Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Stop Investasi Pendidikan!

4 Juni 2016   20:02 Diperbarui: 4 Juni 2016   20:05 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini semakin marak terjadi, tindakan pendisiplinan yang dilakukan guru terhadap murid malah diprotes oleh orang tua si murid. Tidak jarang hal semacam ini berujung pada dilaporkannya sang guru oleh orang tua murid kepada kepolisian, dan sang guru menghadapi tuntutan hukum. Bahkan ada orang tua melakukan tindakan main hakim sendiri.

Kemudian banyak dari kita yang mengeluh, “Jaman saya muda dulu, kalau saya salah, nakal atau dapat nilai jelek di sekolah, sama orang tua lebih dimarahi lagi. Kalau saya dicubit guru di sekolah, saya dicambuk orang tua di rumah. Sekarang sebaliknya, guru yang dipukuli atau malah dipolisikan.”

Saya sependapat dengan keluhan tersebut. Tetapi celakanya, fenomena ini terjadi bersamaan dengan maraknya kasus-kasus kekerasan yang kelewat wajar di sekolah, beberapa bahkan merupakan pelecehan seksual. Dan tidak sedikit yang dilakukan oleh pihak guru maupun sekolah. Akibatnya orang tua bereaksi kebablasan terhadap tindakan disipliner apapun juga: mereka merasa mendapat angin untuk mendapatkan kompensasi yang setimpal (atau lebih).

Belum lagi masalah akademis. Banyak terjadi juga guru-guru yang sangat kaku dalam memberikan pengajaran akademis (misalnya matematika) sehingga menyalahkan begitu saja siswa yang memecahkan soal dengan cara yang lebih kreatif. Wajar jika orang tua protes (dulu orang tua saya juga begitu), tetapi sekarang mereka mengunggah PR atau ulangan anaknya di media sosial, dan netizen ramai-ramai mem-bully sang guru. Lagi-lagi guru yang lurus terkena imbasnya: orang tua sinting yang mendukung anaknya menyontek merasa berhak mengancam para guru.

(Sebuah posting di Facebook tentang cara kreatif memecahkan soal matematika membuat saya terkejut. Bukan caranya, tetapi tagline yang digunakan akun tersebut dengan provokatif berujar, “Salahkan guru kamu jika tidak mengajarkan ini di sekolah!!! Sebarkan!!!”)

Bahkan di luar sekolah, mereka bisa sama gilanya. Istri saya yang bekerja di penerbit buku sering mengadakan lomba untuk anak seperti menggambar dan mewarnai. Ternyata banyak orang tua yang menganggap itu lomba sungguhan, bukan sarana menyalurkan bakat. Jadi ketika anak mereka “kalah”, cara mereka memprotes istri saya bisa lebih sadis daripada Jose Mourinho memprotes wasit. (Istri saya pernah mendengar kasus yang lebih gila: mereka memasang “joki” kalau hadiah perlombaannya berupa uang tunai.)

Ternyata fenomena tersebut bukan monopoli tanah air kita saja. Saya tidak tahu apakah karikatur di atas sebenarnya buatan anak bangsa kita tetapi dibuat mirip orang bule, atau memang karya orang di sana. Tetapi saya mendengar dan membaca kasus-kasus serupa di luar negeri, walaupun dalam bentuk lain.

Tahun lalu, administrasi Universitas Yale mengedarkan surat yang intinya menghimbau mahasiswa di asrama untuk tidak memakai kostum Halloween yang “menyinggung etnis atau ras tertentu”. Sepasang suami-istri profesor yang bekerja sebagai pembimbing akademik kampus menanggapi surat itu dengan mengirim e-mail kepada administrasi. Intinya, tidak usahlah kampus mengatur sampai urusan begituan. Kalau memang ada yang tersinggung, toh mahasiswa sudah dewasa dan bisa menyelesaikan perselisihan demikian secara baik-baik.

E-mail tersebut mendadak menjadi viral dan membuat gempar para mahasiswa, khususnya kaum minoritas (Hispanik, Asia, Afrika dan sebagainya). Para aktivis hak-hak sipil kampus menuduh pasutri profesor tersebut rasis. Mereka mengatakan bahwa setelah e-mail itu beredar, beberapa mahasiswa minoritas menjadi “tidak bisa tidur, kesulitan belajar, stres, depresi dan mengalami kehancuran mental.” dan menuntut keduanya dipecat.

Puncaknya adalah ketika beberapa mahasiswa menuntut sang suami minta maaf di depan umum karena e-mail tersebut (istrinya yang mengirim). Seorang mahasiswi (kulit hitam) membentak sang profesor karena gagal menciptakan rumah yang nyaman dan aman di kampus. Para netizen tidak habis pikir: bagaimana mungkin anak cengeng ini bisa masuk Yale? Kehidupan kampus itu berat dan keras. Kalau ingin rumah, pulang saja sana ke orang tuanya. Masa cuma gara-gara e-mail begitu ia sampai depresi?

Nampaknya cita-cita luhur untuk mereformasi pendidikan sehingga bebas dari tindakan kekerasan atau bullying dan menghasilkan generasi muda yang cerdas dan berkualitas, ternyata dibaca oleh banyak orang tua sebagai pendidikan yang memanjakan anak dan menjamin penilaian akademis yang tanpa cela.

***

Teman saya yang mengunggah karikatur tersebut di Facebook memberi komentar dengan paralel yang menarik: uang. Ia dengan jeli melihat bahwa banyak orang tua yang bersikap demikian karena merasa sudah membayar mahal untuk sekolah anaknya, jadi seharusnya anaknya dapat nilai bagus dan tidak disakiti.

Saya langsung menangkap esensinya: orang tua menganggap anak sebagai aset, sementara pendidikan adalah investasi, dan karenanya sekolah adalah pialang saham atau broker.

Anda mungkin tahu betapa stres kehidupan seorang broker. Kalau saham lagi turun, ia bisa saja mendengar isi kebun binatang lepas dari mulut si klien. (Apalagi jaman sebelum online trading.) Senada dengan itu, para orang tua psycho ini juga akan membentak guru dan sekolah kalau nilai anaknya turun. Mengapa? Karena mereka takut investasi mereka gagal, apalagi kalau bodong.

Yah, begitulah potret buram pendidikan kita. Ternyata bukan hanya pendidikan yang harus direformasi. Cara orang tua mendidik anak pun harus direformasi, atau mungkin direstorasi ke jaman orang tua kita. Memang tidak usahlah kalau sampai mencambuk anak dengan rotan atau ikat pinggang, tetapi harus ada tindakan disipliner yang tegas dan membuat anak bertanggung jawab.

Tetapi yang paling penting adalah merevolusi pola pikir orang tua modern: mereka harus berhenti memandang anak dari sudut pandang material, apalagi uang! Mereka harus mendidik anak untuk mandiri dan bertanggung jawab, bukan balik modal ke orang tuanya.

Dan yang tidak kalah penting, berhentilah menganggap pendidikan sebagai kebanggaan atau prestise. Saya tahu, ini penyakit kronis orang Timur (yang bangga dengan nilai sekolah yang tinggi dan juara olimpiade sains internasional, padahal nihil hadiah Nobel). Hentikan kebiasaan mengunggah nilai anak ke media sosial. Anda ingin bullying dihilangkan di sekolah, padahal anda mem-bully anak-anak dari orang tua lain yang tidak sehebat anak anda.

Percuma membanggakan pendidikan jika hanya sebagai prestise. Ketika kita melihat orang tidak sekolah menjadi milyarder, kita balik menghina pendidikan formal. Nampak jelas bahwa orang-orang yang bersikap demikian sebenarnya tidak suka belajar atau dididik. Karena bagi mereka pendidikan hanyalah batu loncatan untuk menuju kebanggaan, bahkan lebih parah, kebanggaan keluarga. Kalau bisa kaya dan bikin orang tua bangga tanpa sekolah, buat apa pendidikan?

Kahlil Gibran bersabda, anak itu bagaikan anak panah yang ditembakkan dari busur orang tuanya. Mereka akan melesat jauh menuju sasaran, yaitu cita-citanya. Kalau anda mengharapkan mereka balik modal, jangan kaget kalau mereka tidak menjadi anak panah, tetapi bumerang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun