Indonesia, sejak jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto, mengalami euphoria kebebasan berdemokrasi, hal itu ditandai di antaranya dengan munculnya kebebasan pers, sistem multi partai, kebebasan berideologi, kebebasan berekspresi, dan tentu saja kebebasan dalam ber-SARA. Siapapun boleh berbicara dan berekspresi atas dasar SARA, dalam artian yang positif tentunya, minimalnya dia tidak melanggar hukum yang berlaku.
Satu sisi, reformasi pada tahun 1998 membawa dampak yang positif bagi perkembangan demokrasi Indonesia, namun di sisi lain, itu juga memberi peluang bagi lahirnya politik identitas yang kebablasan. Sejatinya, politik identitas yang diuangkapkan oleh Kauffman adalah atas dasar motivasi agar hak-hak minoritas diakui oleh negara. Namun dalam artian yang negatif, politik identitas juga bisa berarti politik untuk menyingkirkan orang-orang atau golongan lain yang berbeda darinya (Nurrochman: 2017).
Sebagaimana dikutip oleh Nurrochman, Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menyebut setidaknya terdapat tiga macam kekerasan yang dilatari politik identitas:
Pertama, kekerasan fisik. Fenomena persekusi terhadap seseorang karena latar belakang keagamaan, kesukuan maupun pilihan politik yang sempat marak beberapa waktu lalu adalah salah satu wujudnya.
Kedua, kekerasan simbolik yang seringkali berupa kekerasan dalam bentuk verbal. Saat ini berbagai ujaran kebencian berseliweran di lini masa media sosial, forum-forum publik, bahkan sampai di panggung ceramah agama.
Ketiga, kekerasan struktural, yakni kekerasan yang dilakukan oleh negara, baik melalui perangkat hukum maupun oleh aparatnya sendiri.
Momentum Bangkitnya Politik Identitas
Pemilihan Presiden (Pilpres) Indonesia pada tahun 2014 barangkali merupakan Pilpres terpanas sepanjang sejarah pemilihan Presiden di Indonesia. Jangan hanya melihat di media sosial (medsos) saja---pada masa itu medsos isinya hanya makian, tuduhan tidak berdasar, dan SARA negatif---tapi lihat juga dalam tataran real seperti di angkot, di pasar, di pengajian, di arisan, di rumah-rumah, di sekolah, dan di terminal, semua orang bicara pilpres, termasuk anak-anak walaupun hanya sebatas ikut-ikutan.
Sayangnya ketimbang merumuskan jenis pemimpin yang ideal secara rasional, masyarakat lebih banyak digiring untuk memilih pemimpin secara emosional. Celah termudah, terefektif, dan termurah adalah dengan menghembuskan isu-isu politik identitas. Sehingga pada saat pilpres tersebut kajian-kajian politik yang disantap oleh masyarakat menjadi tidak bermutu. Misalnya saja membahas postur fisik, pembunuhan karakter, ketaatan beribadah yang tidak terukur, dan masih banyak lainnya yang mencerminkan low quality campaign.
Momentum lainnya adalah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Meskipun sesungguhnya itu adalah momen lokal, namun karena itu Ibu Kota, maka efeknya menjadi nasional. Kehadiran Ahok sebagai salah satu calon kuat yang mempunyai latar belakang minoritas dari sisi suku, ras, dan agama merupakan suatu celah untuk politik identitas tampil di panggung politik nusantara.Â
Singkat kata, momen tersebut telah berhasil mengkristalkan dua kelompok identitas, yakni kelompok keagamaan dan kelompok kebhinekaan. Celakanya, banyak politisi yang melihat hal tesebut sebagai peluang dan mengamplifikasinya untuk kepentingan memperoleh kekuasaan.