Mohon tunggu...
Panji Dafa
Panji Dafa Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Perikanan UGM.

Selanjutnya

Tutup

Money

Mendobrak Ketimpangan Gender dalam Struktur Masyarakat Nelayan

19 Januari 2019   18:14 Diperbarui: 19 Januari 2019   18:29 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengingat hal ini, memoriku langsung tertuju pada kasus yang dialami nelayan perempuan di Demak yang diperlakukan tidak adil. Mereka merasa adanya perbedaan perlakuan terhadap profesi mereka sebagai nelayan perempuan dibandingkan dengan nelayan laki-laki. Seperti halnya status pekerjaan mereka di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka tertulis sebagai ibu rumah tangga bukan nelayan. Akhirnya, konflik terjadi antara nelayan perempuan dengan para stakeholder termasuk kepala desa yang bersikukuh untuk tidak ingin mengganti. Seperti yang kita ketahui bersama, pemerintah telah mengeluarkan program peningkatan kesejahteraan nelayan melalui pembuatan Kartu Nelayan, atau yang saat ini menjadi Kartu Kusuka. Melalui kartu itu, nelayan akan mendapatkan akses terhadap program-program perlindungan nelayan, seperti asuransi nelayan. Akan tetapi, program tersebut sejauh ini hanya dinikmati para nelayan laki-laki. Karenanya, para nelayan perempuan di Demak didampingi oleh PPNI (Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia) hingga saat ini masih berjuang untuk mendapatkan hak mereka dengan mengubah status profesi di KTP mereka.

Belum lagi terkait permasalahan buruh dan pekerja industri perikanan. Mereka terbiasa bekerja lama dengan upah yang minim. Menurut data yang diperoleh PPNI, rata-rata waktu bekerja perempuan nelayan adalah 17 jam sehari memenuhi kebutuhan keluarga nelayan dan kebutuhan protein bangsa. Perempuan nelayan sangat berperan di dalam rantai nilai ekonomi perikanan. Peran itu bisa dilihat, mulai dari pra-produksi sampai dengan pemasaran.Pada tahap pra-produksi, perempuan nelayan berperan dalam menyiapkan bekal melaut. Kemudian, pada tahap produksi, perempuan nelayan ikut melaut seperti halnya nelayan laki-laki. Sedangkan pada tahap pengolahan, perempuan nelayan berperan besar dalam mengolah hasil tangkapan ikan dan/atau sumber daya pesisir lainnya. Hal ini membuktikan betapa beratnya beban seorang perempuan dalam struktur masyarakat nelayan.

Lalu bagaimana dengan solusinya?

Mungkin saya tidak akan menawarkan solusi yang sekiranya kongkret untuk dilakukan. Namun menyoroti masalah-masalah yang sudah sangat lama ini, jika tidak dibicarakan secara tuntas antara semua pihak yang memiliki kewenangan dalam melakukan kerja-kerja tersebut dari tingkat paling bawah, akan membawa pada polarisasi pola dan hubungan kerja yang semakin lama semakin meruncing.  Untuk keluar dari keadaan yang demikian memanglah sulit.  Mengubah struktur yang ada di masyarakat secara drastis pun sangat sulit bahkan muskil terjadi. Mungkin setiap kelompok yang memusatkan perjuangannya dalam penegakkan keadilan gender memiliki caranya masing-masing. Ada yang berupaya mengubah struktrtur kehidupan politik, ada yang berorientasi edukatif dan reformatif belaka dengan menciptakan kesadaran bersama untuk melakukan upaya penanggulangan secara tuntas dan menyeluruh, ada pula yang memiliki orientasi revolusioner untuk mengubah struktur kehidupan bermasyarakat secara total. Bahkan perbedaan itu bukan hanya terletak pada tujuan, tetapi juga pada pendekatan, ada yang menggunakan pendekatan konfrontatif atau justru harus dijalin hubungan timbal balik antara perempuan dan laki-laki. Semua memiliki caranya masing-masing.

Namun hal ini tidak menyurutkan untuk menembakkan peluru kritik kepada instansi pemerintah, dimulai dari pemerintah pusat hingga ketingkat daerah dalam upaya penegakkan hukum. Selain penegakkan hukum, sosialiasi akan hak-hak yang dimiliki oleh nelayan perempuan pun masih sangatlah minim terutama bagi masyarakat yang berada di desa-desa pelosok pesisir. Cara lain yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan menaikkan posisi daya tawar perempuan dengan menempatkan perempuan sebagai subjek hukum dan pengakuan di mata hukum. Selain itu juga dapat menaikkan taraf hidup perempuan yang ada selain peningkatan kapasitas produksi dan peningkatan lapangan kerja oleh pemerintah, juga memberikan bantuan berupa pelatihan, pendampingan, asuransi, kredit usaha hingga kesempatan yang lebih luas bagi setiap orang untuk menaikkan taraf hidupnya. Tapi di sisi lain, saya pribadi sangat mengapresiasi upaya KKP dalam mereduksi ketimpangan gender melalui kebijakan pengarustamaan gender (PUG) yang didalamnya memuat pengintegrasian permasalahan, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan dan laki-laki harus di masukan ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program, proyek dan kegiatan diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Referensi


Beauvoir, Simone de. 1989. The Second Sex. New York: Vintage.

Coontz, Stephanie. 1986. Women's Work, Men's Property: The Origins of Gender and Class. Washington: Verso.

Engels, Frederick. 2011. Asal-usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi dan Negara. Jakarta: Kalyanamitra.

Handajani, H., Relawati, R., & Handayanto. 2015. "Peran Gender dalam Keluarga Nelayan Tradisional dan Implikasinya pada Model Pemberdayaan Perempuan di Kawasan Pesisir Malang Selatan." Jurnal Perempuan Dan Anak 121.

Mariarosa Dalla Costa, Selma James. 1973. The Power of women and the subversion of the community. Bristol: Falling Wall Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun