Itu kisah tentang Wak Minah tahun lalu. Belum habis lamunku, dari belakang samar kudengar langkah kaki tergesa. Bau tubuh yang beda menguar sekelebat.
Aih makjang! Bau kencing darimana ini? Kulihat ke belakang, laki tua berambut gondrong hampir gimbal, setengah berlari menghampiri. Si Utok, anak muda kampung sebelah yang katanya tak sehat jiwa. Terlanjur takut, aku lari tunggang langgang.
"Jangaaann.. Jangaann lewat sana! Lewat sini. Dia datang. Dia datang."
Sebuah seruan memperingatkan, aku menoleh sekilas, si Utok yang berteriak. Tangan Maemunah digenggamnya, aku berlari semakin kencang, takut dikejar.
Aku kaget, seseorang yang tadi kami lewati menarik lenganku. Lebih tepatnya menyeretku. Teman yang tadi berjalan denganku terpekik histeris. Larinya panjang.
"Kejar dia.. Kejar dia.. Jangan lewat sana! Cepat!" Utok menunjuk kawanku yang telah agak jauh berlari.
Aku berlari tak lagi tampak jalan. Kepalaku berkali-kali melihat ke belakang, Maemunah baru mengambil langkah menuju ke arahku. Syukurlah dia bisa lepas dari sana.
Kegilaan yang paling dahsyat adalah menuruti perintah orang gila. Dan aku melakukannya.
Aku tak urung berhenti, dekat jalan raya lupa kutengok sebelah kiri.