Matanya setengah mengantuk saat petugas kamar mengantarkan pesanannya. Teh hijau dan semangkok Dakjuk hangat. Dia mencari lembaran lima ribu won, yang dia ingat dimasukkanya begitu saja dalam tas karena tadi terburu-buru sewaktu di stasiun. Diangsurkannya selembar.
Hanifah merapatkan kerah jaketnya hingga ke leher. Hampir menyentuh dagu. Butiran salju jatuh di kepala dan ujung rambutnya. Mirip bunga randu di pekarangan rumah tua mereka yang gugur saat musim panas. Putih dan ringan. Randu dan salju tentu saja beda. Salju dingin, sedangkan randu membuat gatal hidungnya. Dia alergi serbuk bunga.
Lampu-lampu mobil di kejauhan terlihat seperti cahaya samar yang berpendar, menyilaukan. Genangan sisa air hujan siang tadi membuat basah sepatunya. Hanifah melangkah panjang-panjang. Seratus meter di depan sana, lelaki itu, Tuan Kim, menunggunya di salah satu sudut Pojangmacha. Pikirannya kalut, apa benar ini yang dia inginkan? Bagaimana kalau Tuan Kim sudah tidak mencintainya seperti dulu? Bagaimana kalau Tuan Kim bahkan tidak mengenalinya. Hanifah bingung, apa dia kembali saja ke kamar hotelnya yang hangat? Tapi bagaimana kalau Tuan Kim menghubungi ponselnya karena bosan terlalu lama menunggu? Apa yang akan dia katakan? Dia sedang sakit kepala, atau dia sedang sakit perut. Apa alasan yang tepat untuk menghindari pertemuan dengan Tuan Kim? Sakit perut? Ah, perutnya suka sakit mendadak kalau tengah gugup. Hanifah terdiam di tempatnya berdiri. Deru mobil dengan klakson keras mengagetkannya dari belakang.
"Omo! Apa kau ingin mati?" Pengendara mobil terkejut dengan langkah Hanifah yang terhenti tiba-tiba.. "Igon modu je jalmosimnida. Jweisonghamnida" Hanifah membungkuk, menunjukkan permintaan maaf tulus, dia juga tak kalah kaget. Ah, ini semua karena Tuan Kim, batinnya. Terlanjur! Mereka harus bertemu.
Seorang pria duduk di kursi plastik, di sudut kanan Pojangmacha sambil mengetukkan jarinya ke meja. Mungkin dia gugup, mungkin dia bosan menunggu terlalu lama. Ragu, Hanifah menekan nomor kontak di telepon genggamnya, di atas meja, ponsel lelaki itu berbunyi. Dert.. dert.. dert.. Benar! Dia Tuan Kim. Wajahnya tidak banyak berubah, masih sama seperti belasan tahun lalu. Hanya sedikit tampak tua.
"Tuan Kim?" Hanifah menghampiri lelaki itu. "Anda Tuan Kim?" Lelaki itu mendongakkan wajahnya. Lalu berdiri. "Oh, ya." Hanifah kaku di tempatnya. Lelaki itu, Tuan Kim, menjabat tangannya. Layaknya dua orang yang lama tidak bertemu, Hanifah menggerutu. Formal sekali, batinnya.
"Long time no see you. Jal jinae syeosseoyo." Hanya itu. Tidak ada pelukan hangat, tidak pula kecupan di kening tanda rindu. Hanifah merasa ada yang sakit di dalam sana. Di hatinya. Lama mereka duduk berhadapan. Hanifah tidak tau harus memulai cerita dari mana. Ada kala saat terlalu banyak yang ingin dibicarakan, bisu sudah cukup mewakili. Semuanya.
"Bagaimana ibumu?" Bah! Pertanyaan klise macam apa itu? Teriak Hanifah dalam hati.
"Ibu? she's gone."
"Maaf, Jal moreugesseumnida." Tuan Kim tertunduk.
"Ibu menyuruhku ke sini. Menemui anda, Tuan Kim." Akhirnya, kalimat agak panjang keluar juga.