Mohon tunggu...
Panji Sanjaya
Panji Sanjaya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bersyukur dengan yang Halal

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Harus Ang Ciu?

4 November 2013   16:10 Diperbarui: 4 April 2017   18:08 16476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berangkat dari sebuah kejadian yang baru saya alami beberapa waktu lalu. Tepatnya ketika pulang kerja saya sempatkan untuk mampir ke kedai nasi goreng langganan. Kebetulan kedai nasi goreng langganan saya ini baru berdagang lagi di tempatnya yang baru. Tempatnya lebih luas dan lebih bersih. Tidak seperti biasanya, kala itu penjual langganan saya sedang digantikan oleh kerabatnya. Ketika saya tiba tidak langsung memesan nasi goreng, tapi melihat-lihat tempat bumbu dan sekitarnya dulu. Apa yang saya khawatirkan benar adanya. Di salah satu pojok tempat bumbu, terlihat sebuah botol berisi cairan agak keruh seperti kecap ikan dan di luarnya tertulis aksara cina. Dari tampilannya saya sudah bisa memastikan itu adalah Ang Ciu (arak merah) yang biasa digunakan sebagai penyedap masakan chinese food. Saya bertanya kepada penjualnya, “Pakai Ang Ciu ya”, “Iya, kalau mau gak pakai juga bisa kok”, balasnya. Saya langsung ngeloyor pergi meninggalkan kedai itu. Untuk sekadar diketahui bahwa sebelumnya kedai nasi goreng langganan saya itu tidak memakai Ang Ciu. Mungkin karena pemahaman yang kurang, mereka jadi terbawa arus oleh trend kuliner saat ini.

Saya melihat Ang Ciu sudah menjadi trend kuliner beberapa waktu belakangan ini. Di mana saja bisa kita temukan botol-botol Ang Ciu (dan sejenisnya) menghiasi rak-rak bumbu penjual makanan. Kedai-kedai, tenda-tenda, pun gerobak-gerobak makanan tidak mau ketinggalan trend yang satu ini. Memang tidak semua kuliner menggunakan Ang Ciu, terutama mereka yang sudah tahu hukum halal-haramnya angciu (dan sejenisnya) bila dikonsumsi oleh muslim.

Ang Ciu (arak merah), Pek Be Ciu (arak putih), Kue Lo Ciu (arak mie), Arak Gentong adalah beberapa arak masak yang ikut menyemarakkan kuliner negeri kita. Dan yang paling dikenal adalah Ang Ciu ini atau biasa disebut juga Sari Tapai.

Pengaruh kuliner tionghoa terhadap kuliner negeri kita sangat besar, ini salah satunya. Dengan maraknya penggunaan arak masak yang diyakini menambah cita rasa masakan membuat para penjual seringkali tidak berpikir panjang lagi tentang halal-haramnya bahan baku tersebut. Dengan ilmu dan pemahaman yang sangat minim, mereka leluasa menggunakan Ang Ciu ini, padahal tidak sedikit para penjual makanan ini adalah muslim yang seyogyanya sudah tahu batasan halal-haramnya sesuatu yang akan dikonsumsi.

Inilah potret negeri kita yang di satu sisi terkayakan dengan budaya luar, di lain sisi ada efek terhadap norma-norma suatu agama. Dengan kebijakan pribadi rasanya cukup untuk mengontrol pengayaan budaya ini hingga tidak sampai memporak-porandakan keyakinan seseorang.

Sekilas mungkin sepele jika Ang Ciu sampai dibawa-bawa ke ranah budaya dan agama. Namun faktanya demikian, bahwa Ang Ciu sudah sampai membudaya terutama bagi penjual nasi goreng, sea food dan sejenisnya. Ang Ciu Juga sudah menjadi pembicaraan sejak lama oleh muslim yang peduli akan halal-haramnya produk yang akan dikonsumsi. Inilah yang menjadi perhatian saya beberapa waktu belakangan sehingga menyita ruang dalam benak ini.

Hukum Ang Ciu dalam Islam

Dalam proses pembuatannya sendiri Ang Ciu sudah dikategorikan sebagai khamr. Sedikit banyaknya khamr adalah haram. Seperti sabda Rasulullah SAW, "Segala yang memabukkan adalah khamar dan segala yang memabukkan hukumnya haram". (HR. Ahmad dan Ashhabussunan).

Yang perlu diperhatikan juga adalah pengertian mengenai hukum arak (khamr) dalam islam yang sudah cukup jelas, haram. Bukan saja haram sebatas mengkonsumsinya, tetapi haram juga untuk memproduksinya, mengedarkannya, menggunakan manfaatnya bahkan menolong orang untuk memanfaatkannya.  Seperti disampaikan dalam sebuah hadits “Sepuluh orang yang dikutuk Allah mengenai arak yaitu pembuatnya, pengedarnya, peminumnya, pembawanya, pengirimnya, penuangnya, penjualnya, pemakan uang hasilnya, pembayarnya dan juga pemesannya.” (HR Imam Tirmidzi, Kitab Ibnu Majah Jilid 3, Kitab memabukkan, bab 30 hadis no. 3380.)

Para ulama menyebutkan bahwa khamar adalah apapun yang menghilangkan akal sehingga seseorang tidak sadar apa yang diperbuatnya. Dan bila sudah memenuhi kriteria khamar, haram meminumnya walaupun sedikit, meski seseorang mampu untuk kadar tertentu tidak menjadi mabuk karenanya. Sebab dalam hal ini berlaku hukum bahwa khamar itu haram meski hanya sedikit atau meski meminumnya belum sampai memabukkan.

Untuk mengetahui hukum arak cina itu tinggal mengetahui bagaimanakah sifat atau karakteristiknya, apakah memenuhi kriteria sebagai khamr ataukah bukan.

Kesalahpahaman Masyarakat

Pemahaman yang berkembang di sebagian masyarakat terutama pengusaha restoran dan makanan, bahwa yang haram itu adalah babi, sedangkan Ang Ciu bukan produksi dari babi jadi halal, begitu logika mereka.

Disamping itu ada kesalahpahaman di kalangan pengusaha atau juru masak yang tidak menganggap arak sebagai sesuatu yang haram. Apalagi mereka berpikir jika dalam proses pemasakannya arak tersebut menguap dan hilang, berarti sudah tidak ada kandungan alkohol dalam masakan mereka. Sehingga anggapan itu membuat mereka merasa tidak bersalah ketika menghidangkan masakan itu kepada konsumen.

Beberapa konsumen mengaku bingung ketika tahu bahwa makanan yang dikonsumsinya ternyata mengandung bahan haram. Tidak tahu harus berbuat apa, atau mengadu kepada siapa.

Padahal Lembaga Pangan Obat Obatan dan Kosmetika (LPOOM) MUI mengkategorikan zat sejenis arak ini haram, karena di dalamnya mengandung khamr. “Makanan yang sengaja menggunakan bahan itu tidak halal,” ujar Aisyah Girindra, Direktur LPOOM MUI. Menurut penelitian yang dilakukan Nurwahid, ahli Teknologi Pangan IPB, Ang Ciu mengandung unsur alkohol hasil fermentasi sebanyak 15%.

Pemerintah yang mestinya bertindak sebagai pengawas juga tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. “Pemerintah belum serius mengawasi restoran atau perusahaan yang menggunakan bahan haram. Padahal peredaran makanan haram dan minuman keras banyak terjadi di restoran-restoran,” ujar Aisyah.

Pada akhirnya segala sesuatu kembali kepada pribadi masing-masing bagaimana menyikapi fenomena ini. Memang  tidak mudah untuk menyampaikan segala informasi  yang harus disampaikan demi kemaslahatan ummat. Semua itu berpulang kepada bagaimana kita yang mengaku muslim dalam menjalankan kewajiban yang menjadi taklif hidup kita di muka bumi ini.

Dan, yang jelas orang cerdas pasti memilih yang HALAL!

Wallahu’alam bishawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun