Mereka menilai hal tersebut menyenangkan karena pemimpin yang diidolakan cukup lucu untuk dikenang dalam peradaban tanah air. Bak pengeras suara, emak-emak juga menjadi mesin persuasi yang cukup bisa diandalkan.
Tak kalah seru, jurus-jurus yang dikeluarkan para penantang pada masa kampanye juga cukup menarik, misalnya mengajak masyarakat berdiskusi sambil memamerkan rekam jejak dan melakukan gerakan blusukan hingga menginap di rumah-rumah warga.
Namun, hal tersebut rasanya belum cukup untuk mengalahkan orang dianggap sebagai petahana sekaligus kawan Pak lurah. Para penantang harus memiliki nyali dan tekad kuat. Tak bisa dipungkiri, pemilih yang disasar sang jenderal lebih luas dari pada dua penantang yang ada.
Setiap kandidat memiliki pasarnya masing-masing. Mungkin dua calon alternatif bisa meraup suara dari kaum intelektual dan orang-orang yang peduli dengan hukum, akan tetapi, seberapa banyak sih jumlah pemilih dengan kriteria tersebut? Jangan salahkan siapapun dalam kasus yang satu ini kawan.
Dengan banyaknya kemiskinan dan keterpurukan, suara mereka yang berekonomi dan berpendidikan rendah pastinya menjadi ladang yang menggiurkan. Itulah target yang sudah dikeker sang jenderal. Dengan bantuan sosial dan uang, masyarakat sudah tak perduli lagi siapa yang menjadi pemenang.
Kebanyakan masyarakat memang lebih suka dengan sosok yang memberikan hadiah dari pada visi misi ke depan. Uang dan beras memang lebih nikmat dari pada pendidikan dan sumber daya manusia masa depan yang mumpuni. Karena apa? Perut perlu terisi penuh untuk bisa melanjutkan hidup.
Aku tak ingin menghakimi siapapun yang menerima bantuan sosial dari pemerintah, toh saya juga sedang butuh saat ini. Namun ada satu hal yang kusayangkan pada pemilihan presiden tahun ini, politik uang tak kunjung terselesaikan.
Kebiasaan itu akan menjadi budaya yang membuat masyarakat permisif atas praktik tersebut. Jangan-jangan masyarakat kita memang tak ingin maju dengan terus-terusan dibodohi? Apakah ini artinya kita dijajah di negeri sendiri? Kuharap mereka tak menyesal di lain hari.
Akan tetapi, mengapa sang jenderal tidak bisa memenangkan lebih dari 70 persen suara dalam kontestasi kali ini? Padahal, dia memiliki mesin koalisi partai yang sangat kuat dan buah hati Pak lurah sebagai pendampingnya.
Jawabannya adalah kandidat alternatif. Mungkin banyak orang yang merasa tidak punya pilihan pada 2019, namun kali ini berbeda. Tokoh penantang yang terjun perdana dalam pemilihan presidem tahun ini menjadi antitesis kekuasaan, itulah yang banyak orang harapkan.
Hal itu juga yang membuat sang jenderal tak berhasil menyentuh angka lebih dari 60 persen meski sudah menjadi seorang verteran dan bergabung dengan kekuasaan. Namun, hasil itu tidak mudah berubah. Kekalahan akan tetap jadi kekalahan, ikhlaslah kawan.