Mohon tunggu...
Panji Prasetio
Panji Prasetio Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Operator Produksi

Musik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Radikalisme Berfikir : Membongkar Paradigma Menuju Keadilan dan Keadilan

19 Januari 2025   11:22 Diperbarui: 19 Januari 2025   11:24 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

NAMA : REZA RAHMATULLOH

Pendahuluan

Dunia kita tengah berada di persimpangan sejarah, di mana perubahan begitu cepat namun tantangan lama tetap bertahan. Krisis sosial, ketimpangan ekonomi, degradasi lingkungan, hingga disrupsi teknologi menuntut solusi yang tidak hanya inovatif, tetapi juga berani. Dalam konteks ini, radikalisme berpikir dapat dilihat sebagai alat untuk mendekonstruksi paradigma usang dan menggantinya dengan visi baru yang lebih progresif.

Radikalisme berpikir tidak hanya berarti penolakan terhadap tradisi, tetapi juga keberanian untuk membangun gagasan baru dengan mempertimbangkan dinamika keadilan, kemanfaatan, dan keberlanjutan. Ini adalah pendekatan yang mendobrak tembok konservatisme sambil tetap bertumpu pada fondasi logika dan moralitas. Ketika diterapkan dengan benar, pemikiran radikal dapat menjadi kunci untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih adil, sistem hukum yang lebih inklusif, serta inovasi teknologi yang melayani kepentingan kolektif.

Pendekatan holistik ini mengajak kita untuk tidak hanya melihat radikalisme sebagai alat perubahan, tetapi juga sebagai refleksi atas kompleksitas dunia yang membutuhkan pemikiran mendalam, multidisipliner, dan berorientasi pada masa depan. Essay ini akan mengeksplorasi bagaimana radikalisme berpikir dapat menjadi landasan dalam mereformasi pola pikir sosial, teknologi, dan hukum demi mewujudkan visi dunia yang lebih baik.

Dekonstruksi Pola Pikir Lama

Fondasi masyarakat modern sering kali didasarkan pada pola pikir yang dianggap "normal" atau "tidak terbantahkan." Namun, apa yang disebut normal sering kali adalah alat yang digunakan oleh kelompok dominan untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dekonstruksi pola pikir lama tidak hanya berarti membongkar tradisi yang usang, tetapi juga menantang narasi hegemonik yang telah mengakar dalam sistem sosial, ekonomi, dan budaya kita.

Sebagai contoh, ide bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa batas adalah indikator keberhasilan suatu negara justru melanggengkan eksploitasi sumber daya dan ketimpangan kekayaan. Dalam sistem ini, keuntungan segelintir elit mengorbankan kesejahteraan mayoritas dan keberlanjutan planet. Narasi seperti ini menciptakan ilusi stabilitas, padahal kenyataannya, ia menumpuk risiko jangka panjang seperti krisis lingkungan, konflik sosial, dan ketergantungan ekonomi global. Dekonstruksi terhadap pola pikir ini menuntut kita untuk mempertanyakan: apakah sistem ekonomi kapitalistik, yang menempatkan profit di atas manusia, benar-benar memenuhi prinsip keadilan dan kemanfaatan?

Dalam ranah pendidikan, sistem yang terlalu terpusat pada nilai akademis telah gagal memberikan ruang bagi individu untuk berkembang sesuai potensi uniknya. Pendidikan konvensional menciptakan kesenjangan yang memisahkan "yang berprestasi" dan "yang gagal" berdasarkan standar baku yang sering kali tidak relevan dengan kebutuhan dunia nyata. Mengapa kita masih mengukur kesuksesan individu berdasarkan selembar ijazah ketika teknologi telah memungkinkan akses pengetahuan yang lebih luas dan fleksibel? Dekonstruksi di sini berarti membebaskan pendidikan dari pola pikir elitis dan memberi ruang bagi pendekatan yang menghargai kreativitas, empati, dan kolaborasi.

Lebih jauh lagi, pola pikir lama sering kali mempertahankan struktur hierarkis yang tidak seimbang dalam masyarakat. Misalnya, norma bahwa kekuasaan harus terpusat di tangan elit politik atau ekonomi sering kali mengesampingkan peran masyarakat akar rumput. Dekonstruksi terhadap pola pikir ini berarti memberikan ruang bagi demokrasi partisipatif, di mana suara komunitas marginal memiliki bobot yang setara dalam pengambilan keputusan.

Dekonstruksi pola pikir lama adalah proses yang tidak nyaman, karena ia menantang kita untuk keluar dari zona aman yang telah lama kita yakini. Namun, kenyamanan itu sendiri sering kali menjadi jebakan yang menghalangi perubahan. Dengan keberanian untuk memikirkan ulang dan merombak tatanan lama, kita dapat membangun sistem yang lebih adil, adaptif, dan berorientasi pada masa depan.

Radikalisme dalam Konteks Sosial

Ketimpangan sosial bukanlah fenomena baru; ia telah ada sejak awal peradaban manusia. Namun, di era modern ini, ketimpangan menjadi semakin mencolok akibat globalisasi yang memperkuat struktur sosial yang tidak adil. Dalam konteks ini, radikalisme berpikir menjadi alat yang tak terelakkan untuk membongkar mekanisme yang melanggengkan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih egaliter.

Salah satu contoh nyata adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, akses terhadap layanan ini masih bergantung pada status ekonomi. Hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial yang dapat menikmati layanan berkualitas, sementara masyarakat miskin terjebak dalam siklus kemiskinan struktural. Mengapa sistem ini diterima sebagai hal yang wajar? Radikalisme berpikir menuntut kita untuk menggugat struktur ini dan membayangkan model distribusi sumber daya yang lebih adil, misalnya dengan menerapkan pajak kekayaan progresif atau menyediakan layanan publik yang benar-benar gratis dan berkualitas tinggi.

Selain itu, radikalisme berpikir dalam konteks sosial juga menantang narasi patriarki yang masih mendominasi banyak aspek kehidupan. Norma gender tradisional sering kali membatasi perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya untuk berpartisipasi secara penuh dalam ruang publik. Pemikiran radikal di sini bukan hanya tentang mendukung kesetaraan gender secara formal, tetapi juga mendekonstruksi nilai-nilai budaya yang memperkuat dominasi laki-laki. Sebagai contoh, program afirmasi yang memberikan lebih banyak ruang bagi perempuan dalam kepemimpinan politik dan ekonomi bukan sekadar kebijakan simbolis, melainkan langkah nyata untuk mengubah struktur kekuasaan.

Lebih jauh lagi, radikalisme sosial menuntut pendekatan baru terhadap konflik sosial. Selama ini, penanganan konflik cenderung berfokus pada penegakan hukum yang represif. Namun, pendekatan ini sering kali memperburuk masalah dengan menciptakan siklus kekerasan yang baru. Sebaliknya, pemikiran radikal mendorong penggunaan pendekatan keadilan restoratif, di mana fokusnya adalah pada pemulihan hubungan, pemenuhan kebutuhan korban, dan transformasi sosial yang lebih mendalam.

Radikalisme dalam konteks sosial adalah tentang menciptakan masyarakat di mana setiap individu memiliki peluang yang sama untuk berkembang, tanpa terkekang oleh batasan struktural atau budaya. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan keberanian untuk melawan narasi dominan yang selama ini dianggap tidak dapat diganggu gugat.

Pemikiran Radikal dalam Teknologi

Teknologi sering kali dirayakan sebagai penanda kemajuan, tetapi di balik narasi ini, ada paradoks yang harus diungkap. Teknologi tidak netral; ia diciptakan, dikendalikan, dan didistribusikan oleh kelompok tertentu, sering kali demi kepentingan ekonomi atau politik mereka. Radikalisme berpikir dalam teknologi berarti menantang struktur kekuasaan yang terkonsentrasi ini dan membayangkan model distribusi teknologi yang lebih demokratis dan inklusif.

Saat ini, sebagian besar keuntungan dari inovasi teknologi terkonsentrasi di tangan segelintir perusahaan besar, yang sering disebut sebagai "big tech." Mereka tidak hanya mengendalikan infrastruktur digital, tetapi juga data pribadi miliaran orang. Mengapa data, yang seharusnya menjadi hak individu, dikelola sebagai komoditas oleh korporasi raksasa? Radikalisme berpikir menuntut kita untuk membayangkan ulang tata kelola data, misalnya dengan menciptakan sistem yang berbasis pada kedaulatan data individu atau kolektif. Blockchain, misalnya, menawarkan peluang untuk mendesentralisasi pengelolaan data dan mengembalikan kendali kepada pengguna tanpa perantara korporasi.

Lebih dari itu, radikalisme teknologi menuntut kita untuk mempertanyakan arah pengembangan teknologi itu sendiri. Apakah teknologi dirancang untuk menyelesaikan masalah global, atau hanya untuk mempercepat konsumsi dan menciptakan ketergantungan baru? Misalnya, pengembangan kecerdasan buatan (AI) sering kali lebih diarahkan pada peningkatan efisiensi ekonomi, sementara potensi AI untuk membantu menyelesaikan krisis sosial, seperti pendidikan universal atau mitigasi perubahan iklim, kurang dimanfaatkan. Kita membutuhkan kerangka etis yang memastikan bahwa teknologi melayani kepentingan kolektif, bukan hanya profit korporasi.

Selain itu, ada pertanyaan penting tentang aksesibilitas teknologi. Ketimpangan digital adalah salah satu bentuk baru dari ketidakadilan sosial, di mana masyarakat yang tidak memiliki akses ke internet atau perangkat teknologi modern semakin tertinggal. Radikalisme berpikir menantang dunia untuk menjadikan akses internet sebagai hak asasi manusia, yang didukung oleh infrastruktur global yang merata, bahkan di wilayah pedesaan atau terpencil.

Pada akhirnya, pemikiran radikal dalam teknologi adalah tentang merebut kembali narasi. Teknologi bukan sekadar alat; ia adalah refleksi dari nilai-nilai masyarakat yang menciptakannya. Dengan mengadopsi pendekatan radikal, kita dapat memastikan bahwa teknologi tidak hanya melayani kepentingan segelintir pihak, tetapi juga memperkuat nilai-nilai keadilan, inklusivitas, dan keberlanjutan.

Radikalisme sebagai Jalan Menuju Keadilan

Keadilan adalah prinsip universal yang menjadi dasar dari setiap sistem hukum dan sosial, tetapi dalam praktiknya, sering kali keadilan hanya menjadi retorika tanpa implementasi yang nyata. Ketika keadilan terdistorsi oleh kekuasaan dan kepentingan tertentu, radikalisme berpikir menjadi alat yang diperlukan untuk memulihkan keseimbangan.

Dalam sistem hukum, radikalisme berpikir menantang asumsi-asumsi dasar tentang bagaimana keadilan didefinisikan dan diterapkan. Misalnya, apakah penjara, sebagai instrumen penghukuman, benar-benar memberikan efek jera atau justru memperburuk masalah sosial seperti stigma, pengangguran, dan residivisme? Pemikiran radikal mendorong kita untuk mempertimbangkan alternatif seperti keadilan restoratif, di mana fokusnya adalah memperbaiki kerugian korban dan merehabilitasi pelaku, bukan sekadar menghukum. Pendekatan ini tidak hanya lebih manusiawi tetapi juga lebih efektif dalam mencegah pengulangan kejahatan.

Selain itu, radikalisme dalam mengejar keadilan harus melampaui sistem hukum formal. Keadilan sering kali tidak tercapai karena struktur sosial dan ekonomi yang tidak setara. Ketimpangan distribusi kekayaan, misalnya, adalah bentuk ketidakadilan sistemik yang tidak dapat diatasi hanya dengan kebijakan fiskal moderat. Untuk itu, pemikiran radikal diperlukan untuk mendukung langkah-langkah seperti redistribusi aset melalui pajak kekayaan progresif atau bahkan nasionalisasi sumber daya penting demi kepentingan publik.

Radikalisme berpikir juga relevan dalam menghadapi ketidakadilan global. Hubungan antara negara maju dan berkembang sering kali diwarnai oleh ketimpangan kekuasaan, baik dalam perdagangan internasional, pengelolaan utang, maupun kebijakan lingkungan. Pemikiran radikal menuntut kita untuk mendobrak tatanan global yang eksploitatif ini. Misalnya, alih-alih mengandalkan sistem ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya di negara berkembang, dunia membutuhkan model kerja sama internasional yang menghormati kedaulatan dan kebutuhan lokal.

Namun, radikalisme sebagai jalan menuju keadilan tidak boleh dilakukan secara serampangan. Ia membutuhkan visi yang jelas dan keberanian untuk menggabungkan tiga elemen utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Keadilan memastikan bahwa setiap individu mendapatkan haknya, kepastian hukum memberikan struktur yang stabil, dan kemanfaatan menjamin bahwa perubahan membawa manfaat yang nyata bagi masyarakat luas. Ketiganya harus berjalan beriringan untuk menciptakan transformasi yang tidak hanya radikal tetapi juga berkelanjutan.

Pada akhirnya, radikalisme adalah alat, bukan tujuan. Ia menjadi cara untuk memaksa dunia melihat ketidakadilan yang selama ini disamarkan oleh sistem yang mapan. Dengan berpikir radikal, kita membuka peluang untuk menciptakan masyarakat yang tidak hanya lebih adil, tetapi juga lebih manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun