"Masyarakat Palestina sebelum datangnya Zionis adalah tipe  masyarakat yang beragam, baik Muslim, Kristen, maupun Yahudi tinggal di  sana dan berbaur. Namun tidak seperti Zionis yang solid, meskipun rakyat  Palestina memiliki visi yang sama tentang nasionalisme, namun mereka  gagal mengartikulasikan kepentingan nasionalnya karena  persoalan-persoalan internal."
Artikel sebelumnya di Kompasiana: Memahami Zionisme (Bagian 5): Dialog Muhammad Asad dengan Dr. Chaim Weizmann          Â
Untuk menghadapi gerakan Zionis yang berkeinginan untuk menduduki  tanah Palestina, serta juga keinginan Inggris untuk mengendalikan rute  perdagangan dari Laut Tengah ke Samudera Hindia, tidak seperti Zionis  yang didukung oleh seluruh dunia, orang-orang Palestina berjuang  mempertahankan dirinya tanpa didukung oleh siapapun. Sejak awal para  pemimpin Palestina menyadari bahwa para Zionis yang datang adalah sebuah  fenomena baru, mereka sangat berbeda dengan orang-orang Yahudi  terdahulu yang pernah tinggal di Palestina selama berabad-abad.[1]
Orang-orang Yahudi terdahulu menggunakan bahasa setempat, meskipun  mereka mempertahankan identitas religiusnya, namun mereka tetap  berpartisipasi dalam kegiatan budaya dan sosial setempat.Â
Dengan kata  lain orang-orang Yahudi pra-zionis adalah sekelompok orang yang membaur  dengan kehidupan masyarakat setempat. Pada awal tahun 1899, seorang  pemimpin komunitas Arab di Yerusalem menulis kepada Theodor Herzl[2]:  "Dunia ini cukup besar, ada tanah-tanah tak berpenghuni lainnya di mana  jutaan orang Yahudi miskin dapat tinggal.... Atas nama Tuhan, tinggalkan  Palestina sendiri!"[3]
Orang-orang Palestina menggunakan beragam perlawanan terhadap  orang-orang yang hendak mengusir mereka dari Palestina, dan tentu saja  baik Zionis maupun Inggris tidak membiarkannya.Â
Namun yang mengejutkan  adalah orang-orang Palestina di masa kini masih melakukan pola yang sama  dengan orang-orang Palestina di masa lalu, bentuk perlawanan  orang-orang Palestina pada dasarnya tidak berkembang, hari ini mereka  masih "sendiri" dan tidak didukung oleh siapapun.[4] Bukan berarti tidak ada yang membantu orang-orang Palestina sama  sekali, namun secara derajat dukungan, Palestina tidak mendapat dukungan  yang sebanding sebagaimana Israel didukung oleh negara-negara adidaya.
Di awal periode Inggris mendapatkan mandat dari Liga Bangsa-bangsa  terhadap Palestina dan orang-orang Yahudi semakin banyak berdatangan,  orang-orang Palestina sudah bereaksi dan mulai mengartikulasikan nilai  identitas nasional mereka. Beberapa sejarawan menyimpulkan bahwa  nasionalisme Palestina hanya merupakan reaksi terhadap zionisme.[5]Â
Namun apabila dilihat ke belakang lagi, sejak tahun 1834 sebenarnya  orang-orang Palestina sudah mengembangkan identitas kolektif mereka  sebagai bangsa, yakni ketika mereka berusaha mengusir pasukan Mesir yang  mencoba mengambil alih Palestina dari kekuasaan Ottoman.[6]
Masalah sebenarnya, bagaimanapun, bukanlah persoalan sejak kapan  identitas nasional Palestina muncul, namun bagaimana memahami sebuah  entitas yang memiliki budaya tersendiri dan sudah mendiami suatu tempat  selama berabad-abad, tapi kebingungan untuk memformulasikannya ke dalam  sebuah konsep negara bangsa modern.Â
Orang-orang Palestina berkali-kali  mencoba memformulasikan konsep kebangsaannya ke berbagai cara, yaitu  keinginan untuk merdeka;[7] menjadi bagian dari Pan Arab, sebagaimana yang diinginkan oleh para elit Palestina di akhir periode Ottoman dan awal Inggris;[8] atau menjadi salah satu provinsi dari Suriah Raya, seperti yang diinginkan oleh golongan petani Palestina.[9]
Dalam menghadapi ambisi Zionis dan dan Inggris, orang-orang Palestina  cukup giat dalam mendirikan berbagai jenis kelompok yang aktif dalam  melindungi kepentingan Palestina: pendirian komite desa, liga-liga,  partai-partai politik dengan konstituen kedaerahan atau golongan, dan  kelompok payung untuk melobi Inggris.Â
Tidak hanya itu, mereka juga  mengatur dinamika internal mereka sendiri untuk perlawanan, di antaranya  ada Komite Tinggi Arab, Komite Lokal (atau lebih dikenal sebagai Komite  Nasional),[10] dan juga ada serangkaian organisasi yang kompleks yang mengaspirasikan  suara orang-orang Kristen dan Muslim Palestina yang bernaung dalam  Kongres Arab Palestina.[11]
Perlu dipahami, bahwa perjuangan orang-orang Palestina melawan  Zionisme bukanlah perjuangan salah satu kelompok agama tertentu saja,  dalam hal ini Islam yang memang kelompok mayoritas.Â
Sejak awal Palestina  merupakan sebuah daerah yang penghuninya beragam. Tercatat pada tahun  1922 terdapat orang-orang Kristen yang mayoritas tinggal di Tepi Barat,  sisanya dalam jumlah yang lebih sedikit tinggal di distrik Ramallah  sebanyak 15.000 orang, Bethlehem sebanyak 8.000 orang, dan 2000 orang di  jalur Gaza. Orang-orang Kristen Palestina merupakan mayoritas kedua  setelah Muslim, jumlah mereka sebanyak 9,5% dari total populasi  Palestina.[12]
Sementara, pada masa itu orang-orang Yahudi, baik zionis dan  non-zionis jumlahnya mencapai 400.000 orang, bahkan di antara mereka  terdapat sebuah kelompok yang bernama Neturei Karta yang menolak berdirinya negara Israel.Â
Mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Yahudi Palestina.[13] Neturei Karta memiliki tafsir tersendiri tentang tanah yang dijanjikan,  mereka beranggapan bahwa Yahudi tidak berhak mengklaim Palestina karena  Messiah (juru selamat) belum hadir ke dunia.[14]
Secara eksternal, klaim Palestina sebagai negara bangsa tidak  dianggap oleh orang-orang Eropa, terutama oleh Inggris. Pada tahun 1919,  Lord Balfour[16] menulis sebuah memo, "Zionisme, apakah itu benar atau salah, baik atau  buruk, mereka berakar pada tradisi lama, dalam kebutuhan hari ini,  harapan masa depan, dari kepentingan yang jauh lebih besar daripada  hasrat dan prasangka 700.000 orang-orang Arab yang sekarang tinggal di  tanah kuno itu."[17]Â
Panji Haryadi
Bersambung...
Catatan Kaki:
[1] Eve Spangler, Understanding Israel/Palestine, (Boston: Sense Publisher, 2015), hlm 96.
[2] Theodor Herzl adalah pendiri Zionis, lebih lengkap lihat "Memahami  Zionisme (3): Deklarasi Balfour, Pintu Masuk ke Palestina", dalam https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-3-deklarasi-balfour-pintu-masuk-ke-palestina/, diakses 8 Januari 2018.
[3] Tom Segev. (2001). Elvis In Jerusalem (New York: Holt Books) hlm 39, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
[4] Eve Spangler, Loc. Cit.
[5] The Imperial History of the Middle East, retrieved from http://www.mapsofwar.com/ind/imperial-history.html, Â dalam Eve Spangler, Ibid., 96-97
[6] Lihat Shlomo Sand. (2009). The Invention of the Jewish People, (New York: Verso), dalam Eve Spangler, Ibid., hlm 97.
[7]Loc. Cit.
[8] The Imperial History of the Middle East, Ibid.,dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
[9] Shlomo Sand, Ibid.,hlm 275-276, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
[10] Shlomo Sand, Ibid.,hlm 277, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
[11] Shlomo Sand, Ibid.,hlm 184, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
[12] Tore Kjeilen, "Religions/Palestine", dari laman http://looklex.com/e.o/palestine.religions.htm, diakses 9 Januari 2017.
[13]Ibid.
[14] Tore Kjeilen, "Neturei Karta", dari laman http://looklex.com/e.o/neturei_karta.htm, diakses 9 Januari 2018.
[15] Adam Keller. (2014, February 14). "From Canaan to Spain," Crazy Country retrieved from http://adam-keller2.blogspot.co.il/2014/02/from-canaan-to-spain.html/, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
[16] Lebih lengkap lihat "Memahami Zionisme (3): Deklarasi Balfour, Pintu Masuk ke Palestina", dari laman https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-3-deklarasi-balfour-pintu-masuk-ke-palestina/, diakses 9 Januari 2018.
[17] Shlomo Sand, Ibid.,hlm 262, dalam Eve Spangler, Loc. Cit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI