Belakangan ini Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang merupakan program kesejahteraan masyarakat dari Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo mendapat kritikan tajam. Bukan karena program itu gagal atau tidak efektif (karena baru juga mulai), tetapi karena dianggap sekedar pencitraan.
Kartu-kartu tersebut dituduh tidak ada payung hukumnya, sama saja dengan BPJS jaman Presiden SBY, tidak jelas dananya, dan bentuk fisiknya tak lain hanyalah pemborosan atau kamuflase untuk penyalahgunaan anggaran.
Dan tentu saja, isu-isu di atas adalah bagian dari tema besar pencitraan: kartu-kartu itu adalah kamuflase untuk program-program kapitalis neoliberal komunis kafir seperti menjual aset bangsa dan menaikkan harga BBM. Kira-kira begitulah argumen mereka.
Sebagai argumen, belakangan ini muncul pemberitaan di media massa dan sosial tentang program-program kesehatan (saya belum melihat yang pendidikan, CMIIW) di beberapa kabupaten/kota yang lebih canggih, dalam arti tanpa menggunakan alat penanda fisik seperti kartu khusus. Misalnya di Surabaya, Tangerang dan bahkan kabupaten Bantaeng di Sulawesi. Cukup dengan KTP atau bahkan sidik jari. Semua gratis.
Dan komentar atau argumen yang menyertai program-program tersebut adalah umumnya berbunyi: ini bedanya kerja nyata dengan pencitraan.
Jadi bukan efektivitas atau efisiensi program-program pemda itu yang disinggung, tetapi sekedar dilawankan dengan pencitraan Jokowi.
Saya tidak membantah bahwa kartu-kartu Jokowi kurang efisien. Tetapi program itu berjalan baik di tingkat kota Solo (sama seperti program-program lainnya yang sekarang dibandingkan itu) dan relatif OK di provinsi DKI Jakarta meskipun awalnya sempat bermasalah karena ketidaksiapan infrastruktur. Jadi berkaca dari keberhasilan di tingkat lokal, adalah wajar bagi pola pikir pengusaha Jokowi untuk membawanya ke level yang lebih tinggi. Ini sangat wajar dalam budaya perusahaan: improvement di tingkat lokal (cabang) disebarkan ke seluruh perusahaan.
Jadi sewajarnya, jika memang ada improvement di tingkat lokal yang sudah dilakukan kepala daerah lain yang lebih baik daripada pemerintah pusat (Jokowi), maka dibawa ke level nasional sebagai usulan perbaikan ke pemerintah pusat.
(Perlu diingat bahwa program-program kesehatan itu juga hanya berlaku di tingkat daerah, dengan kekhasan sistemnya masing-masing. Jika akan dibawa menjadi tingkat nasional, yang sangat saya anjurkan, maka tetap harus ada penyesuaian.)
Tetapi karena konteksnya Jokowi akan menaikkan harga BBM, maka tetap saja program-program itu dibuat sebagai senjata melawan pemerintah. Saat tulisan ini dibuat, pemerintah baru saja mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi. Antrian mobil dan motor kelas menengah dan atas mendadak mengular di SPBU. Para sosialita gila belanja mengomel sinis di media sosial, bersanding dengan 'aktivis' peduli rakyat yang mengusulkan solusi jangka sangat panjang (yang juga sudah paralel mulai dilakukan) untuk masalah beban APBN yang tinggal menghitung hari.
Jadi program-program 'tandingan' itu hanya mengendap di daerah, tidak menjadi sesuatu yang baik selain sebagai senjata pemanas keluh kesah rakyat.