atau untuk segala ingin yang masih kusimpan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun