Sastra adalah suatu tindakkan kreatif manusia yang bercermin dari dunia realitas. Akan tetapi, sastra bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak cerminan realitas, melainkan ada unsur kreatif di dalamnya yang berpegang pada realitas (Rene Wellek & Austin Warren, 2016 : 3). Karya sastra juga bisa sebagai alat untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan pada masyarakat misalnya seperti dongeng epos Odysseus seorang individu yang berjuang melawan nasib. Dongeng tersebut bahkan digambarkan oleh Adorno dan Horkheimer sebagai cikal-bakal lahirnya semangat pencerahan (A. Setyo wibowo, 2009 : 6). Adapun Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa fungsi sastra ialah ingin membongkar tabu atau mitos. Berbeda dengan Seno, Leila S. Chudori mengatakan bahwa sastra berfungsi lebih kepada entitas yang mengarahkan orang-orang untuk membaca, merenung, dan bergerak.
Dalam novel "Bukan Pasar Malam" karya Pramoedya Ananta Toer yang ditulis pada tahun 1951. Karya ini adalah karya yang cukup pendek diantara karya-karya lainnya yang ditulis oleh Pramoedya seperti, Bumi Manusia, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Perburuan, dan lain sebagainya. Novel ini banyak mendapat pujian dari kalangan sastrawan seperti Goenawan Mohamad dan Romo Y. B. Mangunwidyaya. Misalnya seperti, Y. B. Mangunwidyaya mengatakan, "Bukan Pasar Malam adalah karya Pramoedya yang paling disukainya." Adapun Goenawan Mohamad juga mengatakan, dalam akun youtube Asumsi yang dipublikasikan tanggal 17 Agustus 2019, katanya, Â "Bumi Manusia itu bagus, tapi tidak luarbiasa. Buku Pram yang bagus bagi saya mungkin Bukan Pasar Malam."
Tokoh dalam novel Bukan Pasar Malam yaitu, "Ayah", "Aku", dan "Istri Aku". Tokoh "Ayah" lebih dominan digambarkan oleh Pramoedya dalam novelnya sebagai sosoknya yang idealis, punya kepekaan sosial yang tinggi terhadap masyarakat bawah, dan konsistensinya pada apa yang menurut dia benar. Dalam novelnya digambarkan bahwa tokoh ayah yang menderita sakit paru-paru mengirim surat pada anaknya di Jakarta. Membaca surat kiriman dari ayahnya sang anak langsung bergegas pergi ke Blora untuk menemui ayahnya yang sedang terkapar di rumah sakit dengan hati yang teriris-iris. Sesampainya di rumah sakit sang anak meratapi kesedihan yang menimpa ayahnya. Disela-sela kesedihan itu sang ayah menceritakan banyak hal tentang dirinya di masa lalu saat masih menjadi pejuang.
Diceritakan bahwa sosok ayah ini adalah sosok yang tangguh dan memiliki kepedulian yang cukup besar terhadap masyarakat. Pengorbanan-pengorbanan yang dilakukannya untuk masyarakat cukuplah hebat dari mulai memperbaiki sumur hingga mendirikan sekolah untuk warga pribumi. Konon katanya, sakit yang diderita oleh ayah adalah akibat dari memendam rasa kecewa terhadap teman-temannya yang saling sikut menyikut berebut jabatan di dalam pemerintahan setelah kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari semua cerita ayah, ternyata sosok "ayah" ini adalah penganut ajaran kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita.
".... benar ayah Tuan gugur di lapangan politik. Ayah tuan mengundurkan diri dari partai dan segala tetek bengek agar bisa menghindari manusia-manusia badut pencuri untung itu. tapi karena perhatiannya pada masyarakat terlalu besar itulah ia tak bisa melepaskan diri betul-betul dari semuanya itu... kalau ayah tuan ada di kota besar -- bisa mengembangkan kepribadiannya -- barangkali sudah jadi besar. Barangkali sudah jadi menteri. Tapi, ya, ayah tuan itu selalu berpegang pada ajaran Ronggowarsito. Karena itu beliau tak mau turut dengan badut-badut yang bergila-gilaan itu... (hlm: 103)"
Sehubung Pram adalah seorang penulis yang berkiblat kepada realisme, novel BPM ini seperti auto-biografi penulisnya. Bahkan ada beberapa ciri-ciri yang memang sama persis dengan kehidupan si penulis. Misalnya, seperti tokoh "Ayah" yang seorang guru sekaligus seorang nasionalis yang diceritakan dalam novel memiliki kesaamaan dengan kehidupan nyata penulis. Dalam dunia nyata, Pak Mastoer (ayah Pram) adalah seorang guru dan seorang nasionalis. Tak hanya itu, kesamaan latar cerita juga sama persis dengan latar di mana (dalam dunia nyata) ayah Pram meninggal. Sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Soesilo Toer bahwa, "Pram itu menulis fakta yang diimajinasikan". Di tambah dengan keterang Pram yang pernah menyebut, "Setiap tulisan mengandung autobiografi seseorang".Â
Oleh : Muhammad Syaifullah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H