Mohon tunggu...
Dipu Pata
Dipu Pata Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Maaf, ruangan ini bukan kantor. Bukan juga tempat kerja. Jadi buat apa terlalu serius?

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Jomblo: Bentuk Tidak Baku yang Belum Laku

9 Februari 2014   11:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:00 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Om, om, truk aja gandengan, masa om kagak?”

Pembaca budiman yang berbahagia, apa telinga kalian pernah bertemu kalimat seperti itu di televisi? Iya kalimat tadi adalah potongan kalimat dalam sebuah iklan. Belakangan iklan ini memang sudah jarang sekali beredar dalam jeda acara beberapa stasiun televisi swasta Indonesia. Mungkin salah satu penyebabnya adalah kesan makna yang ditimbulkkan dari pertanyaan lugu anak dibawah umur itu menimbulkan efek sentimentil yang begitu menyentil kaum tertentu. Dengan kata lain, mungkin ada semacam request yang dilayangkan oleh pihak tertentu kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mecegat, menggugat, sekaligus membabat habis dari siklus edar.

Jika kita coba telisik, bagi sebagian besar orang iklan salah satu produk minuman ini memang renyah-renyah garing, namun tidak demikian bagi pihak “si objek penderita” yaitu jombloholic. Menjadi jomblo memang bukan prestasi yang bisa dibanggakan. Wajar karena pemerintah atau lembaga swasta tidak pernah memberikan pengharagaan apapun jika seandainya seseorang berhasil menjomblo seumur hidup.Jomblo juga bukan profesi yang bisa menghasilkan uang banyak sebab seorang jomblonista (*sebutan bagi para penggemar) sangat jarang memiliki karier cemerlang mengingat pikiran dan perasaan mereka tidak tampil paralel untuk saling menunjang dalam efektifitas kinerja. Bagaimana bisa fokus bekerja coba? Kontroversi hati yang melanda pasti akan memberi celah menuju labil ekonomi.

Sebagai seorang jomblo elegan, saya sendiri masih penasaran, kapan, dimana, dan bagaimana istilah jomblo ini kemudian muncul ke publik dan menjadi ‘cap’ bagi setiap insan manusia yang tidak /eh maksudnya/ belum memiliki pasangan hidup layaknya sepasang sepatu atau sandal jepit yang sering nangkring di depan masjid. Rasa penasaran ini kemudian menuntun saya untuk mendownload Kamus Bahasa Indonesia terbitan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional tahun 2008. Hampir lima kali membongkar isi kamus, hasilnya kata ‘jomblo’ it not found alias tidak tercantum disana. Tapi bukan Dipu Pata namanya jika menyerah begitu saja. Tidak ingin menjadi roh penasaran, akhirnya saya datang meminta petunjuk keseorang tetangga yang kebetulan sudah menjadi guru bahasa Indonesia selama 45 tahun dan baru saja berhasil mencetak rekor sebagai orang tua pertama yang meraih gelar S2 di sebuah desa kecil terpencil bernama Tegal Saat.

“Jomblo itu bentuk yang tidak baku! Salah Kaprah. Tidak Lazim.” kata Pak Suar tegas.

“Lho kenapa?”

“Ya karena tidak sesuai kaidah kebahasaan. Ingat, untuk mencari pembenaran kebakuan suatu kata itu acuannya kamus. KBBI. Coba anda cek, apa ada kata jomblo tertulis disini?”

Beliau kemudian meyerahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka. Dengan teknik skipping kemudian saya mulai memburu kata tersebut. Berita buruknya dalam kamus tidak tertera kata “jomblo”. Berita baiknya, di sana ternyata tertera kata “Jomlo” tanpa huruf ‘b’ diantara ‘m’ dan ‘l’. ‘jomlo’memiliki arti ‘perempuan tua’. Kaget? Biasa aja! Yang menjadi pertanyaan, entah kenapa kata ‘jomlo’ kemudian berevolusi menjadi ‘jomblo’ lalu maknanya pun menjadi ‘seorang individu yang belum menemukan pasangan’. Profesor gadungan Dipu Pata mencium bau penyimpangan di sana?

Begini, menurut teori yang pernah saya pelajari di SD, ada dua cara pembentukan kata, yaitu dari dalam dan dari luar bahasa Indonesia. Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kosakata baru dengan dasar kata yang sudah ada, sedangkan dari luar terbentuk kata baru melalui unsur serapan. Nah untuk kasus ‘jomlo’ menjadi ‘jomblo’ ini termasuk yang mana? Luar? Dalam? Bukan keduanya. Jadi ada kesalahan dalam proses pembentukan kata ini.

Dalam buku yang berjudul “Common Error in Language Learning” H.V. George mengemukakan bahwa kesalahan berbahasa adalah pemakaian bentuk-bentuk tuturan yang tidak diinginkan (unwanted form) khususnya suatu bentuk tuturan yang tidak diinginkan oleh penyusun program dan guru pengajaran bahasa. Jika teori itu kita sandingkan dengan makna jomblo yang sekarang, ternyata ada kemiripan nasib. Tidak percaya? Tolonggaris bawahi kata ‘unwanted form’. Keduanya sama-sama merupakan bentuk yang tidak diinginkan. Iya sekali lagi saya tegaskan ‘jomblo’ adalah bentuk yang tidak berterima, ditolak mentah-mentah, tersolimi, teraniaya, dan terlewatkan. Bedanya satu berwujudkata, satunya lagi berwujud manusia. Sekian dan terimakasih. Salam Lugu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun