Saya yakin, guru swasta tidak hanya disia-siakan oleh sistem di dalam yayasan tempatnya bernaung. Guru swasta juga sering teraniaya oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah. Sudahlah, kalau mau membuktikan pelajari saja yang ada di awal pusat permulaan permasalahannya yaitu PP 48/2005.
Di sisi lain, selalu terjadi perbedaan antara Guru non PNS sekolah negeri dengan guru swasta dalam hal penerimaan insentif daerah, belum lagi persoalan di seputar kesejahteraan, yang seakan-akan tidak habis-habisnya meremehkan peran guru swasta.
Seandainya semua anggota DPR/D mau menyimak persoalan guru swasta ini dengan baik, barangkali mereka sekarang sudah memikirkan suatu usulan untuk membuat satu permen/perda yang dapat memobilisasi dana berasal dari para orangtua siswa dan stakeholders pendidikan khusus bagi guru swasta. Tapi sayang, mereka sedang sibuk sendiri kayaknya.
Padahal jika bicara urusan kinerja, baik guru PNS maupun guru swasta, tak pernah ada yang mengatakan harus dibedakan. Oleh pemerintah tidak pernah dibedakan tanggungjawab mereka terhadap kualitas hasil proses pendidikan anak bangsa, di dalam maupun di luar ruang-ruang kelas.
Jangankan terhadap keberhasilan, terhadap proses pendidikan yang gagal pun mereka harus mengakui sebagai penanggungjawabnya. Tetapi begitu dibenturkan pada urusan kesejahteraan atau peningkatan kompetensi, guru swasta paling terpojok, terjungkal, dan dipaksa bergolak. Atau, diam saja menyerah kalah oleh keadaan. Itulah pilihannya.
Namun ketika para guru swasta akhirnya memilih berani dan gigih memperjuangkan dihapuskannya diskriminasi guru, gerakan mereka malah sering dituduh kontra produktif. Jadi, apakah aniaya itu boleh diikhlaskan begitu saja?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H