Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bijak Gunakan Kebebasan Berpendapat, Mempengaruhi dan Berpikir

13 Maret 2016   19:23 Diperbarui: 14 Maret 2016   12:27 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan ini saya agak heran mengapa beberapa teman saya yang lulusan fakultas teknik atau berprofesi sebagai engineer – yang seharusnya logis dan rasional – bisa-bisanya mempunyai pandangan radikal yang diskriminatif. Saya melihat sebagian dari mereka sering berperan sebagai “serigala berbulu domba” dalam berbagai diskusi di dunia nyata maupun maya. Mungkin benar kata orang-orang: tanpa sadar kita menelanjangi diri kita di media sosial. Mereka mungkin cukup pintar untuk tidak mengunggah hoax atau berkomentar kasar (meskipun toh ada juga!) tentang pendapat atau orang yang bertentangan dengan mereka. Tetapi dengan selektif mengungkapkan sebagian kecil fakta dengan bingkai jurnalistik tertentu, “gajah” yang otaknya beberapa level di bawah mereka (padahal gajah yang asli itu cerdas lho!) seperti mendapat energi ekstra untuk menyeruduk “gajah” yang lain – sekaligus menginjak-injak si “pelanduk” yang waras.

[caption caption="Sumber: mominawonders.files.wordpress.com"]

mominawonders-files-wordpress-com-56e64911d57e61bf0d6fbfb6.gif
mominawonders-files-wordpress-com-56e64911d57e61bf0d6fbfb6.gif
[/caption]

***

Untuk melihat contoh nyatanya, mari kita rehat sejenak dari dunia politik menuju dua hal yang ternyata juga menjadi heboh di banyak negara.

Anak saya baru mendapat vaksinasi polio gratis dalam Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 2016. Anda mungkin tahu betapa kerasnya perlawanan dari kelompok anti-vaksinasi terhadap program ini. Di Indonesia, isu yang digunakan tentu saja adalah isu halal. Mulai dari babi sampai monyet. Walaupun para dokter (termasuk yang berhijab) sudah berbusa-busa menjelaskan dengan cara yang amat-sangat mudah dimengerti awam, mereka dengan santai beralih dari soal halal-haram kepada “logika” yang aneh-aneh: “Anak si itu gak divaksinasi sehat-sehat aja tuh?” atau (ini baru saya dengar) “Jaman dulu nenek moyang kita gak divaksinasi bisa menguasai negara lain, lah sekarang gue divaksinasi ngalahin kampung tetangga aja gak bisa-bisa!”. Ditambah dengan mengumbar kisah tragis anaknya (atau anak siapa?) yang setelah divaksinasi terserang demam tinggi dan malah lumpuh (dan tidak dijelaskan penanganan medisnya).

Kemudian datanglah sang “ahli” dengan referensi “akademis” bahwa vaksin polio mengandung virus monyet (SV40) yang memicu kanker. “Referensi” tersebut, tentu saja, adalah situs dari kelompok anti-vaksinasi yang sangat royal mencatut berbagai sumber referensi sampai memenuhi separuh halaman situsnya. Jika diperiksa secara acak, sebagian besar referensi yang digunakan situs tersebut ternyata juga sesama kelompok anti-vaksin. Kalaupun di antaranya ada jurnal ilmiah yang bisa dipercaya, mereka biasanya hanya mengutip secuil kecil saja sehingga keseluruhan kesimpulan penelitian tidak dipahami. Lagipula, apa pentingnya? Toh dengan menampilkan “segudang” referensi, pembaca kita sudah bisa menyimpulkan bahwa apa yang ia katakan sudah pasti benar tanpa perlu memeriksa satupun dari referensi-referensi tersebut.

Akhirnya seseorang akan “melerai” pertengkaran tersebut: Sudahlah, yang anti-vaksin jangan vaksinasi anaknya, yang pro-vaksin silakan vaksinasi. Lihat saja nanti yang menang siapa. (Maksudnya, siapa yang anaknya kemudian sakit atau mati.) Toh ini kan pendapat masing-masing. Berbeda itu boleh saja. Tentu saja inilah “pendapat berimbang” yang ditunggu para penolak vaksinasi. Mereka keluar dari meja perundingan dengan semangat baru untuk meneror para mahmud (mamah muda) yang galau, karena dialog yang sehat dihentikan sebelum dibangun.

Yang kedua, kita beralih ke masalah di awal tahun ini yang masih hangat (walaupun, sebagaimana semua isu di Indonesia, segera digantikan isu lain), tetapi di banyak negara juga panas. Anda tahu bahwa di banyak negara, legalisasi pernikahan sesama jenis (same-sex marriage) dan hak adopsi anak untuk pasangan sesama jenis oleh negara dan lembaga agama adalah hak-hak yang diperjuangkan oleh kelompok pejuang hak-hak Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT). Saya bingung, untuk apa mereka menuntut legalisasi hubungan seks? Bukankah di era hippies tahun ’60-an terjadi revolusi seks yang mempertanyakan lembaga pernikahan?

Tetapi banyak negara yang memberikan berbagai keuntungan finansial bagi mereka yang menikah: potongan pajak, tunjangan nikah, cuti hamil dan melahirkan, tunjangan anak, paket asuransi kesehatan yang lengkap dan hemat, dan sebagainya. Tentu saja kaum homoseksual hanya bisa memandang dengan iri selama definisi pernikahan yang legal adalah antara pria dan wanita (terlepas dari fakta bahwa banyak lajang – apapun orientasi seksual mereka – yang mengalami kebebasan finansial karena tidak punya beban keluarga). Maka hal ini dianggap sebagai diskriminasi dan merupakan bagian dari untaian sejarah panjang penindasan LGBT. Jadilah para pejuang hak-hak LGBT setiap tahun berusaha melempar isu ini di parlemen dan arena publik lainnya sampai berhasil digolkan.

Jangan dikira di negara-negara liberal sedikit sekali yang menolak pernikahan sesama jenis. Bahkan di kalangan sekuler, persentase mereka cukup besar. Tetapi hal ini segera ditanggapi dengan pedas: mereka yang tidak setuju pernikahan sesama jenis – apapun dasarnya – sama saja mendiskriminasi LGBT. Celakanya, di negara seperti Amerika Serikat, hal ini identik dengan orang-orang Kristen fundamentalis kulit putih di Selatan yang punya sejarah kelam perbudakan dan rasisme terhadap kaum Afrika-Amerika. Bukan hanya dicap anti-gay, orang yang menentang pernikahan LGBT juga dicap bigot, rasis, kapitalis, munafik, anti-kasih (artinya berlawanan dengan pesan Kristus) dan sebagainya (guilt by association). Karena itu beberapa gereja dan kelompok moderat akhirnya memilih “yang waras ngalah”. Penyebabnya sederhana: bigotry dilawan dengan bigotry.

Anda lihat bahwa ruang publik dalam demokrasi adalah sesuatu yang sangat kritis, di negara manapun juga? Benar kata seorang bapak bangsa AS (saya lupa siapa), demokrasi itu membutuhkan orang-orang baik. Orang-orang yang bisa berpikir jernih dan berargumen membangun. Negara demokratis bisa melakukan penegakan hukum untuk membuat warganya melakukan yang benar, tetapi tidak bisa memaksa warga negara menjadi baik. Lalu kelompok fatalistik di negeri ini berujar, kalau begitu ya sudah, buat negara otoriter saja! Seperti kata Soeharto di pantat truk barang: “Piye kabare? Enak jamanku, to?” Negara bisa membuat rakyatnya menjadi benar dan baik! Tetapi siapa yang bisa menjamin negara itu juga (dikendalikan oleh orang) baik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun