Kegagalan sebenarnya hal yang biasa saja, karena setiap orang bisa mengalami, dan kadar menyakitkannya tergantung dari sudut mana dirasakan. Sebagian orang bahkan mengatakan, kegagalan itu tidak ada, yang ada hanyalah hasil, dan umpan balik. Keduanya bermanfaat asal tahu cara menemukan hikmahnya. Tetapi kebanyakan orang merasakan kegagalan sebagai aib.
Contohnya dalam dunia pendidikan, pernah ketika banyak anak didik tidak lulus di beberapa sekolah negeri, tidak disangka-sangka ada wakil rakyat dan petinggi dinas pendidikan yang langsung menudingkan telunjuknya ke arah biang kegagalan itu. Ini karena guru-gurunya  pemalas, hardik mereka.
Sebaliknya, meskipun pada ujian nasional itu juga banyak keberhasilan dicapai para anak didik, meraih prestasi puncak di berbagai mata pelajaran dengan nilai sempurna, yaitu sepuluh, hampir tidak terdengar sekelumit pun pujian ditujukan kepada para guru mereka. Malahan mereka menuduh itu hasil kecurangan guru-gurunya.
Sehingga, walaupun kinerja para guru itu dibuat sebagus apapun sampai berdampak nyata membawa keberhasilan anak-anak didik, tetap saja giliran merayakan keberhasilan, belum banyak kepedulian diberikan kepada mereka yang ada di balik keberhasilan anak-anak didik itu.
Artinya, selalu terkesan kurangnya penghargaan kepada para guru dibandingkan penghargaan kepada anak didik mereka. Ampun pemerintah, ini agak menyakitkan memang, jika guru selalu dituntut memiliki kekayaan idealisme dan ketrampilan profesional itu, ternyata baru diimbali dengan posisi gaji atau penghasilan yang belum bermartabat. Lebih-lebih penghasilan guru swasta di sekolah swasta. Di Tegal malah sampai dibela-belain unjukrasa, mogok ’ngajar, dan terakhir (?) mogok makan.
Jadi, kalau keberhasilan anak didik saja tidak otomatis membawa penghargaan terhadap gurunya, maka apakah selalu berarti, kegagalan anak didik itu adalah kegagalan gurunya?
Apabila benar kegagalan anak didik adalah kegagalan gurunya, maka pasti kinerja gurulah yang buruk. Padahal kualitas kinerja guru bergantung pada keberhasilan kinerja kepala sekolah, dan kualitas kinerja kepala sekolah, bergantung kepada keberhasilan kinerja atasannya.
Kait-mengait tanggungjawab terhadap kualitas kinerja ini tidak dapat dihindari, dansangat tidak bijak jika mengingkarinya. Memang, sebaik apa pun kinerja bawahan, atau sebaliknya, maka semua pendapat para pemegang kekuasaanlah yang harus selalu dianggap benar, sedangkan bawahan harus selalu bisu ketakutan melakukan pembelaan.
Padahal berani dijamin, tidak akan ada guru bersikap malas, bila diberi tugas mengantarkan anak didiknya agar lulus ujian nasional. Dan jika di antara anak didiknya yang gagal masih ada yang berhasil atau lulus, kinerja guru yang bersangkutan tidak boleh dikatakan gagal. Oleh karena itu, sangat tidak pantas bila terjadi kegagalan anak didik dalam ujian nasional, langsung menuding sumber kegagalan ada di pihak gurunya.
Alih-alih mengkambing-hitamkan guru, justeru sistem ujian nasional yang tak sedikit ditolak dan tak habis-habisnya dikritisi itu mesti segera direvisi. Ampun pemerintah, jika kalian tidak mau, ya, sudahlah.
Toh kata banyak pakar, pendidikan benar-benar merupakan bagian tak terpisahkan dari keperluan manusia, menjadi cermin peradaban bangsa, dan dalam situasi yang bagaimanapun pendidikan harus terus berjalan.