Mohon tunggu...
Panji Haryadi
Panji Haryadi Mohon Tunggu... Penulis -

Gemar menulis mengenai sejarah dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Zionisme (Bagian 5): Dialog Muhammad Asad dengan Dr. Chaim Weizmann

27 Desember 2017   15:51 Diperbarui: 27 Desember 2017   16:04 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leopold Weiss atau Muhammad Asad ketika berbicara di Radio Pakistan pada akhir tahun 1940. Photo: mischief-films.com

"Tapi anda telah pergi dari Palestina selama hampir dua ribu  tahun! Sebelumnya anda telah memerintah negeri ini, dan hampir seluruh  wilayahnya, selama kurang dari lima ratus tahun. Tidak kah anda berpikir  bahwa orang-orang Arab bisa, dengan pembenaran yang sama, dapat  menuntut Spanyol untuk diri mereka sendiri---karena, bagaimanapun juga,  mereka memegang kekuasaan di Spanyol selama hampir tujuh ratus tahun dan  kehilangannya hanya lima ratus tahun yang lalu?"

Artikel sebelumnya di Kompasiana: Memahami Zionisme (Bagian 4): Siapa "Kanaan" di Dalam Alkitab?

Leopold Weiss (1900-1992) adalah seorang intelektual Yahudi Austria  yang menjalani kehidupan yang menakjubkan sebagai seorang ilmuwan, sekali waktu pernah menjadi mata-mata, pernah juga menjadi prajurit, dan  terakhir menjadi seorang diplomat. Hidupnya benar-benar menarik, dan kisahnya pernah dituliskan dalam sebuah otobiografi yang berjudul 'The  Road to Mecca' (Jalan Menuju Mekah). Pada akhirnya dia masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Muhammad Asad.[1]

Berikut ini adalah dialog antara Muhammad Asad dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden Organisasi Zionis Dunia, mengenai Palestina:

"Saya masih ingat sebuah diskusi singkat yang saya lakukan Bersama  Dr. Chaim Weizmann, pemimpin gerakan Zionis yang tak terbantahkan lagi.  Dia datang dalam rangka salah satu kunjungan berkalanya ke Palestina  (tempat tinggalnya yang permanen, saya percaya, berada di London), dan  saya bertemu dengannya di rumah seorang teman yang Yahudi. Salah satu  hal yang mengesankan dari orang ini adalah energinya yang sangat  besar---sebuah energi yang termanifestasikan dengan sendirinya, bahkan  dalam gerak-geriknya, dengan langkah panjang dan gesit dia naik turun ke  atas dan bawah ruangan---dan dengan kekuatan intelektual yang tampak dari  dahinya yang lebar dan tatapan matanya yang tajam.

Dr. Chaim Weizmann. Photo: http://mondoweiss.net
Dr. Chaim Weizmann. Photo: http://mondoweiss.net
Dia berbicara mengenai kesulitan finansial yang menjadi kendala bagi  terwujudnya mimpi mendirikan pemukiman nasional Yahudi, dan respon yang kurang terhadap mimpi ini dari orang-orang di luar negeri; dan saya  memiliki kesan yang mengganggu bahwa bahkan dia, seperti kebanyakan  Zionis lainnya, cenderung mengalihkan tanggung jawab moral untuk semua  hal yang terjadi di Palestina ke 'dunia luar'. Hal tersebut mendorong  saya untuk menerobos kecanggungan karena hormat yang mana setiap orang  yang hadir hanya mendengarkan dia saja, dan bertanya:

'Dan bagaimana dengan orang Arab?'

Saya telah melakukan kebodohan dengan mengangkat sebuah isu sensitif  ke dalam pembicaraan, maka Dr. Weizmann menolehkan wajahnya perlahan ke  arah saya, meletakkan cangkir yang dipegang di tangannya, dan mengulangi  pertanyaan saya:

'Bagaimana dengan orang Arab ...?'

'Ya, bagaimana anda bisa berharap untuk menjadikan Palestina sebagai  rumah anda di hadapan perlawanan keras orang-orang Arab yang, lagi pula,  merupakan mayoritas di negara ini?'

Pemimpin Zionis tersebut mengangkat bahunya dan menjawab dengan  datar: 'Kami kira dalam beberapa tahun lagi mereka tidak akan menjadi mayoritas.'

'Mungkin begitu. Anda telah menghadapi masalah ini selama  bertahun-tahun dan mestinya mengetahui situasi dengan lebih baik  daripada saya. Tapi terlepas dari kesulitan politik dari oposisi Arab  yang mungkin atau mungkin juga tidak mengganggu jalan anda---tidak kah  pertanyaan mengenai aspek moral pernah menggugah anda? Tidak kah anda  berpikir bahwa ada yang salah di sisi anda dengan menyingkirkan orang  yang telah lama tinggal di negara ini?'

'Tapi ini negara kami,' jawab D. Weizmann sambil mengangkat alisnya.  'Kita tidak melakukan apapun selain mengambil kembali apa yang telah  dirampas dengan salah dari kita.'

'Tapi anda telah pergi dari Palestina selama hampir dua ribu tahun!  Sebelumnya anda telah memerintah negeri ini, dan hampir seluruh  wilayahnya, selama kurang dari lima ratus tahun.[2] Tidak kah anda berpikir bahwa orang-orang Arab bisa, dengan pembenaran  yang sama, dapat menuntut Spanyol untuk diri mereka sendiri---karena,  bagaimanapun juga, mereka memegang kekuasaan di Spanyol selama hampir  tujuh ratus tahun dan kehilangannya hanya lima ratus tahun yang lalu?'[3]

D. Weizmann terlihat menjadi tidak sabar: 'Omong kosong. Orang-orang  Arab hanya menaklukkan Spanyol; itu tidak pernah menjadi tanah air asli  mereka, dan benar bila pada akhirnya mereka diusir oleh orang-orang  Spanyol.'

'Maafkan saya,' jawabku, 'tapi menurutku ada beberapa kekeliruan  sejarah di sini. Lagi pula, orang-orang Ibrani juga datang ke Palestina  sebagai penakluk. Jauh sebelum mereka, sudah ada banyak suku-suku Semit  maupun non-Semit yang menetap di sini---orang-orang Amori, Edom, Filistin,  Moab, dan ittit. Suku-suku tersebut bahkan tetap tinggal di sini  ketika kerajaan Israel dan Yehuda berkuasa. Mereka juga tetap  melanjutkan hidup di sini ketika orang Romawi mengusir nenek moyang  kita. Mereka hidup di sini hari ini. 

Orang-orang Arab yang menetap di  Suriah dan Palestina setelah penaklukkan mereka pada abad ke-7 selalu  hanya merupakan minoritas kecil dari populasi; orang-orang lainnya, apa  yang kita deskripsikan hari ini sebagai Arab Palestina atau Arab Suriah, realitasnya hanyalah ter-Arabisasi dari penduduk asli negara ini. Dalam  perjalanan selama berabad-abad, beberapa dari mereka menjadi muslim,  sementara yang lainnya tetap menjadi orang-orang Kristen; para muslim  secara alamiah menikah dengan teman-teman seagama mereka dari Arab.  Tetapi dapatkan anda menyangkal bahwa sebagian besar orang Palestina,  yang berbicara bahasa Arab, baik muslim maupun kristen, merupakan  keturunan langsung dari penduduk asli: asli dalam arti pernah tinggal di  negara ini berabad-abad sebelum orang Ibrani datang ke sini?'[4]

D. Weizmann tersenyum dengan sopan mendengar semburan saya dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain."[5] 

Panji Haryadi

Bersambung...

Catatan Kaki:

[1] Yasir Qadhi, "Leopold Weiss", dari laman https://www.facebook.com/yasir.qadhi/posts/10155529980948300, diakses 27 Desember 2017.

[2] Lebih lengkap mengenai penaklukkan keturunan Abraham yang menaklukkan  Kanaan, lihat Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Mizan: Bandung, 2002),  hlm 38.

[3] Lebih lengkap mengenai penaklukkan bangsa Arab ke Spanyol, lihat "Penaklukan Andalusia (1)", dari laman https://ganaislamika.com/penaklukan-andalusia-1/", diakses 27 Desember 2017.

[4] Lebih lengkap mengenai tinjauan biblikal dan arkeologis mengenai  suku-suku asli Kanaan, lihat "Memahami Zionisme (4): Siapa "Kanaan" di  dalam Alkitab?", dari laman https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-4-siapa-kanaan-di-dalam-alkitab/, diakses 27 Desember 2017.

[5] Muhammad Asad, The Road to Makkah, (Islamic Book Service: New Delhi, 2004), hlm 94-95.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun