[caption caption="Sumber: eaglerising.com"][/caption]Di tengah polemik pencalonan (kembali) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta, sebuah kolom di media online mengutip seorang pengamat antah berantah yang mengatakan, memilih pemimpin yang seiman atau berdasarkan tuntunan agama adalah kebebasan, sama seperti mereka yang memilih pemimpin berdasarkan profesionalitas walaupun tidak seiman. Jadi alasan demikian tidak boleh disalahkan karena merupakan hak yang tidak dapat diganggu-gugat.
Terlepas dari kenyataan bahwa dalam kolom tersebut si pengamat melanjutkan dengan berbagai pernyataan bernada radikal dan diskriminatif, konsep yang ia kedepankan relatif benar: alasan orang memilih tidak dapat disalahkan atau diganggu-gugat.
Kurang lebih sama saja dengan alasan orang menikah. Selama tidak ada kaidah legal formal pernikahan yang dilanggar, tidak masalah apakah Anda menikah karena cinta atau uang, apalagi jika pernikahan itu ternyata langgeng sampai Anda melihat keturunan ketiga dan keempat, dan akhirnya maut memisahkan Anda.
Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah alasan itu layak dikemukakan, dan disebarluaskan dengan tujuan mempengaruhi orang lain agar mengikutinya? Apakah sebagai orang tua saya boleh mengajarkan putra saya untuk menikahi wanita yang mudah ditipu untuk selingkuh, atau kepada putri saya untuk menghabiskan harta suaminya?
Inilah yang menjadi titik kritis dalam polemik kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Anda bebas berpendapat, itu benar. Tetapi ketika pendapat Anda itu dibawa ke ranah publik, apakah, pertama: alasan itu memang layak diajarkan kepada publik? Apakah pemimpin yang seiman itu dalam skala publik lebih penting daripada profesionalitas dan transparansi? Atau sebaliknya, kita memilih pemimpin hanya sebagai bentuk penolakan terhadap kekakuan dan kemunafikan fundamentalis agama dan birokrat politik?
Dan kedua: siapkah Anda untuk mendengarkan pendapat yang lain? Atau ketika Anda mengutarakan pendapat di ruang publik, Anda (meminjam istilah Teddy Roosevelt) berbicara dengan sopan tetapi membawa pentungan besar, untuk menghajar siapa saja yang tidak sependapat? Jika ada yang tidak sependapat Anda teriaki “kafir!”, “komunis!” dan “antek asing!”; atau sebaliknya “rasis!”, “munafik!” dan “bahlul!”. Dengan kata lain, apakah Anda mengutarakan pendapat untuk membungkam orang lain?
Di berbagai tempat, khususnya Indonesia, hal ini bukan hanya kritis, tetapi bisa menjadi berbahaya. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang (tolong carikan istilah yang lebih tepat) sensasional dan superfisial: suka heboh pada hal-hal yang dangkal! Seorang kawan menyimpulkan dengan tepat: malas membaca tetapi cepat menyimpulkan. Kita sangat mudah terpengaruh headline atau judul berita yang bombastis, dan baru kemudian membaca isi beritanya dengan sudut pandang yang telah terbentuk dari judul tersebut.
Menarik mengulas sedikit mengenai pola pikir semacam ini. Kaum konservatif biasanya mudah terpengaruh dengan headline yang diawali dengan jargon rohani seperti “Astaghfirullah!” yang dilanjutkan dengan cuplikan yang menyinggung agama mereka, atau “Subahanallah!” kemudian diikuti dengan berita kemenangan agama mereka. Kelompok progresif biasanya gemar dengan kata-kata “Bangga!” atau “Dunia Heboh!” yang mengawali kesuksesan orang atau produk buatan Indonesia, umumnya di kancah internasional.
Sudah malas membaca, maka mencari referensi lebih-lebih lagi. Umumnya kita mencari referensi hanya dari sumber-sumber yang sejalan dengan pendapat kita, bukan yang netral apalagi kritis. Masih mending jika referensi itu digunakan untuk membuat orang mengerti dasar atau latar belakang pendapat kita. Tetapi kita menggunakannya hanya untuk membuat pendapat kita (dan kita sendiri) terlihat cerdas! Asal ada kutipan puluhan ayat kitab suci, atau mengutip pendapat Prof. Dr. Ir. Anu dan KH Fulan MS, MA, BA, XXX; kita langsung percaya. Kita teramat-sangat parah dalam memahami suatu subjek, apalagi konteks dari subjek tersebut.
Akibatnya mudah ditebak: debat kusir. Dan pepatah “Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati ditengah-tengah” menjadi self-fulfilling prophecy: orang yang “waras” tidak dapat mengemukakan pendapat dengan rasional karena terhimpit oleh kekuatan saling bunuh dari mereka yang berkoar-koar atas nama kebebasan berpendapat. Bahkan jika seandainya si “pelanduk” yang bijak itu mengutarakan logika yang membenarkan pendapat salah satu “gajah”, ia akan tetap mati bersama “gajah” yang lain karena bukan kejelasan masalah itu yang penting, tetapi pendapat saya yang menang.
Yang tidak kalah berbahaya sebenarnya adalah “serigala berbulu domba” dalam arena publik. (Atau lebih tepat “gajah berbulu pelanduk”?) Orang-orang ini sering memakai alasan “supaya lebih berimbang” yang terdengar logis, tetapi sebenarnya mereka menggunakan “netralitasnya” untuk membiarkan salah satu pihak yang ia setujui untuk tetap berkoar-koar. Contohnya tentu saja si pengamat yang saya sebutkan di awal tulisan tadi: bebas-bebas saja memilih berdasarkan ras dan agama (namanya juga pilihan!), tetapi di saat yang sama ia membenarkan sikap bigotry dan diskriminatif untuk diajarkan kepada publik. Mungkin juga karena tahu persis bahwa masyarakat Indonesia mudah terpengaruh oleh mereka yang berteriak paling keras (heboh tapi dangkal), selama mereka sepihak dengannya, ia dengan santai membiarkan hal itu terjadi.
Belakangan ini saya agak heran mengapa beberapa teman saya yang lulusan fakultas teknik atau berprofesi sebagai engineer – yang seharusnya logis dan rasional – bisa-bisanya mempunyai pandangan radikal yang diskriminatif. Saya melihat sebagian dari mereka sering berperan sebagai “serigala berbulu domba” dalam berbagai diskusi di dunia nyata maupun maya. Mungkin benar kata orang-orang: tanpa sadar kita menelanjangi diri kita di media sosial. Mereka mungkin cukup pintar untuk tidak mengunggah hoax atau berkomentar kasar (meskipun toh ada juga!) tentang pendapat atau orang yang bertentangan dengan mereka. Tetapi dengan selektif mengungkapkan sebagian kecil fakta dengan bingkai jurnalistik tertentu, “gajah” yang otaknya beberapa level di bawah mereka (padahal gajah yang asli itu cerdas lho!) seperti mendapat energi ekstra untuk menyeruduk “gajah” yang lain – sekaligus menginjak-injak si “pelanduk” yang waras.
[caption caption="Sumber: mominawonders.files.wordpress.com"]
***
Untuk melihat contoh nyatanya, mari kita rehat sejenak dari dunia politik menuju dua hal yang ternyata juga menjadi heboh di banyak negara.
Anak saya baru mendapat vaksinasi polio gratis dalam Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 2016. Anda mungkin tahu betapa kerasnya perlawanan dari kelompok anti-vaksinasi terhadap program ini. Di Indonesia, isu yang digunakan tentu saja adalah isu halal. Mulai dari babi sampai monyet. Walaupun para dokter (termasuk yang berhijab) sudah berbusa-busa menjelaskan dengan cara yang amat-sangat mudah dimengerti awam, mereka dengan santai beralih dari soal halal-haram kepada “logika” yang aneh-aneh: “Anak si itu gak divaksinasi sehat-sehat aja tuh?” atau (ini baru saya dengar) “Jaman dulu nenek moyang kita gak divaksinasi bisa menguasai negara lain, lah sekarang gue divaksinasi ngalahin kampung tetangga aja gak bisa-bisa!”. Ditambah dengan mengumbar kisah tragis anaknya (atau anak siapa?) yang setelah divaksinasi terserang demam tinggi dan malah lumpuh (dan tidak dijelaskan penanganan medisnya).
Kemudian datanglah sang “ahli” dengan referensi “akademis” bahwa vaksin polio mengandung virus monyet (SV40) yang memicu kanker. “Referensi” tersebut, tentu saja, adalah situs dari kelompok anti-vaksinasi yang sangat royal mencatut berbagai sumber referensi sampai memenuhi separuh halaman situsnya. Jika diperiksa secara acak, sebagian besar referensi yang digunakan situs tersebut ternyata juga sesama kelompok anti-vaksin. Kalaupun di antaranya ada jurnal ilmiah yang bisa dipercaya, mereka biasanya hanya mengutip secuil kecil saja sehingga keseluruhan kesimpulan penelitian tidak dipahami. Lagipula, apa pentingnya? Toh dengan menampilkan “segudang” referensi, pembaca kita sudah bisa menyimpulkan bahwa apa yang ia katakan sudah pasti benar tanpa perlu memeriksa satupun dari referensi-referensi tersebut.
Akhirnya seseorang akan “melerai” pertengkaran tersebut: Sudahlah, yang anti-vaksin jangan vaksinasi anaknya, yang pro-vaksin silakan vaksinasi. Lihat saja nanti yang menang siapa. (Maksudnya, siapa yang anaknya kemudian sakit atau mati.) Toh ini kan pendapat masing-masing. Berbeda itu boleh saja. Tentu saja inilah “pendapat berimbang” yang ditunggu para penolak vaksinasi. Mereka keluar dari meja perundingan dengan semangat baru untuk meneror para mahmud (mamah muda) yang galau, karena dialog yang sehat dihentikan sebelum dibangun.
Yang kedua, kita beralih ke masalah di awal tahun ini yang masih hangat (walaupun, sebagaimana semua isu di Indonesia, segera digantikan isu lain), tetapi di banyak negara juga panas. Anda tahu bahwa di banyak negara, legalisasi pernikahan sesama jenis (same-sex marriage) dan hak adopsi anak untuk pasangan sesama jenis oleh negara dan lembaga agama adalah hak-hak yang diperjuangkan oleh kelompok pejuang hak-hak Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT). Saya bingung, untuk apa mereka menuntut legalisasi hubungan seks? Bukankah di era hippies tahun ’60-an terjadi revolusi seks yang mempertanyakan lembaga pernikahan?
Tetapi banyak negara yang memberikan berbagai keuntungan finansial bagi mereka yang menikah: potongan pajak, tunjangan nikah, cuti hamil dan melahirkan, tunjangan anak, paket asuransi kesehatan yang lengkap dan hemat, dan sebagainya. Tentu saja kaum homoseksual hanya bisa memandang dengan iri selama definisi pernikahan yang legal adalah antara pria dan wanita (terlepas dari fakta bahwa banyak lajang – apapun orientasi seksual mereka – yang mengalami kebebasan finansial karena tidak punya beban keluarga). Maka hal ini dianggap sebagai diskriminasi dan merupakan bagian dari untaian sejarah panjang penindasan LGBT. Jadilah para pejuang hak-hak LGBT setiap tahun berusaha melempar isu ini di parlemen dan arena publik lainnya sampai berhasil digolkan.
Jangan dikira di negara-negara liberal sedikit sekali yang menolak pernikahan sesama jenis. Bahkan di kalangan sekuler, persentase mereka cukup besar. Tetapi hal ini segera ditanggapi dengan pedas: mereka yang tidak setuju pernikahan sesama jenis – apapun dasarnya – sama saja mendiskriminasi LGBT. Celakanya, di negara seperti Amerika Serikat, hal ini identik dengan orang-orang Kristen fundamentalis kulit putih di Selatan yang punya sejarah kelam perbudakan dan rasisme terhadap kaum Afrika-Amerika. Bukan hanya dicap anti-gay, orang yang menentang pernikahan LGBT juga dicap bigot, rasis, kapitalis, munafik, anti-kasih (artinya berlawanan dengan pesan Kristus) dan sebagainya (guilt by association). Karena itu beberapa gereja dan kelompok moderat akhirnya memilih “yang waras ngalah”. Penyebabnya sederhana: bigotry dilawan dengan bigotry.
Anda lihat bahwa ruang publik dalam demokrasi adalah sesuatu yang sangat kritis, di negara manapun juga? Benar kata seorang bapak bangsa AS (saya lupa siapa), demokrasi itu membutuhkan orang-orang baik. Orang-orang yang bisa berpikir jernih dan berargumen membangun. Negara demokratis bisa melakukan penegakan hukum untuk membuat warganya melakukan yang benar, tetapi tidak bisa memaksa warga negara menjadi baik. Lalu kelompok fatalistik di negeri ini berujar, kalau begitu ya sudah, buat negara otoriter saja! Seperti kata Soeharto di pantat truk barang: “Piye kabare? Enak jamanku, to?” Negara bisa membuat rakyatnya menjadi benar dan baik! Tetapi siapa yang bisa menjamin negara itu juga (dikendalikan oleh orang) baik?
Untuk itu dalam negara demokrasi diperlukan elemen-elemen lain di luar struktur negara, misalnya keluarga, agama, sekolah, kampus, organisasi sosial dan sebagainya, yang menghasilkan orang-orang baik. Masalahnya adalah, jika elemen-elemen ini malah menghasilkan sesuatu yang buruk, atau diisi oleh orang-orang yang buruk, apa kata dunia? Bagaimana mungkin kita mau memilih pemimpin yang baik dan menyuruhnya mengubah keburukan negara menjadi baik, sementara kita tetap melakukan yang buruk?
[caption caption="Sumber: Storify.com"]
***
Anggaplah agama itu kuno dan tidak logis. Anggaplah keluarga itu kolot dan bebal. Anggaplah adat istiadat itu ndeso dan kampungan. Maka satu-satunya lembaga sipil yang paling canggih, cerdas, beradab, bermartabat dan paling demokratis adalah lembaga pendidikan tinggi.
Tetapi apa yang saya jumpai di kampus, termasuk universitas-universitas negeri paling mentereng di mana saya, istri dan orang tua saya mengenyam pendidikan (dan juga di luar negeri)? Mahasiswa baru dicekoki paham radikal. Pelataran kampus saya terbelah antara sosialis di belakang dan fundamentalis di depan. Organisasi kemahasiswaan memulai debat dengan adu mulut, dan tak jarang berakhir dengan adu fisik. Ritual keagamaan yang secara teologis dipertanyakan dipraktekkan dengan gencar. Caci maki rasial dan diskriminatif ditempel di majalah dinding. Kampus menjadi ajang saling bunuh paham, survival of the fittest. Kebebasan? Maybe. Demokratis? Unlikely.
Saya mengingat masa ketika saya memasuki tingkat akhir dan diminta membina mahasiswa baru dalam kelompok berisi sekitar 20 orang. Panitia membuat simulasi bagaimana mahasiswa itu menghadapi masalah bangsa seperti kemiskinan, naiknya harga kebutuhan pokok, kesenjangan sosial dan sebagainya. Kami memanas-manasi anak-anak baru itu untuk “bertindak”. Semua kelompok bertindak dengan “berdemo” di depan “lembaga negara”, kecuali kelompok binaan saya yang memutuskan “turun ke bawah”: menolong “orang miskin” yang kelaparan, membantu meringankan beban mereka dan mencarikan solusi ekonomi yang dapat segera diterapkan.
Dalam diskusi pasca simulasi itu, saya bertanya, mengapa mereka tidak berdemo? Jawabannya berkisar seputar memecahkan solusi. Mereka benar. Meskipun ada masa kritis di mana mahasiswa sebagai kekuatan moral perlu turun ke jalan, demikian kata saya, tetapi apakah itu adalah solusi semua permasalahan di setiap saat? Mengapa masalah yang ada di depan mata tidak segera dibereskan, jika solusinya ada di tangan mereka? Mengapa harus menuntut negara yang melakukannya? Jika negara menghalangi mereka untuk memberikan solusi, barulah itu menjadi persoalan yang perlu dilawan, karena artinya negara tidak demokratis.
Tetapi saya sedikit minder dan merasa bersalah ketika dalam rapat panitia beberapa teman saya menyiratkan bahwa memang seharusnya anak-anak itu digerakkan untuk berdemo. Mereka harus menjadi kekuatan pendobrak yang mempengaruhi negara dan rakyat, katanya. Wah, gue salah setting nih, pikir saya. Tetapi di tengah silang pendapat panitia, saya memperhatikan mereka. Ada yang nyaris DO. Ada yang memang kerjanya cuma demo. Saya tahu beberapa di antara mereka terlibat skandal kecurangan pemilu ketua himpunan mahasiswa yang sempat heboh. Semakin panjang debat mereka, sambil membisu saya menarik kesimpulan: mereka hanya ingin meneruskan tradisi demo dan radikalisme, apapun itu. Apakah adik-adik ini boleh berpikir bebas? Lalu mengapa mereka mengatakan, junior perlu kita indoktrinasi?
Sementara panitia memanas-manasi mahasiswa baru untuk berdemo dengan bentakan “Jangan bengong aja! Ayo bergerak!!!”, saya menyisipkan kata-kata “Mikir! Musti ngapain! Jangan kayak kebo dicocok hidungnya! Mikir!!!” (Artinya Cak Lontong harus bayar royalti ke saya.) Ya, mereka saya minta untuk berpikir sebelum bertindak. Kelompok saya cukup lama berdiskusi dan membuat solusi, sementara yang lain membuat debat kilat yang ujungnya sama semua: demo.
Dengan demikian, keheranan saya akan radikalisme yang dianut teman-teman engineer saya yang seharusnya rasional itu terjawab. Bagaimana mungkin seorang insinyur kedirgantaraan mencap kecelakaan pesawat terbang sebagai azab Allah terhadap dunia penerbangan? Atau seorang teknisi perusahaan migas asing berbicara soal konspirasi Yahudi? Atau anak IT menyebarkan isu vaksin haram? Secara akademis mereka terpelajar, tetapi secara logis mereka tidak terdidik. Mereka bisa berpikir secara akademis dalam lingkup pekerjaan mereka, tetapi ketika masuk ke ranah publik yang awam, semuanya menguap. Tidak ada kesadaran untuk mendidik masyarakat, karena mereka sendiri tidak dididik, hanya dicekoki.
Mungkin karena “enak jamanku” dulu itu, kita memang tidak dibiasakan berpikir. Apakah kita boleh berpendapat? Oh tentu saja! Bukankah itu diajarkan dalam P4? Bebas mengutarakan pendapat dengan “azas kekeluargaan”. Tetapi pendapat yang berasal dari pemikiran yang bagaimana? Yah, pokoknya apa kata babe aja deh! Kita tidak boleh berpikir. Akibatnya kita tidak bebas berbicara.
Ketika kebebasan berbicara itu terbuka, kita terlanjur tidak bisa berpikir. Akhirnya indoktrinasi dalam bentuk lain masuk. Tetapi kita lantang berbicara. Dan karena kita tidak pernah diajar untuk berpikir, maka kita pun memanfaarkan kebebasan berbicara kita dengan memaksa orang lain untuk tidak berpikir.
Orang menuntut kebebasan berbicara sebagai ganti kebebasan berpikir yang jarang mereka pakai. (Søren Kierkegaard)
[caption caption="Sumber: thebadchemical.com"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H