Aku tidak suka bapak, dia suka membentak, mulutnya lebar dan nafasnya bau. Bau rokok, bau kopi, belakangan juga bau alkohol. Aku bergeming, sampai esok hari ayah tidak pernah pulang sampai hari ini.
"Halo, siapa namamu?" Aku mulai terbiasa melihat kelakuan ibu yang tiap hari menelpon orang yang tak dikenal untuk mencari Mas Harsja. Hasilnya, tentu saja tetap nihil.
Di rumah ini aku hanya punya Timo. Kucing kecil yang pincang, Timo dirawat Pak Jana sampai sembuh lalu diberikan padaku. Kupikir dulu Pak Jana menyukai ibu makanya baik padaku. Tapi akhirnya Timo juga pergi, dia mati. Lehernya hancur terlindas motor yang melaju kencang di depan jalan. Padahal ibu sedang ada di rumah waktu itu. Ibu tidak menjaga Timo bahkan ibu tidak tahu Timo mati, setiap hari kalau tidak melamun ibu pasti menelpon,
"Halo, siapa namamu?"
"Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?"
Sekarang aku tahu bagaimana rasanya kehilangan. Rasanya seperti ibu. Aku mulai kangen suara Timo, aku mulai sering merasakan aroma kotoran Timo dari halaman belakang terbawa angin dan memenuhi seluruh ruang di rumah ini, aku masih sering menyisakan makanan buat Timo, aku benar-benar ingin Timo hadir lagi di sini.
Kemarin, selesai menaburkan bunga ke makam Timo, aku tersentak, banyak orang berlarian dari ujung jalan. Wajah mereka pias, aku penasaran. Apa yang terjadi? Kulihat Pak Jana tengah memeluk seorang perempuan. Astaga! Pak Jana memeluk ibu.
Orang-orang bergidik ngeri, Pak Jana terengah melawan rontaan ibu. Pak Jana dan ibu menjadi tontonan. Ibu tersenyum pada kerumunan, ibu mencoba menggapai beberapa orang yang sebaya dengan Mas Harsja.
"Halo, siapa namamu?"
"Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?" Kata Pak Jana ibu kangen Mas Harsja. Kata orang ibuku gila. Aku merasa semakin mirip ibu.
_______________________________________________________________