Mengingat permasalahan ini cenderung melihat penyelewengan hak asasi manusia yang dilakukan AIIB selaku salah satu investor asing yang lagi-lagi secara tidak langsung mengindahkan perampasan lahan yang tentu tidak ekologis seperti penghilangan karakter tanah gembur menjadi karakter tanah yang tandus serta sumber air bersih masyarakat Desa Bunut yang di alihkan ke fasilitas-fasilitas milik KEK Mandalika, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan corong utama dalam peraturan perundang-undangan yang lebih lanjut mengatur mengenai investasi merupakan peraturan perundang-undangan yang mempunyai kontradiksi dengan implementasi pelaksanaannya. Hal ini dapat dilihat dari pendekatan empirik dan menemukan kontradiksi Pasal 3 ayat (2) huruf f, dan huruf h; Pasal 10 ayat (1); Pasal 15 huruf a dan huruf d Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Pasal 15 huruf a Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal sendiri mengatur lebih lanjut mengenai kewajiban penanam modal yang harus menerapkan 5 (lima) prinsip Good Corporate Governance atau 5 (lima) tata kelola perusahaan yang baik. Kelima prinsip tersebut terdiri dari: Prinsip Transparansi, Akuntabilitas, Tanggung jawab, Independensi, Kewajaran dan kesetaraan; prinsip yang kemudian dinilai telah dilanggar oleh AIIB sendiri adalah prinsip Tanggung jawab yang mempunyai komposisi prinsip akan wajibnya menjalankan tanggung jawab sosial, antara lain peduli terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan.Â
Serta prinsip Independensi yang lebih lanjut mengatur untuk tidak memonopoli karena suatu orientasi subjektif; prinsip ini terlebih menegaskan bahwasannya organ perusahaan harus menghindari dominasi, tidak terpengaruh kepentingan tertentu, bebas dari conflict of interest dan segala pengaruh atau tekanan, untuk menjamin pengambilan keputusan yang objektif.
Pendekatan normatif yang kemudian lebih-lebih dapat dilihat dari kacamata hukum internasional adalah melalui UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) yang juga dilanggar oleh AIIB dalam menjalankan uji Due Diligence terkhusus dalam mengidentifikasi, mencegah, memitigasi, dan mempertanggung jawabkan dampak buruk terhadap HAM.
Analysis (Analisa)
Melalui pendekatan empiris, saya selaku penulis dengan ini secara terang memperoleh data sebagai komparasi dan pembuktian baik data primer maupun sekunder melalui hasil investigasi dari Tim Investigasi Khusus Front Perjuangan Rakyat Nusa Tenggara Barat (data primer) dan Siaran Pers yang dilakukan oleh Mr. Olivier de Schutter selaku UN Special Rapporteur for Extreme Poverty and Human Rights (data sekunder). Hingga sampai saat ini, masyarakat Desa Bunut masih belum mendapatkan kepastian akan sumber air bersih, Â 9 (sembilan) bahan pokok untuk menunjang kehidupan manusia, dan lokasi relokasi yang layak ditinggali. 3,6 Triliun Rupiah yang digelontorkan oleh AIIB setidak-tidaknya tetap mempunyai komposisi pembagian dana untuk menggelontorkan biaya kompensasi lahan yang tidak mempunyai akta kepemilikan pada tiap-tiap HPL, salah satu contohnya adalah HPL 22 dengan besaran ganti rugi Rp 3.000.000,-/bangunan permanen dan semi permanen; dimana lagi-lagi AIIB selaku investor asing tidak menetapkan ukuran dalam bentuk nominal tertentu dalam mengganti kerugian masyarakat yang lahannya digusur.
Melalui pendekatan normatif, menurut saya terdapat dua kontradiksi besar antara prinsip dan kewajiban investor terlebih investor asing dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang dimana aktor utama penyelewengan prinsip investor asing disini merupakan Asian Infrastructure Investment Bank itu sendiri.
 Jika melakukan pendekatan empiris-normatif yang bersandar pada situasi; Pasal 3 ayat (2) huruf f (mendorong ekonomi kerakyatan) dan huruf h (meningkatkan kesejahteraan masyarakat) Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, yang menjelaskan mengenai tujuan investasi, lebih lanjut telah memberikan corong yang menegaskan bahwasannya AIIB selaku investor asing tidak benar-benar mengindahkan adanya keadilan organik dan karakter investasi yang berwawasan lingkungan.Â
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana AIIB melakukan perampasan lahan melalui skema akumulasi primitif dengan biaya ganti rugi hanya Rp 3.000.000,- saja pada tiap-tiap HPL. Terminologi ekonomi kerakyatan sendiri lagi-lagi adalah sistem ekonomi yang mempunyai tendensi dan bersandar pada kepentingan rakyat.Â
Dalam hal ini, rakyat sendiri tidak diikutsertakan karena modal awal pembangunan KEK Mandalika sendiri melalui AIIB bukanlah rakyat. Timbullah pertanyaan bagaimana menciptakan basis ekonomi kerakyatan? Pembangunan industri nasional adalah jawabannya, bukan industri manufaktur yang dimiliki oleh Indonesia saat ini yang hanya mengolah bahan mentah menjadi bahan setengah jadi. Industri nasional sendiri merupakan instrumen pembangunan negara yang mempunyai ketergantungan terhadap produktifitas rakyat, bukanlah produktifitas pasar kapital (fluktuasi pasar internasional). Industri nasional sendiri merupakan industri yang dikelola oleh negara lagi-lagi oleh tendensi kepemimpinan rakyat yang hanya ditemukan dalam ideologi Demokrasi Nasional; singkatnya, rakyat akan diikutsertakan dalam pembangunan negara melalui instrumen industri nasional.
Mengingat Indonesia saat ini hanya berkutat pada pekerjaan utama yaitu skema ekspor-impor dan pembukaan keran investasi yang luas hanya karena kuantitas yang diterima sangatlah besar, tetapi titik tekannya adalah, skema ini tidak sustainable dan sangat sporadis (tidak berkelanjutan). Maka dari itu, untuk mengisi APBN yang biasa disebut sebagai ‘dompet negara’, investasi berlebih seperti yang dilakukan oleh AIIB terhadap KEK Mandalika tidak akan pernah dapat mengindahkan pembangunan ekonomi kerakyatan.Â