Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Kearifan Lokal

19 Mei 2016   23:02 Diperbarui: 19 Mei 2016   23:15 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tentang hal ini. Terus terang, kearifan lokal (local wisdom), walau bukan sesuatu yang sangat kontroversial, seringkali disalahpahami sebagai sesuatu yang absolut.

Menurut beberapa definisi, kearifan lokal adalah "gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya." (Kamus Inggris-Indonesia Shadily-Echols). Pandangan lain mengatakan "nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya” (Keraf, 2002; Gobyah, 2009).

Yang menarik, Prof. Haryati Soebadio menganggap kearifan lokal memiliki ciri “mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri”. Senada dengan itu, Moendardjito juga mengatakan kearifan lokal mampu “bertahan..., mengakomodasi unsur-unsur budaya luar..., mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli..., mengendalikan... dan memberi arah pada perkembangan budaya.” (Ayatrohaedi, 1986:18-19)

Dengan kata lain, kearifan lokal adalah sesuatu yang relatif fleksibel dan tidak (melulu) “anti” terhadap perubahan atau pengaruh dari luar, tetapi mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi. Soebadio bahkan menggunakan istilah local “genius” alih-alih “wisdom”, merujuk pada sifat adaptif dan inovatif dari kearifan lokal tersebut.

Maka, jika merujuk beberapa definisi di atas, kearifan lokal – walaupun bisa diwariskan turun-temurun – bukanlah suatu nilai yang bersifat primer. Ia bukan akar dari budaya atau fondasi yang menyokong seluruh aspek kehidupan suatu kelompok masyarakat. Ia adalah produk turunan (sekunder, mungkin malah tertier) dari suatu budaya, atau campuran budaya, dan bahkan mampu mengubah budaya.

Tetapi dalam konteks masa kini, kearifan lokal seringkali dibenturkan dengan (post-)modernisme. Kearifan lokal dianggap sebagai nilai primer yang terancam oleh pengaruh kemajuan teknologi dan budaya asing post-modern. Kearifan lokal dianggap nilai luhur yang absolut, tetapi (anehnya) sulit – kalau bukan tidak mampu – bertahan melawan arus globalisasi.

Dengan menggunakan sudut pandang tersebut, tak heran banyak orang yang melihat benturan kepentingan di masyarakat dalam konteks globalisasi versus kearifan lokal. Mereka membangun tembok pemisah dengan menggunakan kacamata modern vs tradisional, penjajah vs pribumi, Conquistador vs Indian.

Ambil contoh ojek dan taksi online yang masih menjadi kontroversi sampai saat ini. Ketika ojek online semakin marak, ojek pangkalan merasa terancam dengan kehadiran mereka. Sama halnya dengan taksi online, taksi resmi dengan argometer juga merasa terancam. Penghasilan menurun karena penumpang beralih ke yang lebih canggih, praktis dan ekonomis.

Lalu apa yang mereka lakukan? Mereka mengklaim bahwa mereka adalah kelompok yang resmi dan “asli”, dan kini diserbu kekuatan “kapitalis” asing yang bersenjatakan teknologi canggih. Mereka membentuk paguyuban pengemudi (bentuk organisasi yang dianggap sebagai “kearifan lokal” alih-alih korporasi yang ”global”) untuk melawan transportasi online. Dan mereka melawan dengan kekerasan.

Tidak sedikit yang membela tindak kekerasan mereka dengan dalih kearifan lokal. Ojek pangkalan, misalnya, dipuja sebagai suatu sistem sosial yang teratur, santun dan penuh keakraban antara pengojek dan penumpangnya. Sekarang mereka diserbu ojek online yang tidak mau mengantri di pangkalan dan mengganti “kearifan” tawar-menawar dengan kepastian harga di layar sentuh yang dingin. Kata mereka, tidak ada cara lain untuk bertahan selain melawan, bak semut yang menggigit kalau mau diinjak.

Tetapi coba pikir, ojek itu kan memakai sepeda motor. Bukankah hampir semua sepeda motor itu buatan pabrik asal negara kapitalis Asia Timur Raya yang pernah menjajah bangsa ini dengan kejam? Bukankah pada awalnya mereka juga menggusur becak? Lalu taksi, bukankah mereka jelas-jelas milik korporasi? Apa anda yang pernah tinggal di Bandung ingat kalau taksi dengan argometer resmi pernah dibakar oleh supir taksi argo “kuda” ketika pertama kali beroperasi di sana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun