Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bijak Gunakan Kebebasan Berpendapat, Mempengaruhi dan Berpikir

13 Maret 2016   19:23 Diperbarui: 14 Maret 2016   12:27 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Untuk itu dalam negara demokrasi diperlukan elemen-elemen lain di luar struktur negara, misalnya keluarga, agama, sekolah, kampus, organisasi sosial dan sebagainya, yang menghasilkan orang-orang baik. Masalahnya adalah, jika elemen-elemen ini malah menghasilkan sesuatu yang buruk, atau diisi oleh orang-orang yang buruk, apa kata dunia? Bagaimana mungkin kita mau memilih pemimpin yang baik dan menyuruhnya mengubah keburukan negara menjadi baik, sementara kita tetap melakukan yang buruk?

[caption caption="Sumber: Storify.com"]

storify-com-56e64954a223bd460ca27742.jpg
storify-com-56e64954a223bd460ca27742.jpg
[/caption]

***

Anggaplah agama itu kuno dan tidak logis. Anggaplah keluarga itu kolot dan bebal. Anggaplah adat istiadat itu ndeso dan kampungan. Maka satu-satunya lembaga sipil yang paling canggih, cerdas, beradab, bermartabat dan paling demokratis adalah lembaga pendidikan tinggi.

Tetapi apa yang saya jumpai di kampus, termasuk universitas-universitas negeri paling mentereng di mana saya, istri dan orang tua saya mengenyam pendidikan (dan juga di luar negeri)? Mahasiswa baru dicekoki paham radikal. Pelataran kampus saya terbelah antara sosialis di belakang dan fundamentalis di depan. Organisasi kemahasiswaan memulai debat dengan adu mulut, dan tak jarang berakhir dengan adu fisik. Ritual keagamaan yang secara teologis dipertanyakan dipraktekkan dengan gencar. Caci maki rasial dan diskriminatif ditempel di majalah dinding. Kampus menjadi ajang saling bunuh paham, survival of the fittest. Kebebasan? Maybe. Demokratis? Unlikely.

Saya mengingat masa ketika saya memasuki tingkat akhir dan diminta membina mahasiswa baru dalam kelompok berisi sekitar 20 orang. Panitia membuat simulasi bagaimana mahasiswa itu menghadapi masalah bangsa seperti kemiskinan, naiknya harga kebutuhan pokok, kesenjangan sosial dan sebagainya. Kami memanas-manasi anak-anak baru itu untuk “bertindak”. Semua kelompok bertindak dengan “berdemo” di depan “lembaga negara”, kecuali kelompok binaan saya yang memutuskan “turun ke bawah”: menolong “orang miskin” yang kelaparan, membantu meringankan beban mereka dan mencarikan solusi ekonomi yang dapat segera diterapkan.

Dalam diskusi pasca simulasi itu, saya bertanya, mengapa mereka tidak berdemo? Jawabannya berkisar seputar memecahkan solusi. Mereka benar. Meskipun ada masa kritis di mana mahasiswa sebagai kekuatan moral perlu turun ke jalan, demikian kata saya, tetapi apakah itu adalah solusi semua permasalahan di setiap saat? Mengapa masalah yang ada di depan mata tidak segera dibereskan, jika solusinya ada di tangan mereka? Mengapa harus menuntut negara yang melakukannya? Jika negara menghalangi mereka untuk memberikan solusi, barulah itu menjadi persoalan yang perlu dilawan, karena artinya negara tidak demokratis.

Tetapi saya sedikit minder dan merasa bersalah ketika dalam rapat panitia beberapa teman saya menyiratkan bahwa memang seharusnya anak-anak itu digerakkan untuk berdemo. Mereka harus menjadi kekuatan pendobrak yang mempengaruhi negara dan rakyat, katanya. Wah, gue salah setting nih, pikir saya. Tetapi di tengah silang pendapat panitia, saya memperhatikan mereka. Ada yang nyaris DO. Ada yang memang kerjanya cuma demo. Saya tahu beberapa di antara mereka terlibat skandal kecurangan pemilu ketua himpunan mahasiswa yang sempat heboh. Semakin panjang debat mereka, sambil membisu saya menarik kesimpulan: mereka hanya ingin meneruskan tradisi demo dan radikalisme, apapun itu. Apakah adik-adik ini boleh berpikir bebas? Lalu mengapa mereka mengatakan, junior perlu kita indoktrinasi?

Sementara panitia memanas-manasi mahasiswa baru untuk berdemo dengan bentakan “Jangan bengong aja! Ayo bergerak!!!”, saya menyisipkan kata-kata “Mikir! Musti ngapain! Jangan kayak kebo dicocok hidungnya! Mikir!!!” (Artinya Cak Lontong harus bayar royalti ke saya.) Ya, mereka saya minta untuk berpikir sebelum bertindak. Kelompok saya cukup lama berdiskusi dan membuat solusi, sementara yang lain membuat debat kilat yang ujungnya sama semua: demo.

Dengan demikian, keheranan saya akan radikalisme yang dianut teman-teman engineer saya yang seharusnya rasional itu terjawab. Bagaimana mungkin seorang insinyur kedirgantaraan mencap kecelakaan pesawat terbang sebagai azab Allah terhadap dunia penerbangan? Atau seorang teknisi perusahaan migas asing berbicara soal konspirasi Yahudi? Atau anak IT menyebarkan isu vaksin haram? Secara akademis mereka terpelajar, tetapi secara logis mereka tidak terdidik. Mereka bisa berpikir secara akademis dalam lingkup pekerjaan mereka, tetapi ketika masuk ke ranah publik yang awam, semuanya menguap. Tidak ada kesadaran untuk mendidik masyarakat, karena mereka sendiri tidak dididik, hanya dicekoki.

Mungkin karena “enak jamanku” dulu itu, kita memang tidak dibiasakan berpikir. Apakah kita boleh berpendapat? Oh tentu saja! Bukankah itu diajarkan dalam P4? Bebas mengutarakan pendapat dengan “azas kekeluargaan”. Tetapi pendapat yang berasal dari pemikiran yang bagaimana? Yah, pokoknya apa kata babe aja deh! Kita tidak boleh berpikir. Akibatnya kita tidak bebas berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun