Mohon tunggu...
Andre Panzer
Andre Panzer Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Saya ingin mendidik ulang bangsa ini

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kartu "Sakti" Jokowi hanya Pencitraan, Kalah Canggih dari Program Pemda?

18 November 2014   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:33 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang merupakan program kesejahteraan masyarakat dari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mendapat kritikan tajam. Bukan karena program itu gagal atau tidak efektif (karena baru juga mulai), tetapi karena dianggap sekedar pencitraan.

Kartu-kartu tersebut dituduh tidak ada payung hukumnya, sama saja dengan BPJS jaman Presiden SBY, tidak jelas dananya, dan bentuk fisiknya tak lain hanyalah pemborosan atau kamuflase untuk penyalahgunaan anggaran.

Dan tentu saja, isu-isu di atas adalah bagian dari tema besar pencitraan: kartu-kartu itu adalah kamuflase untuk program-program kapitalis neoliberal komunis kafir seperti menjual aset bangsa dan menaikkan harga BBM. Kira-kira begitulah argumen mereka.

Sebagai argumen, belakangan ini muncul pemberitaan di media massa dan sosial tentang program-program kesehatan (saya belum melihat yang pendidikan, CMIIW) di beberapa kabupaten/kota yang lebih canggih, dalam arti tanpa menggunakan alat penanda fisik seperti kartu khusus. Misalnya di Surabaya, Tangerang dan bahkan kabupaten Bantaeng di Sulawesi. Cukup dengan KTP atau bahkan sidik jari. Semua gratis.

Dan komentar atau argumen yang menyertai program-program tersebut adalah umumnya berbunyi: ini bedanya kerja nyata dengan pencitraan.

Jadi bukan efektivitas atau efisiensi program-program pemda itu yang disinggung, tetapi sekedar dilawankan dengan pencitraan Jokowi.

Saya tidak membantah bahwa kartu-kartu Jokowi kurang efisien. Tetapi program itu berjalan baik di tingkat kota Solo (sama seperti program-program lainnya yang sekarang dibandingkan itu) dan relatif OK di provinsi DKI Jakarta meskipun awalnya sempat bermasalah karena ketidaksiapan infrastruktur. Jadi berkaca dari keberhasilan di tingkat lokal, adalah wajar bagi pola pikir pengusaha Jokowi untuk membawanya ke level yang lebih tinggi. Ini sangat wajar dalam budaya perusahaan: improvement di tingkat lokal (cabang) disebarkan ke seluruh perusahaan.

Jadi sewajarnya, jika memang ada improvement di tingkat lokal yang sudah dilakukan kepala daerah lain yang lebih baik daripada pemerintah pusat (Jokowi), maka dibawa ke level nasional sebagai usulan perbaikan ke pemerintah pusat.

(Perlu diingat bahwa program-program kesehatan itu juga hanya berlaku di tingkat daerah, dengan kekhasan sistemnya masing-masing. Jika akan dibawa menjadi tingkat nasional, yang sangat saya anjurkan, maka tetap harus ada penyesuaian.)

Tetapi karena konteksnya Jokowi akan menaikkan harga BBM, maka tetap saja program-program itu dibuat sebagai senjata melawan pemerintah. Saat tulisan ini dibuat, pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Antrian mobil dan motor kelas menengah dan atas mendadak mengular di SPBU. Para sosialita gila belanja mengomel sinis di media sosial, bersanding dengan 'aktivis' peduli rakyat yang mengusulkan solusi jangka sangat panjang (yang juga sudah paralel mulai dilakukan) untuk masalah beban APBN yang tinggal menghitung hari.

Jadi program-program 'tandingan' itu hanya mengendap di daerah, tidak menjadi sesuatu yang baik selain sebagai senjata pemanas keluh kesah rakyat.

Sedikit membahas masalah pencitraan Jokowi versus kepala daerah lainnya. Apakah Jokowi memang melakukan pencitraan, sementara kepala daerah yang lain itu tidak? Saya dengan tegas menjawab YA.

Mengapa? Jawabannya mudah: Jokowi adalah mantan pebisnis, sementara yang lain adalah birokrat atau akademis.

Bu Risma, misalnya, murni meniti karir di Pemkot Surabaya. Ridwan Kamil (Bandung) dan Nurdin Abdullah (Bantaeng) adalah profesional dan akademis. Mereka tentu saja kurang akrab dengan pencitraan, atau lebih tepat disebut "BRANDING", sesuatu yang sangat lumrah untuk pengusaha seperti Jokowi.

Meja saya kebetulan bersebelahan dengan manager Marketing Communication di perusahaan kami. Teman saya itu tidak habis-habisnya mengurusi pencitraan perusahaan kami, mulai dari logo perusahaan, semboyan/"tagline" perusahaan, iklan, spanduk, poster bahkan sampai gradasi warna di selembar kertas. Dan dewan direksi benar-benar menganggap serius hal itu, karena mereka menyadari betul kekuatan citra sebuah merek ("brand") dalam memikat calon customer maupun mempertahankan kesetiaan customer yang sudah ada. Begitu seriusnya sampai ia sedikit mengabaikan kesehatannya.

Jadi jangan heran Jokowi juga melakukan itu. Ia melakukan "Branding" dalam banyak kegiatannya. Jangan heran apabila ia presentasi seperti salesman di forum CEO APEC, karena Bill Gates dan Steve Jobs juga biasa melakukan itu. Karena memang itulah pola pikir pebisnis: bagaimana mengenalkan Indonesia ke dunia, bagaimana mengenalkan program kerja kepada rakyat.

Masalahnya sekarang adalah: konteks pencitraan apa yang mau kita percaya? Pencitraan sebagai alat komunikasi yang efektif untuk sesuatu yang baik, atau teori konspirasi antah berantah tentang "tangan-tangan tak terlihat" (invisible hands) di balik kegiatan pemerintah?

Dan yang lebih penting lagi: jika di dalam perusahaan besar ini ada karyawan yang punya ide lebih baik untuk melayani customer, apakah akan didengar sang CEO atau masuk kuping kiri keluar kuping kiri, alias terpantul? Atau kita malah menyumbang suara sumbang untuk mengadu domba atasan lawan bawahan, atau customer lawan perusahaan?

Kalau di perusahaan saya, yang bersuara sumbang itu dipecat. Atau kalau tidak, "ditempatkan sementara" di pos yang tidak penting. Nanti juga resign sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun