Mohon tunggu...
Santy Novaria
Santy Novaria Mohon Tunggu... -

Seorang Muda. Penikmat Fiksi. Tukang kritik yang bukan penulis. Anda tidak harus jadi koki handal untuk sekedar merasai mana masakan enak, mana yang kurang garam.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perkara Gila: Menyambut Malaikat

14 Februari 2011   13:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:36 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah berfikir bagaimana Tuhan bekerja atas semua yang ada di muka bumi ini? Aku pernah. Sering malah. Tiap sedang kehilangan iman dan murtad sesekali waktu, aku berfikir tentang tugas Tuhan yang segudang. Bagaimana repotnya dia membagi jadwal tugas malaikat, mengabulkan pinta-pinta mustahil manusia dan mencipta sesuatu, yang sering kau anggap mubazir.

Seperti kecoa yang sering kumaki tak ada guna, kadang aku pun bergumam dalam kepala, bertanya-tanya, alasan diciptakannya mereka. Tapi betul lah, terlalu banyak rahasia di atas dunia, yang tersimpan begitu rapat. Dan aku pernah bersepakat, bukan dengan siapa-siapa, tapi dengan diriku saja, bahwa tak selamanya aku harus selalu tahu.

Menurutku tak ada yang mubazir di dunia ini. Teringat orang gila, teringat pula aku pada orang waras. Bukankah sebutan orang waras tercipta karena ada kata sandang untuk orang gila? Salah kalau kau bilang mereka tak berfaedah diciptakan, kawan!

Yang kau tak tahu, tak akan menyakitimu. Aku menerapkan prinsip begitu dalam menjalankan kehidupan. Kupikir, Tuhan pasti punya alasan untuk menyimpan rahasia-Nya sendiri. Mungkin rahasia itu terlalu menakutkan, mungkin pula, alasannya terlalu sulit dilogikakan.

Teringat kisah Wak Minah yang tukang dukun beranak sewaktu kulihat dia berkacak pinggang memegang pelepah kelapa mengusiri beberapa anak kampung yang bertepuk tangan menyoraki Pakcik Mahrum. Setahun silam.

"Orang gila tuh semestinya tak perlu ditakuti ato dihina macam budak kecik tadi. Apalagi dihindari macam yang banyak orang buat sekang-sekarang ni. Aiiihh.. Dah berbusa mulut aku saban hari mengingatkan. Orang gila meskipun dah macam tu masih berguna. Tak macam kita yang waras ni."

"Kita yang waras ni cuma menang di otak je lah. Kalo soal akal tak perlu susah kau cari banding. Kau tengok yang ada sekarang. Mana bagus dari si Mahrum yang gila tu? Mahrum mengamuk karena memang dia gila, tapi takkan sampe dia membunuh orang. Tak perlu aku berbanyak cakap, dah mau Magrib. Baik kau cari sendiri pembanding jaman sekarang."

Aku tergelak sendiri dari jauh, melihat Maemunah dimurkai Wak Minah. Entah apa pula kerjanya, menunggukan orang tua macam itu ngomel panjang soal tak penting. Padahal sudah pula petang, aku melihat Matahari di balik pohon kelapa tempatku berteduh, duduk menggigiti sebatang rumput tipis, tak sabar mau pulang.

"Kalau Wak Minah sudah berpanjang lebar macam tadi, sekali-kali jangan coba menyela atau pergi. Murkanya seperti Rambo tertembak tepat di selangkangan! Baik diam dan dengarkan saja kalau tak ingin cari penyakit."

Di jalan pulang kudengar Maemunah masih menggerutui mak tua yang memarahinya tadi. Kurasa dia agak jengkel karena tak bersalah, tapi turut menampung marah. Aku hanya terkekeh-kekeh mendengar rutukannya.

"Ah, tak payahlah ko masukkan hati. Mak mak merepet 'tu perkara biasa. Salahmu mau pulak dengar. Kalau aku jadi ko, dah pigi aku ambil langkah seribu!" Aku berkomentar menanggapi.


Itu kisah tentang Wak Minah tahun lalu. Belum habis lamunku, dari belakang samar kudengar langkah kaki tergesa. Bau tubuh yang beda menguar sekelebat.

Aih makjang! Bau kencing darimana ini? Kulihat ke belakang, laki tua berambut gondrong hampir gimbal, setengah berlari menghampiri. Si Utok, anak muda kampung sebelah yang katanya tak sehat jiwa. Terlanjur takut, aku lari tunggang langgang.

"Jangaaann.. Jangaann lewat sana! Lewat sini. Dia datang. Dia datang."

Sebuah seruan memperingatkan, aku menoleh sekilas, si Utok yang berteriak. Tangan Maemunah digenggamnya, aku berlari semakin kencang, takut dikejar.



Aku kaget, seseorang yang tadi kami lewati menarik lenganku. Lebih tepatnya menyeretku. Teman yang tadi berjalan denganku terpekik histeris. Larinya panjang.

"Kejar dia.. Kejar dia.. Jangan lewat sana! Cepat!" Utok menunjuk kawanku yang telah agak jauh berlari.

Aku berlari tak lagi tampak jalan. Kepalaku berkali-kali melihat ke belakang, Maemunah baru mengambil langkah menuju ke arahku. Syukurlah dia bisa lepas dari sana.

Kegilaan yang paling dahsyat adalah menuruti perintah orang gila. Dan aku melakukannya.

Aku tak urung berhenti, dekat jalan raya lupa kutengok sebelah kiri.



Belum sempat kususul langkah teman tadi. Suara gedebum di ujung jalan kudengar.

"Sudah kubilang jangan lewat sana. Kawanmu tak dengar. Dia datang, mencari yang mau dibawa hari ini." Utok bergumam di sampingku.

Entah kebetulan atau tidak, benar ada yang datang. Izrail.

_________

[Stabat - Batam, 13 Februari 2011]



Kolaborasek dini hari duo Melayu beda pulau.

*italic oleh Dee Dee. Biasa oleh Nova

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun