[caption id="attachment_187430" align="aligncenter" width="423" caption="Ilustrasi: http://www.fph.org.uk"][/caption]
Alkisah seorang bule berkunjung ke Candi Borobudur. Ketika berjalan menuju candi dia mulai menyalakan rokoknya. Sampai di depan pintu candi melihat tulisan "No Smoking" terpampang di papan informasi. Dia kemudian berhenti sebentar di depan pintu, menghabiskan rokoknya baru setelah dimatikan dan dibuang di tempat sampah, dia berjalan masuk ke halaman candi.
Di waktu yang sama, di atas Candi Borobudur, seorang wisatawan lokal merokok dengan santainya walaupun jelas-jelas terpajang larangan merokok di situ. Petugas yang melihat pun mengingatkan untuk mematikan rokoknya. Dengan enggan sambil berkata mau dihabiskan dulu, sang wisatawan pun mematikan rokoknya sambil bersungut-sungut.
Dua buah pemandangan yang bertolak belakang di satu tempat yang sama. Mau tidak mau harus diakui bahwa budaya merokok orang Indonesia, yang sangat sembarangan (kalau tidak mau disebut tidak beradab), sangat berbeda dengan orang bule yang sebagian besar tertib dalam menyalakan rokoknya.
Terlepas dari bahwa merokok itu buruk untuk kesehatan, menurut saya personal, ada dua dosa besar perokok di Indonesia. Pertama, mereka merokok di tempat umum dimana banyak orang yang sebenarnya bukan perokok juga berkerumun di situ. Kedua, para perokok, entah secara sadar atau tidak sadar, senang membuang puntungnya secara sembarangan di tempat mereka merokok.
Untuk alasan pertama, ditinjau dari aspek kesehatan, sebenarnya sangat merugikan perokok pasif di sekitarnya. Dari penelitian diketahui bahwa 25 persen zat berbahaya yang terkandung dalam rokok masuk ke tubuh perokok, tetapi 75 persennya terbang bebas ke udara yang beresiko masuk ke tubuh orang disekelilingnya. Lebih hebatnya lagi, 150 juta dari 250 juta penduduk Indonesia ternyata menjadi perokok pasif, baik itu di rumah, di kantor, di tempat umum, maupun di kendaraan umum.
Orang merokok sembarangan dimana-dimana memang sering kita temui, tetapi saya pribadi pernah menemukan pengalaman yang menurut saya patut dicontoh para perokok di Indonesia. Pertama cerita mengenai teman bule saya. Suatu hari saya dan beberapa teman dengan seorang seorang bule berkumpul dan bercerita. Sedang hangat-hangatnya dengan pembicaraan kami, ternyata sang bule merasa hasrat merokoknya datang menghampiri. Seketika itu dia permisi menyingkir mencari tempat dia bisa merokok karena tahu bahwa saya dan teman-teman bukan perokok.
Di lain waktu, ketika saya sedang mencari makan malam-malam, masuk lah sebuah keluarga kecil dengan satu anak balita ke dalam warung tenda tempat saya membeli makanan. Setelah memesan menu masing-masing, mereka duduk menunggu di kursi yang disediakan. Si bapak adalah seorang perokok dan ingin merokok pada saat itu. Akhirnya dia pamit sebentar ke anak dan istrinya untuk merokok di luar tenda. Ternyata sang bapak tidak rela bila anaknya yang masih balita menjadi seorang perokok pasif.
Alasan kedua, selain untuk alasan kebersihan, perlu juga diketahui bahwa puntung yang dibuang membutuhkan waktu 1,5-2,5 tahun untuk dapat diurai di tanah, 1 tahun untuk diurai di air tawar dan 5 tahun untuk bisa terurai di laut. Dengan konsumsi rokok di Indonesia yang mencapai 240 milyar, maka jumlah puntung rokok yang dihasilkan setiap tahunnya dapat mengisi 40 kolam renang ukuran olimpiade. Dan bayangkan saja jika semua puntung rokok itu dibuang sembarang, mungkin di setiap pojok-pojok ruang terbuka ataupun tertutup akan kita temui paling tidak sebuah puntung rokok.
Belum lagi bila puntung rokok yang dibuang sembarangan ternyata tidak langsung dimatikan. Puntung rokok tersebut masih dapat menyala sampai kurang lebih 3 jam. Bahaya yang paling nyata adalah puntung tersebut tentu saja dapat menyebabkan kebakaran. Di sisi lain, kurang lebih 4000 zat kimia yang terkandung dalam rokok akan bertebaran kemana-mana. Bila terbuang ke air, puntung-puntung rokok tersebut dapat mencemari air.
Saya pribadi menganggap bahwa merokok itu hak masing-masing individu. Saya juga tidak pernah menyarankan perokok untuk menghentikan kebiasaan merokoknya. Tetapi bila kemudian ternyata merokok menjadi kegiatan yang merugikan orang lain, maka itu menjadi hak kita untuk mengingatkan sang perokok tersebut. Bukan mustahil tentunya mendambakan para perokok untuk merokok dengan benar, mencari tempat khusus untuk merokok bila ingin merokok dan mematikan serta membuang puntungnya di tempat sampah setelah selesai menghisap rokok.
Sumber data:
http://nusantaraheriawan.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H