Mohon tunggu...
Moh. Haris Lesmana (Alesmana)
Moh. Haris Lesmana (Alesmana) Mohon Tunggu... Konsultan - Alumni Konsentrasi Hukum Tata Negara FHUB

Sarana menyalurkan pemikiran, hobby, dan mengisi kegabutan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana Jika Pancasila Menjadi Hukum Positif Indonesia?

24 Januari 2023   15:07 Diperbarui: 24 Januari 2023   15:58 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"kita dalam mengadakan Negara Indonesia Merdeka itu, harus dapat meletakan negara itu atas suatu meja statis, yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakan rakyat, bangsa dan negara ini".

(Ir. Soekarno)

Analogi "meja statis" dan "bintang penuntun" merujuk pada konsepsi dasar negara (Pancasila), sekilas Bung Karno menginginkan agar pembentukan Negara Indonesia memiliki landasan pacu yang kukuh disertai semangat juang yang tinggi dalam membangun bangsa yang kuat dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila juga harus menjadi sabuk pengikat bagi elemen bangsa yang sekian lama telah mendiami Nusantara.

Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, jenius Nusantara juga mereflesikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran.

Pancasila sebagai konsesus nilai telah jauh diimajinasikan oleh Bung Karno dalam analoginya yang terkenal: dasar statis dan lesitar (bintang penuntun). Soekarno membayangkan konsepsi Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa di atas mana negara Republik Indonesia dibangun serta menjadi bintang penuntun yang akan mengarahkan negara mencapai cita-cita perjuangannya. Soekarno melukiskan hal ini sebagaimana berikut:

Secara konstitusional, Pancasila diletakan sebagai dasar dan ideologi Negara Republik Indonesia. Mengingat fungsinya sebagai fundamen bangsa dan negara maka keberadaanya tidak saja penting, tetapi mutlak diperlukan bagi pencapaian visi atau cita-cita sosial bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pedoman hidup sekaligus menjiwai seluruh praktik kekuasaan (politik) dalam rangka perwujudan kesejahteraan rakyat. Pancasila menjadi sumber etika dan moral dalam tata pergaulan hidup berikut cita ideal dari pada tujuan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan substansi dan raison d'etre-nya (keberadaan) nilai-nilainya, Pancasila memiliki kualifikasi sebagai norma dasar yang merupakan keyakinan normatif Indonesia. Sebagai norma dasar, Pancasila merupakan dasar "penilaian" (reflektif) tentang apa yang berharga dan apa yang penting, dan apa yang tidak, serta yang membentuk suatu kehidupan (termasuk kehidupan hukum) yang baik dan yang bermakna.

Pasca reformasi, Pancasila dapat disebut "terdeskreditkan" sebab dimasa lalu Pancasila pernah  "diberhalakan" sebagai pembenaran ideologis dari segala sepak terjang kebijakan pada orde baru.  Mirisnya  Pancasila semakin ditinggalkan, berdasarkan survei LSI Denny JA Pancasila masih dikehendaki oleh 91,8 persen masyarakat. Namun angka itu terus menurun hingga pada tahun 2018 angka tersebut menjadi 69,1 persen.

Dalam konteks Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, seyogyanya segala Peraturan Perundang-undnagan di Indonesia memiliki 'cita rasa' Pancasila yang tercermin dalam setiap pembentukan dan pelaksanaan regulasi dan kebijakan. Berkaitan dengan hal tersebut, Akhmad Kemas Tajuddin, S.H., M.H. selaku Deputi Bidang Hukum , Advokasi dan Pengawasan Regulasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyatakan bahwa sejak tahun 2018 sampai 2022 terdapat 180 peraturan perundang-undangan yang dikaji oleh BPIP dan hasilnya terdapat 80% yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Oleh karena itu, dewasa ini seringkali terdapat  pembahasan baik itu secara formal atau informal (pengalaman pribadi penulis) terkait "Urgensi Pancasila untuk dijadikan sebagai hukum positif" dengan tujuan untuk membumikan kembali Pancasila khususnya dalam pembentukan dan pelaksanaan regulasi. Lantas bagaimanakah bila hal tersebut terjadi dan bagaimanakah konsekuensinya?

Hal pertama yang penulis pikirkan terkait gagasan tersebut adalah jelas akan mengkerdilkan  Pancasila sebagai norma dasar karena berdasarkan pendapat kelsen, norma dasar adalah premis awal yang diasumsikan sebagai dasar di mana segala sesuatunya dimulai. Norma dasar tidak diturunkan dari manapun. Validitasnya juga diterima begitu saja. It is valid because it is presupposed to be valid, sehingga nomra dasar tidak perlu disesuaikan dengan norma lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun