Mohon tunggu...
Panji Prasetio
Panji Prasetio Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Operator Produksi

Musik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Radikalisme Berfikir : Membongkar Paradigma Menuju Keadilan dan Keadilan

19 Januari 2025   11:22 Diperbarui: 19 Januari 2025   11:24 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Radikalisme dalam Konteks Sosial

Ketimpangan sosial bukanlah fenomena baru; ia telah ada sejak awal peradaban manusia. Namun, di era modern ini, ketimpangan menjadi semakin mencolok akibat globalisasi yang memperkuat struktur sosial yang tidak adil. Dalam konteks ini, radikalisme berpikir menjadi alat yang tak terelakkan untuk membongkar mekanisme yang melanggengkan ketimpangan dan menciptakan sistem yang lebih egaliter.

Salah satu contoh nyata adalah ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Di banyak negara, termasuk Indonesia, akses terhadap layanan ini masih bergantung pada status ekonomi. Hanya mereka yang memiliki kemampuan finansial yang dapat menikmati layanan berkualitas, sementara masyarakat miskin terjebak dalam siklus kemiskinan struktural. Mengapa sistem ini diterima sebagai hal yang wajar? Radikalisme berpikir menuntut kita untuk menggugat struktur ini dan membayangkan model distribusi sumber daya yang lebih adil, misalnya dengan menerapkan pajak kekayaan progresif atau menyediakan layanan publik yang benar-benar gratis dan berkualitas tinggi.

Selain itu, radikalisme berpikir dalam konteks sosial juga menantang narasi patriarki yang masih mendominasi banyak aspek kehidupan. Norma gender tradisional sering kali membatasi perempuan dan kelompok minoritas gender lainnya untuk berpartisipasi secara penuh dalam ruang publik. Pemikiran radikal di sini bukan hanya tentang mendukung kesetaraan gender secara formal, tetapi juga mendekonstruksi nilai-nilai budaya yang memperkuat dominasi laki-laki. Sebagai contoh, program afirmasi yang memberikan lebih banyak ruang bagi perempuan dalam kepemimpinan politik dan ekonomi bukan sekadar kebijakan simbolis, melainkan langkah nyata untuk mengubah struktur kekuasaan.

Lebih jauh lagi, radikalisme sosial menuntut pendekatan baru terhadap konflik sosial. Selama ini, penanganan konflik cenderung berfokus pada penegakan hukum yang represif. Namun, pendekatan ini sering kali memperburuk masalah dengan menciptakan siklus kekerasan yang baru. Sebaliknya, pemikiran radikal mendorong penggunaan pendekatan keadilan restoratif, di mana fokusnya adalah pada pemulihan hubungan, pemenuhan kebutuhan korban, dan transformasi sosial yang lebih mendalam.

Radikalisme dalam konteks sosial adalah tentang menciptakan masyarakat di mana setiap individu memiliki peluang yang sama untuk berkembang, tanpa terkekang oleh batasan struktural atau budaya. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan keberanian untuk melawan narasi dominan yang selama ini dianggap tidak dapat diganggu gugat.

Pemikiran Radikal dalam Teknologi

Teknologi sering kali dirayakan sebagai penanda kemajuan, tetapi di balik narasi ini, ada paradoks yang harus diungkap. Teknologi tidak netral; ia diciptakan, dikendalikan, dan didistribusikan oleh kelompok tertentu, sering kali demi kepentingan ekonomi atau politik mereka. Radikalisme berpikir dalam teknologi berarti menantang struktur kekuasaan yang terkonsentrasi ini dan membayangkan model distribusi teknologi yang lebih demokratis dan inklusif.

Saat ini, sebagian besar keuntungan dari inovasi teknologi terkonsentrasi di tangan segelintir perusahaan besar, yang sering disebut sebagai "big tech." Mereka tidak hanya mengendalikan infrastruktur digital, tetapi juga data pribadi miliaran orang. Mengapa data, yang seharusnya menjadi hak individu, dikelola sebagai komoditas oleh korporasi raksasa? Radikalisme berpikir menuntut kita untuk membayangkan ulang tata kelola data, misalnya dengan menciptakan sistem yang berbasis pada kedaulatan data individu atau kolektif. Blockchain, misalnya, menawarkan peluang untuk mendesentralisasi pengelolaan data dan mengembalikan kendali kepada pengguna tanpa perantara korporasi.

Lebih dari itu, radikalisme teknologi menuntut kita untuk mempertanyakan arah pengembangan teknologi itu sendiri. Apakah teknologi dirancang untuk menyelesaikan masalah global, atau hanya untuk mempercepat konsumsi dan menciptakan ketergantungan baru? Misalnya, pengembangan kecerdasan buatan (AI) sering kali lebih diarahkan pada peningkatan efisiensi ekonomi, sementara potensi AI untuk membantu menyelesaikan krisis sosial, seperti pendidikan universal atau mitigasi perubahan iklim, kurang dimanfaatkan. Kita membutuhkan kerangka etis yang memastikan bahwa teknologi melayani kepentingan kolektif, bukan hanya profit korporasi.

Selain itu, ada pertanyaan penting tentang aksesibilitas teknologi. Ketimpangan digital adalah salah satu bentuk baru dari ketidakadilan sosial, di mana masyarakat yang tidak memiliki akses ke internet atau perangkat teknologi modern semakin tertinggal. Radikalisme berpikir menantang dunia untuk menjadikan akses internet sebagai hak asasi manusia, yang didukung oleh infrastruktur global yang merata, bahkan di wilayah pedesaan atau terpencil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun