Malam yang indah, diterangi rembulan dengan ribuan bintang yang ikut bersinar. Namun perasaanku saat ini tidaklah seindah langit malam. Aku gundah, aku merasakan kesepian, aku sangat menyesali berapa banyak waktu yang aku buang percuma hanya untuk menunggu kepastian yang tak kunjung datang. Menuggu perasaan cinta dari seorang laki-laki yang bisa membuatku jatuh cinta. Itulah Rendy, Rendy Christo Rivaldo .Â
Dia adalah temanku semasa kuliah, sekaligus teman curhatku. Semua masalahku kucurahkan padanya. Dia begitu dewasa dengan usianya yang saat ini menginjak 19 tahun,sama sepertiku, namun aku tak sedewasa dirinya. Mungkin itulah yang membuatku jatuh cinta padanya, aku merasa bahagia jika berada didekatnya.
Namaku Clara, lebih tepatnya Livania Clara. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Aku bisa dibilang anak yang pemalu, namun entah mengapa aku bisa dengan sangat mudahnya bergaul, sangat bertolak belakang dengan sifatku yang sedikit pendiam dan cengeng.
Waktu itu, aku tak sengaja berkenalan dengan Rendy. Melalui via video call yang tersambungkan dengan temanku Gilang saat itu. Gilang adalah teman laki-laki pertama yang ku kenal ketika aku masuk dunia perkuliahan ini. Gilang sangat perhatian padaku, dia selalu ada disaat aku kesepian, selalu menemani malam-malamku walau hanya melalui via online.
Tak seperti malam sebelumnya, Gilang mengajak seorang temannya dalam pembicaraan kami di video call. Tak lain dan tak bukan adalah Rendy. Seperti dua orang yang berbeda jika melihat kembali Rendy yang dulu Rendy yang ku kenal sekarang. Dia juga sama sepertiku, pendiam, tidak banyak bicara, dan misterius.Tidak seperti sekarang, dia adalah orang yang humoris, menyenangkan, selalu bisa membuatku tertawa dikala saat aku sedih. Benar kata orang, jangan menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Baru kutahu arti kalimat itu setelah aku mengenal Rendy.
Waktu terus berjalan, perkenalan singkatku dengan Rendy makin hari makin erat. Ke akraban kami layaknya dua insan yang sedang menjalani hubungan. Setiap malam aku curhat padanya tentang Gilang yang menyatakan perasaannya padaku. Sedari dulu aku memang tahu jika Gilang menyukaiku, namun terasa berat hatiku untuk menerima perasaannya. Gilang memang selalu ada saat aku kesepian, tetapi sifatnya yang kekanak-kanakan,serta mudah marah membuatku berfikir kembali untuk menerima perasaannya itu. Lagi pula, sepertinya aku saat ini menyukai Rendy. Berat memang jika harus memilih, antara yang selalu ada dan yang bisa membuat kita nyaman.
Rendy selalu mensupportku saat mengetahui jika Gilang memiliki perasaan padaku. Kata-kata bijaknya semakin membuatku jatuh cinta padanya. Betapa dewasanya dia dimataku.
Hatiku bimbang, telah lama aku mengenal Rendy, namun aku tak tahu sama sekali bagaimana perasaannya padaku, entah dia anggap apa aku di dalam hidupnya, apakah hanya sebuah teman? Entahlah aku tidak tahu. Ingin sekali rasanya untuk menanyakan hal itu, tetapi aku begitu pemalu dan idak berani untuk melontarkan pertanyaan yang sebelumnya tak pernah ku tanyakan.
Dua bulan berlalu semenjak Gilang menyatakan perasaannya padaku. Dua bulan juga telah aku lewati untuk menunggu sebuah kata cinta yang terucap dari mulut Rendy. Aku rela mengulur waktu untuk menolak gilang hanya untuk Rendy.Â
Tetapi aku tetap tak tahu apakah Rendy punya perasaan yang sama denganku. Yang ku tahu,dia selalu mensupportku dengan Gilang. Sesak rasanya saat dia mengatakan itu, namun bodohnya aku yang selalu menunggu Rendy, padahal aku tahu ada Gilang yang mencintaiku selama ini.Â
Tak bosan Ia menungguku untuk memberikan jawaban. Sampai tiba saat dimana aku lelah, aku tak sanggup jika harus menunggu Rendy terlalu lama. Saat itu juga aku menerima Gilang sebagai pacarku. Respon Rendy saat mengetahui itu hanya sebatas "selamat ya". Aku kecewa, apa yang aku harapkan serta panantianku selama ini terbuang sia-sia.
Tiga bulan aku menjalani hubungan dengan Gilang. Beberapa kali aku kerumahnya untuk bersilaturahmi. Ku temui Rendy disana. Dia memang teman akrabnya pacarku, Gilang. Ku tatap matanya, hanya sebuah senyuman kecil yang terlukiskan di wajahnya, seolah semua baik-baik saja. Sebuah harapan yang kubuka untuknya kututup kembali rapat-rapat. Lebih baik aku tidak mengenalnya dari dulu jika harus seperti ini. Rendy begitu jahat, aku kecewa padanya. Aku tak ingin terlalu menyesali ini, lagi pula ada Gilang yang masih berstatus pacaran denganku, walaupun pertengkaran selalu terjadi diantara aku dan Gilang.
Hari terus berganti, ku jalani hari-hariku bersama Gilang. Namun semakin hari, hubunganku dengan Gilang semakin retak, rasa ego selalu menyertai setiap pembiraraan kami, aku bosan jika harus terus memaafkan kesalahan yang kemudian dia ulang kemudian hari. Hubungan yang retak ini selalu ku tahan hingga saat aku lelah menghadapi kekanak-kanakannya Gilang, aku tak sanggup untuk mempertahankan hubungan ini.
Malam itu aku berniat untuk memutuskan hubunganku dengan Gilang, tetapi dia terlebih dahulu mengatakan hal itu via chat. Dengan alasan, orang tua nya tidak menyetujui hubungan kami karena perbedaan agama, serta alasan lain tak tak begitu ku mengerti. Yang ku tahu, Gilang juga pasti merasakan hal yang sama denganku, bosan.
Telah lama aku tidak curhat pada Rendy semenjak aku berpacaran dengan Gilang. Malam itu juga aku memutuskan untuk curhat padanya tentang putusnya hubunganku dengan teman akrabnya itu. Terlintas di pikiranku untuk menanyakan pertanyaan yang dulu tak sempat aku tanyakan padanya. Aku memberanikan diri, aku hanya tak ingin penasaran dan tak ingin pertanyaan itu terngiang-ngiang di otakku.
Jawaban Rendy tidak membuatku puas, yang dia katakan seolah rasa suka itu wajar, sayang kepada teman, keluarga dan jawaban lain tak tak aku ingin dengar. Yang ku mau hanya jawaban apakah dia memiliki perasaan padaku atau tidak.
Kudesak Rendy untuk menjawab pertanyaan itu,sampai akhirnya dia menyerah dan lebih memilih jujur. Penasaran bercampur gelisah ketika di handphone ku bertuliskan "typing". Lama sekali ku menunggu balasan chat darinya. Kemudia handphone ku berdering pertanda ada pesan yang masuk. Ku buka pesan itu, begitu panjang, kubaca dengan serius. Dadaku terasa sesak, ingin mengangis ketika aku membaca pesan itu. Tak kusangka selama ini aku telah salah memilih jalanku sendiri. Aku telah kalah dengan ketidak beranianku. Aku menyesal.
Menyesal ketika mengetahui bahwa Rendy juga menyukaiku sejak pertama kali Ia mengenalku. Betapa bodohnya aku yang tak tahu akan hal itu, bahkan tak sanggup mengutarakan perasaanku sendiri padanya.
Ada maksud dan alasan lain dalam senyumannya yang selama ini aku lihat di wajahnya. Bukan karena bahagia melihatku bersama Gilang, tetapi hanya tak ingin aku bersedih jika tahu bahwa dia juga menyukaiku. Dia tak ingin melukai perasaanku dan teman akrabnya, Gilang. Dia tak ingin pertemanan antara kami bertiga hancur jika Ia mengtarakan perasaannya padaku, karena Dia tau Gilang juga memiliki perasaan padaku.
Tak kusangka dibalik kebahagianku, Rendy menahan rasa sakit yang tak ku tahu bagaimana rasanya, yang pasti itu sakit sekali. Aku telah salah menilainya.
Tak bisa aku memperbaiki hatinya yang hancur itu. Sekalipun bisa, kini situasinya sudah berubah. Rendy menolak jika perasaan ini dimulai dari nol seperti dulu. Dia bilang, "sekarang semuanya telah berbeda, kini semuanya tak lagi sama. Dan semuanya sudah terlambat. Mana mungkin kita bisa bersatu yang kamu tahu sendiri, dirimu pernah menjalin hubungan dengan Gilang, aku tak mau menjadi pisau yang menusuk temanku sendiri dari belakang."
Aku mengerti maksud Rendy, aku juga terpikirkan hal yang sama dengannya. Berat mengetaui kenyataan yang begitu kejam, waktu juga begitu jahat yang tak pernah mengijinkanku menghabiskan waktuku bersama seseorang yang aku cintai.Â
Tapi tak mengapa, setidaknya aku tahu, seseorang itu juga memiliki perasaan yang sama padaku. Biarlah semua ini berlalu. Cukup aku, dia dan Tuhan yang tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H