Mohon tunggu...
Panji Haryadi
Panji Haryadi Mohon Tunggu... Penulis -

Gemar menulis mengenai sejarah dan peradaban Islam.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memahami Zionisme (Bagian 2): Tanah yang Dijanjikan

14 Desember 2017   21:03 Diperbarui: 14 Desember 2017   21:14 6485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alexander Keith, penggagas ide “a land without people, for a people without land.” Photo: National Galleries of Scotland

"Dalam situasi yang tertindas, maka muncullah sebuah ide untuk pergi keluar, ke suatu tempat di mana mereka dapat hidup aman. Mereka memimpikan sebuah tempat yang eksklusif yang hanya dihuni hanya oleh orang-orang Yahudi saja. Tapi ke mana?"

Pada artikel sebelumnya kita telah membahas bahwasanya orang-orang Yahudi di Eropa merupakan kaum yang tertindas karena gelombang anti-semitisme yang menyelimuti seluruh daratan Eropa, baik Timur maupun Barat. Bagi kelompok minoritas yang termarginal dan tertindas, sebagaimana kelompok minoritas di tempat lainnya, umumnya akan melakukan cara-cara tertentu agar dapat terlepas dari kondisi tersebut. Eve Spangler mengatakan terdapat empat strategi untuk melepaskan diri dari ketertindasan, yaitu asimilasi, reformasi, konfrontasi, atau pergi.[1]

Opsi pertama, yaitu asmilasi, telah dibahas, bahwa Yahudi sebagai umat pilihan Tuhan menolak untuk berasimilasi dengan siapapun yang berada di luar golongannya. Opsi kedua, reformasi; Eropa adalah sebuah wilayah yang peradabannya cukup tua, dan dalam tingkatan tertentu mereka telah memiliki struktur dan tatanan kehidupan bernegara yang mapan. 

Orang Yahudi sebagai minoritas melihat bahwa melakukan sebuah reformasi struktural bukanlah sesuatu yang memungkinkan, maka ditinggalkannya pula opsi ini. Opsi ketiga, konfrontasi; Yahudi selain minoritas, mereka hidup secara tercecer di berbagai wilayah dan negara. Untuk melakukan konfrontasi diperlukan sebuah kekuatan yang dapat memukul balik para penindasnya. Dengan posisi mereka yang tercecer, maka hal ini bukanlah sesuatu yang memungkinkan, dan bahkan mungkin tidak terpikirkan sama sekali.

Dengan situasi dan kondisi seperti itu, maka muncullah sebuah ide untuk pergi keluar, ke suatu tempat di mana mereka dapat hidup aman. Mereka memimpikan sebuah tempat yang eksklusif yang hanya dihuni hanya oleh orang-orang Yahudi saja. Tapi ke mana? Maka dengan mimpi seperti itulah, benih-benih dari gerakan zionisme mulai tumbuh dan berkembang di kalangan Yahudi di seluruh daratan Eropa.[2]

Yahudi memulai gelombang migrasi pertamanya dari Eropa pada akhir abad ke-19. Para migran Yahudi kebanyakan berasal dari Eropa Timur, dan penyokong dananya berasal dari orang-orang Yahudi kaya di Eropa Barat. Para migran tersebut berhasil membangun koloni di beberapa tempat, di antaranya di Argentina dan Palestina. Namun jumlah terbesar ada di Palestina. Uganda juga pada waktu itu menjadi salah satu tempat yang secara serius dipertimbangkan untuk menjadi koloni Yahudi.[3] 

Menarik untuk dicermati, sebelumnya dikatakan bahwa Yahudi mengalami keterkucilan dan ketertindasan tapi mengapa terdapat orang-orang kaya Yahudi di Eropa Barat? Adalah masa-masa abad pencerahan di Eropa yang membuat orang-orang Yahudi dapat tampil dan meraih kesuksesan. Sebut saja Karl Marx, Baruch Spinoza, Sigmund Freud, Albert Einstein, Martin Buber, Hannah Arendt, dan lain sebagainya adalah contoh orang Yahudi yang meraih kesuksesan, yang mana tanpa kehadiran mereka dunia modern tidak akan terbentuk menjadi seperti sekarang ini. Selain itu, citra orang Yahudi juga melekat dengan profesi bankir-bankir yang handal.[4] Namun demikian, orang-orang tersebut tampil sebagai individu, bukan berasal dari sebuah entitas gerakan Yahudi.[5]

Demi mewujudkan impiannya, sebagaimana pergerakkan-pergerakkan lainnya, mulailah dihembuskan sebuah jargon-jargon, atau motto yang akan menjadi identitas sekaligus spirit dari pergerakkan tersebut. Untuk itu, mereka memulainya dengan sebuah pendekatan agama, yaitu ide mengenai "tanah yang dijanjikan" yang mana tercantum dalam Kitab Suci. Ada alasan strategis di balik pemilihan jargon tersebut. Pertama, tempat baru tersebut memang kebutuhan orang-orang Yahudi yang pada waktu itu tertindas di mana-mana. Kedua, mengambil pemahaman dalam Alkitab akan mendapatkan dukungan juga dari orang-orang Kristen Eropa. Adapun ayat Alkitab yang dimaksud adalah sebagai berikut ini[6]:

  • Genesis 12:7 "To your offspring I will give this land." (Kejadian 12: 7 "Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.")
  • Genesis 13:15-17 "For all the land that you see I will give to you and to your offspring for ever. I will make your offspring like the dust of the earth ... walk through the length and the breadth of the land, for I will give it to you." (Kejadian 13: 15-17 "Sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya. Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmu pun akan dapat dihitung juga. Bersiaplah, jalanilah negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamu lah akan Kuberikan negeri itu."
  • Genesis 15:18-21 "On that day the LORD made a covenant with Abram, saying, "To your descendants I give this land, from the river of Egypt to the great river, the river Euphrates ....'" (Kejadian 15: 18-21 "Pada hari itulah TUHAN mengadakan perjanjian dengan Abram serta berfirman: "Kepada keturunanmu lah Kuberikan negeri ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat....'"
  • Genesis 17:7-8 "I will establish my covenant between me and you, and your offspring after you .... for an everlasting covenant, to be God to you and to your offspring after you. And I will give .... the land where you are now an alien, all the land of Canaan, for a perpetual holding." (Kejadian 17: 7-8 Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu.... akan Kuberikan negeri ini yang kau diami sebagai orang asing, yakni seluruh tanah Kanaan akan Kuberikan menjadi milikmu untuk selama-lamanya.")

Dari ayat-ayat inilah titik tolak agamisasi gerakan Zionisme dimulai. David Ben-Gurion, politisi Zionis abad ke-20 yang paling ternama, mengatakan kepada Lord Peel's Royal Commission[7] pada tahun 1936, "Alkitab adalah mandat kami," ujarnya. Konsep geografis di dalam Alkitab (dari Sungai Nil sampai Efrat) merupakan sesuatu yang fundamental bagi Ben-Gurion. Di kemudian hari Ben-Gurion  menjadi Perdana Menteri pertama Israel.[8]

David Ben-Gurion, politisi Zionis abad ke-20. Photo: Wikimedia
David Ben-Gurion, politisi Zionis abad ke-20. Photo: Wikimedia
 

Sejak awal abad ke-19, beberapa orang Kristen berpengaruh mendorong gagasan ini. Alexander Keith, salah satu dari empat orang Mentri Gereja Skotlandia yang bertugas untuk menyelidiki tentang Palestina, menciptakan sebuah ungkapan tentang Palestina, "a land without people, for a people without land." (wilayah tanpa orang, untuk orang-orang tanpa wilayah).[9]

Alexander Keith, penggagas ide “a land without people, for a people without land.” Photo: National Galleries of Scotland
Alexander Keith, penggagas ide “a land without people, for a people without land.” Photo: National Galleries of Scotland
 

Pandangan tentang tanah Palestina tersebut berkembang luas sejak tahun 1840-an dan dihubung-hubungkan dengan ayat-ayat di dalam AlKitab. Padahal yang dimaksud dengan "wilayah tanpa orang" bukan berarti benar-benar tidak ada orang di sana. Faktanya di sana ada orang-orang Arab Palestina. Pandangan tersebut bertolak dari sudut pandang kolonialisme yang menganggap Palestina merupakan sebuah wilayah yang belum dikolonisasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pandangan tersebut bahkan diterima oleh lingkaran Evangelist Earl of Shaftesbury ke-7 dengan impian mengembalikan orang-orang Yahudi ke Tanah Suci.[10] 

Bersambung...

Panji Haryadi

Catatan Kaki:

  • [1] Eve Spangler, Understanding Israel/Palestine, (Boston: Sense Publisher, 2015), hlm 74.
  • [2]Ibid.,hlm 87.
  • [3]Ibid.
  • [4]Ibid.,hlm 73 dan 77.
  • [5] Selengkapnya mengenai abad pencerahan dan kaitannya dengan orang-orang Yahudi, lihat "Memahami Zionisme: Awal Mula Konflik Israel-Palestina", dari laman https://ganaislamika.com/memahami-zionisme-awal-mula-konflik-israel-palestina/, diakses 14 Desember 2017.
  • [6] The Church of Scotland, The inheritance of Abraham? A report on the 'promised land', (Church and Society Council: Scotland, 2013), hlm 2-3. Adapun terjemahan ke Bahasa Indonesianya diambil dari situs http://www.sabda.org/sabdaweb/bible, diakses 14 Desember 2017.
  • [7] Peel Commission adalah Komisi Penyelidikan Kerajaan Inggris untuk Palestina, yang dipimpin oleh Lord Robert Peel, ditunjuk pada tahun 1936 oleh pemerintah Inggris untuk menyelidiki penyebab kerusuhan di antara orang-orang Arab dan Yahudi Palestina. Dalam "Peel Commission", dari laman https://www.britannica.com/event/Peel-Commission, diakses 14 Desember 2017.
  • [8] The Church of Scotland, Ibid.,hlm 3.
  • [9]Ibid.
  • [10]Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun