Teringat lagu anak-anak, "Naik kereta api tuut, tuut, tuut, siapa hendak turut ke Bandung Surabaya..." Berkereta api memang memiliki kekhasan sendiri dibandingkan dengan transportasi darat lainnya. Jika menaiki kereta api yang melintasi provinsi, maka gerbong itu akan menjadi semacam museum bergerak karena berubah-ubahnya suguhan budaya dan tabiat yang berbeda antardaerahnya. Kini, kereta api menjadi perbincangan hangat,  penumpang kereta membludak (terutama di ibu kota). Ini bukan hal baru, setiap jam kantor baik pergi atau pulang tiket kereta yang murah itu selalu habis. Kenapa gerbong penariknya tidak ditambah ya? Bisa jadi pertanyaan ini sudah ada jawabannya namun belum diketahui penulis. He.. Jadi instrumen untuk menertibkan penumpang adalah alat semprot yang berisi cat untuk menandai para penumpang yang naik di atap. Para petugas keamanan dan petugas administrasi lantas menentukan hukuman administrasi bagi penumpang pelanggar itu. Para penumpang yang bergelantungan dan jongkok di atap kereta menyadai bahwa setiap bulan ada yang meninggal karena pilihan mereka itu? Namun apakah penumpang itu punya pilihan lain jika banyak keterbatasan yang didera? Semoga saja penumpang, pejabat PJKA, dan instansi terkait lainnya dapat bekerja sama membuat moda transportasi ini nyaman, aman, dan menyenangkan untuk dikendarai, Amin. Senada dengan ikon-ikon optimis yang sudah tertempel di beberapa kereta di kota-kota besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H