Saya kaget juga ketika salah satu teman saya di Facebook men-share status mahasiswa Undip bernama M. Erfas yang mengupload foto PR matematika adiknya yang duduk di kelas 2 SD, di mana PR itu hanya diberi nilai 20 dari max. 100. Kesalahannya adalah karena dia menjawab (contoh): 4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 24, bukan 6 x 4 = 24 sebagaimana diharapkan gurunya.
Tanggapan saya yang pertama adalah: gurunya kaku sekali pada text book. Tetapi saya kaget juga dengan reaksi istri saya yang menjadi sangat kuatir. Ternyata penerbit buku tempatnya bekerja juga menerbitkan buku pelajaran kelas 2 SD dengan metode perkalian seperti itu. Ia merujuk referensi ini-itu dari penerbit luar, dan semua menyatakan bahwa 4 x 6 = 4+4+4+4+4+4. Dengan merebaknya kasus ini, ia kuatir terpaksa melakukan peninjauan, revisi besar-besaran, mungkin juga recall produk, yang ujungnya berakibat pada kerugian.
Kemudian tanggapan di media sosial juga tak kalah gilanya. Para profesor dan dosen pun ikut nimbrung. Bahkan netizen di medsos pun bukan hanya terbelah antara si kakak beradik vs guru, tetapi juga antara profesor A vs profesor B. Semua menjagokan opininya masing-masing sambil menghina yang lain, dengan argumen-argumen yang sepintas nampak logis semua.
Tetapi baiklah kita telaah satu persatu masalah dan tanggapan publik tersebut. Awal masalahnya adalah: Apakah 4 x 6 = 6 x 4 benar atau salah?
Jawaban pertanyaan di atas, tak lain dan tak bukan adalah: BENAR. 4 x 6 = 6 x 4 = 24. Jadi si Habibi, adik Erfas, menjawab dengan benar.
Karena yang menjadi inti permasalahan yang harus diselesaikan si anak adalah PERKALIAN. Perkalian memiliki sifat komutatif, jadi letak angka yang dikalikan bisa saling bertukar. Ini sama dengan penjumlahan: 4+6 = 6+4 = 10. Tetapi pembagian dan pengurangan tidak demikian. 4-6 = -2, dan 6-4 = 2. Sementara 4/6 = 6.66667, dan 6/4 = 1.5.
Mau bukti? http://en.wikipedia.org/wiki/Multiplication
Di situ bahkan dikatakan: 3 x 4 = 4+4+4, tetapi bisa juga 3 x 4 = 3+3+3+3. Karena hasilnya sama saja 12. Bahkan penjabarannya yang berupa penjumlahan berulang bisa beda, tetapi hasilnya sama.
Nah mari sekarang kita telaah tanggapan publik. Jika ada yang menanggapi sama seperti di atas, saya tidak bahas lagi di bawah.
1. Buku teks mengajarkan 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4. Contohnya, ada 4 apel dalam satu keranjang, dan ada 6 keranjang. Jadi ada enam kali 4 buah apel = 6 x 4 = 4+4+4+4+4+4. 4-nya ada 6 kali. Ini juga dipakai untuk mengajar lisan.
Saya sependapat, sebagaimana istri saya katakan, standar yang dipakai text book demikian. Guru, dan banyak orang tua, pun mengikuti metode di text book. "Nak, kalau 6 x 4 itu 4-nya ada 6 kali." Ini adalah metode penjabaran perkalian sebagai penjumlahan berulang. Metode dengan penggambaran sejumlah benda di dalam wadah, dengan wadahnya ada beberapa, juga acap dipakai. Inilah yang digunakan Prof. Yohanes Surya dalam menanggapi kasus ini.