Mohon tunggu...
Mauritz Panggabean
Mauritz Panggabean Mohon Tunggu... -

An Indonesian, a Batak, a christian. Husband, father, son, brother, normal person. R&D engineer. Graduate of Institut Teknologi Bandung (ST), Technische Universiteit Eindhoven (MSc/ir), and Norwegian University of Science and Technology (PhD). Currently a student at the Norwegian School of Theology. A permanent student at the school of life.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Pasti Kalah di 2019 Jika...

16 Mei 2017   14:51 Diperbarui: 17 Mei 2017   04:03 4802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[CATATAN: Tulisan ini masih akan mengalami modifikasi dan perbaikan di sana sini meski sudah tayang. Silakan langsung menuju ke bagian akhir tulisan ini jika ingin menyelesaikan judul di atas.]

Sebagai seorang insinyur dan ilmuwan, saya senang dengan angka. Saya suka jika sesuatu dapat diungkapkan dan digambarkan dengan angka. Karena itulah kata-kata Lord Kelvin ini salah satu favorit saya:

"When you can measure what you are speaking about, and express it in numbers, you know something about it; when you cannot express it in numbers, your knowledge is of a meager and unsatisfactory kind."

Dalam terjemahan sederhana, 

"Ketika kamu dapat mengukur apa yang kamu bicarakan, dan menyatakannya dalam angka-angka, kamu tahu sesuatu tentangnya; ketika kamu tidak dapat mengungkapkannya dengan angka, pengetahuanmu picik dan tidak memuaskan."

Tentu saja saya tidak mengatakan bahwa segala sesuatu dapat diukur, dihitung dan diungkapkan dengan angka. Namun, jika dapat, akan sangat baik. Karena itu, ketika mencermati suatu fenomena saya mengikuti tahap-tahap berikut soal penyataannya dengan angka.

  1. Cari dulu apakah sudah ada angka hasil penghitungan atau pengukuran atas fenomena tersebut, khususnya karakteristik yang kita inginkan. Jika ada, dan angka-angkanya diperoleh dengan metode yang valid, maka tinggal digunakan saja.
  2. Jika belum ada data tentang fenomena itu dan ia dapat diukur atau dihitung secara langsung, maka ukur/hitunglah. Tidak harus seluruh populasi; sampel saja cukup asal memenuhi kaidah-kaidah yang berlaku untuk melakukan estimasi.
  3. Jika penghitungan atau pengukuran secara langsung atas fenomena tersebut tidak mungkin atau terlalu sulit, maka bangunlah model yang representatif dari fenomena itu. Selanjutnya kita dapat melakukan simulasi berdasarkan model tersebut untuk mendapatkan data yang dicari tentang satu atau beberapa karakteristik fenomena itu. Ada macam-macam bentuk model, seperti maket atau model matematika.
  4. Jika dengan simulasi modelnya terlalu kompleks, maka sederhanakanlah dengan menggunakan asumsi-asumsi yang valid. Jika ternyata masih sangat kompleks, bisa dilakukan pendekatan matematika formal.

Secara akademik, itulah tahap-tahap menuju penyataan suatu fenomena dan karakteristiknya secara kuantitatif.

Analisis kuantitatif itulah yang saya cukup jarang temukan ketika mengikuti macam-macam opini dan tulisan orang tentang fenomena-fenomena politik Indonesia akhir-akhir ini. Satu fenomena yang saya soroti adalah radikalisasi dan politisasi agama di Pilgub DKI 2017 yang lalu. Salah satu pertanyaan di benak saya adalah, dapatkah output radikalisasi dan politisasi agama dinyatakan secara kuantitatif? Jika ya, bagaimana caranya? 

Hipotesis saya adalah output radikalisasi dan politisasi agama dapat digambarkan dengan angka. Apa gunanya analisis kuantitatif atas fenomena radikalisasi dan politisasi agama? Setidaknya ada dua manfaat. Pertama, dengan angka, kita akan dengan mudah dan cepat mengetahui sudah separah apakah kondisi saat ini. Pengetahuan dan kesadaran itu akan membangkitkan sense of crisis dan sense of urgency yang dibutuhkan untuk bersikap dan bertindak. Kedua, dengan mencermati korelasi dan tren di dalam data, kita bisa melakukan ekstrapolasi untuk memprediksi apa yang akan terjadi, misalnya di Pilpres 2019 nanti. Meski estimasinya kasar, itu tidak masalah asal caranya cukup valid. Itu jauh lebih baik daripada tidak ada angka sama sekali apalagi berani menduga-duga tanpa dasar. Jika orang buta memimpin orang buta, maka niscaya keduanya akan jatuh ke dalam lubang.

Untuk menjawab pertanyaan tadi sekaligus menguji hipotesis tadi, saya mulai dengan langkah pertama di atas. Setelah saya cari-cari, saya menemukan sejumlah data yang menarik rasa penasaran saya tentang Pilgub DKI 2012 Putaran II, Pilpres 2014, dan Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran II. Untuk mempersingkat, selanjutnya saya hanya akan sebut ketiga peristiwa tersebut dengan tahunnya saja, yaitu peristiwa 2012, 2014, dan 2017. Semua terdaftar sebagai referensi di bawah tulisan ini. 

Mari kita mulai dengan mengkaji data 2012 dari [1-3] seperti dipaparkan di Tabel 1. Data pemilih dari exit poll [2] dinormalkan relatif terhadap persentase pemeluk agama di DKI menurut [1], yaitu dengan mengkalikan kedua persentase tersebut dan membaginya dengan 100. Misalkan, angka 44.3% diperoleh dari 51.9% x 85.36% / 100. Demikian seterusnya dengan data lainnya di tulisan ini. Exit poll [2] berdasarkan 740 responden yang berhasil diwawancara (92.5%), dengan margin or error ±3.7% pada tingkat kepercayaan 95%. 

Tabel 1. Hasil Pilgub DKI Jakarta 2012 Putaran II

Saya memperoleh angka persentase 45.5% untuk Fauzi-Nara dan 54.5% untuk Jokowi-Ahok. Ternyata, meski dengan jumlah sampel itu, hasil saya berbeda kecil sekali dengan hasil real count KPUD DKI, yaitu 46.18% untuk Fauzi-Nara (selisih 1.4%) dan 53.82% untuk Jokowi-Ahok (selisih 1.2%). Untuk memudahkan perbandingan, hasilnya diplot di Gambar 2 sebagai pie chart. Warna merah akan konsisten digunakan di sepanjang tulisan ini untuk Jokowi atau Ahok, dan biru untuk rivalnya.

Gambar 1. Persentase pemilih di Pilkada DKI Jakarta Putaran II menurut agama Islam dan non-Islam

Apa saja hal menarik yang bisa kita cermati dari angka-angka ini? Data exit poll ini memberi kita informasi persebaran agama di kedua paslon, memperkaya data dari KPUD. Perhatikan, hampir semua pemilih kubu biru beragama Islam (97.3%), sementara kubu merah kontribusi pemilih non-Islam hampir seperempatnya. Artinya distribusi agama di kubu merah lebih heterogen. Sangat mungkin ini karena adanya calon wagub non-Islam yaitu Ahok. Pertanyaannya, apakah ini akan terulang di 2014 ketika Jokowi berpasangan dengan JK (keduanya muslim)?

Mari kita lanjutkan dengan mempelajari hasil 2014 dari [1,4,5] yang dipaparkan di Tabel 2. Ada 1.904 orang (95,2%) responden yang berhasil diwawancarai, dengan margin of
error
±2,2% pada tingkat kepercayaan 95%. Data exit poll [4] melaporkan angka responden yang menjawab 'tidak tahu' (TT) atau 'tidak jelas' (TJ). Karena itu angka normalisasi terhadap data BPS saya hitung dengan mengesampingkan persentase TT/TJ ini. Saya mendapatkan persentase 54.3% untuk Jokowi-JK dan 45.7% untuk rivalnya. Kembali selisihnya sangat kecil terhadap hasil real count KPU, kurang dari 2.5%.

Tabel 2. Hasil Pilpres 2014

2014-5919f982cf7e615e3b2d6835.jpg
2014-5919f982cf7e615e3b2d6835.jpg
Gambar 2 menampilkan angka-angka persentase pemilih di 2014 menurut agama Islam dan non-Islam sesuai Tabel 2. Jika kita membandingkan data 2014 dan 2012, maka kita akan melihat ada lebih banyak kesamaan selain kemiripan angka hitungan saya dengan angka KPU. Pertama, persentase pemilih Islam di kubu biru sangat tinggi seperti di 2012, yaitu 96%. Kedua, persentase pemilih Islam dan non-Islam di kubu merah juga tidak jauh berbeda dengan 2012. Ketiga, angka dari KPU di 2012 dan 2014 juga berbeda sedikit sekali.

Gambar 2. Persentase pemilih di Pilpres 2014 menurut agama Islam dan non-Islam

Apa informasi yang bisa ditarik dari perbandingan ini?

  1. Tidak salah untuk menyatakan bahwa Pilgub DKI Jakarta merupakan 'barometer' politik nasional. Terbukti, hasil akhirnya sangat mirip. Ini menjadi sinyal bahwa kita dapat menjadikan hasil Pilgub DKI 2017 sebagai basis untuk memprediksi hasil Pilpres 2019.
  2. Bisa dikatakan bahwa baik pemilih kubu biru dan kubu merah menunjukkan loyalitas yang (sangat) tinggi kepada kubunya. Dengan konfigurasi partai-partai pendukung yang tidak jauh berbeda di 2012 dan 2014 padahal calon di kubu biru di dua peristiwa itu tidak ada yang sama, ada kemungkinan pemilih kubu biru memiliki preferensi dan asosiasi yang sangat kuat terhadap partai-partai kubu biru serta tokoh-tokohnya. 
  3. Sementara, di 2012 dan 2014 di kubu merah ada satu calon yang sama, yaitu Jokowi. Selain preferensi dan asosiasi terhadap partai, figur Jokowi merupakan magnet yang sangat kuat bagi para pemilih kubu merah untuk tetap loyal. Sangat mungkin simpati terhadap Jokowi (jauh) lebih besar daripada simpati terhadap partai-partai kubu merah. Ini perlu menjadi catatan penting bagi partai-partai ini menjelang dan saat 2019.
  4. Di 2012 ada figur Ahok, seorang Kristen dan keturunan Tionghoa, sebagai cawagub kubu merah. Di 2014 semua calon dari kubu merah beragama Islam. Hasil yang sangat mirip di kedua peristiwa itu menunjukkan bahwa faktor agama dan suku Ahok yang datang dari dua minoritas di republik ini mungkin tidak berpengaruh besar. Jumlah orang yang mempersoalkan agama dan suku Ahok tidak sebesar saat 2012. Kenapa? Sebab kemenangan Jokowi Ahok di 2012 adalah sebuah kejutan besar bagi banyak orang, termasuk bagi mereka yang menduga bahwa agama dan suku Ahok bisa membuat kubu merah kalah. Ternyata mereka keliru. Namun bisa jadi mulai 2012 Ahok menjadi fokus mereka dan usaha-usaha radikalisasi dan politisasi agama mulai digencarkan.
  5. Loyalitas pemilih di kedua kubu pada 2012 dan 2014 mengindikasikan bahwa hasil serupa bisa terulang di 2017 dan 2019 dengan masih ada calon yang sama yaitu Ahok di 2017 dan jika Jokowi maju di 2019, andaikata ceteris paribus, atau situasi tidak banyak berubah. Sulit mengharapkan pemilih setia kubu biru pindah memilih kubu merah, dan sebaliknya. Albert Einstein berkata "Insanity: doing the same thing over and over again and expecting different results." Orang yang melakukan hal yang sama lagi dan lagi namun mengharapkan hasil berbeda, kata Einstein, adalah orang tidak waras. Karena itu, logis untuk 2017 dan 2019 mereka yang benci kubu merah menang akan melakukan upaya-upaya yang berbeda demi memenangkan 2017 dan 2019. Itulah radikalisasi dan politisasi agama untuk menggerus himpunan pemilih Islam yang loyal terhadap kubu merah. Sebab itu sangat mungkin usaha-usaha itu dimulai sejak 2012, dan semakin intensif menjelang 2014, lalu makin menggila menjelang 2017 karena kekalahan di 2014. Apakah mereka berhasil di 2017?

Sekarang saatnya kita lanjutkan dengan hasil 2017. Tabel 3 menyajikan semua data dan angka penting dari [1,6,7]. Persentase pemilih menurut agama Islam dan non-Islam saya plot di Gambar 3. Hasil dari 2012, 2014 dan 2017 saya rekapitulasi di Gambar 4 untuk memudahkan perbandingan. 

Tabel 3. Hasil Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran II

2017-591a00d51cafbddd6c80056f.jpg
2017-591a00d51cafbddd6c80056f.jpg

Gambar 3. Persentase pemilih di Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran II menurut agama Islam dan non-Islam

Gambar 4. Dari dalam ke luar: Rekapitulasi persentase pemilih di Pilgub DKI 2012, Jakarta Pilpres 2014, dan Pilgub DKI Jakarta 2017.

Apakah hasil 2017 sama dengan 2012 dan 2017? Jawabnya adalah ya dan tidak. Apa saja yang sama? 

  1. Angka hitungan saya menggunakan data exit poll [6] ternyata tetap konsisten dengan angka real count KPU, dengan selisih di bawah 1.7%. 
  2. Kembali hampir semua pemilih kubu biru adalah muslim, meningkat sedikit dari 2012 dan 2014 menjadi 99%! 
  3. Persentase pemilih non-Islam di kubu merah relatif stabil, yaitu 14.1% di 2017, 11.0% di 2014, dan 13.4% di 2012.

Lalu apa saja yang berbeda di 2017 dengan 2012 dan 2014?

  1. Kali ini kubu merah kalah dari kubu biru! Kalah telak dengan margin 16%. Padahal menurut survei sekitar 70% warga DKI puas dengan kinerja Ahok.
  2. Migrasi 16% dari kubu merah ke kubu biru ini bisa dikatakan (hampir) semua beragama Islam. Ini ditunjukkan dengan stabilnya persentase pemilih non-Islam kubu merah di 2017, 2014 dan 2012. Ini menyebabkan persentase pemilih Islam dan non-Islam kubu merah cukup banyak berubah dari kestabilan di 2012 dan 2014.

Apa pelajaran yang bisa kita tarik dari perbandingan ini?

  1. Usaha-usaha berbeda oleh mereka yang benci kubu merah menang terus, yaitu radikalisasi dan politisasi agama, ternyata sukses besar! Karena (hampir) seluruhnya merupakan pemilih Islam, maka angka 16% mengkuantifikasi output dari dari radikalisasi dan politisasi agama tersebut. Ini menjawab pertanyaan utama saya sekaligus mengkonfirmasi hipotesis saya di pembuka tulisan ini. Teknik dan metode yang luar biasa (baca: di luar kebiasaan) ternyata memberi hasil luar biasa pula. Sesuai kata Einstein tadi, para pembenci kubu merah ternyata jauh dari ketidakwarasan soal strategi. Mereka bahkan cerdik seperti ular, garang seperti banteng, namun sayang jauh dari ketulusan seperti merpati.
  2. Mengingat loyalitas tinggi di atas, sangat mungkin 16% pemilih kubu merah yang sudah pindah ke kubu biru ini tidak mungkin bisa direbut kembali jika kubu merah tidak melakukan apa-apa. Yang terjadi malah angka ini akan meningkat di 2019 jika radikalisasi dan politisasi agama itu tidak dibendung dan dihentikan.
  3. Bagaimana mengukur efektifitas radikalisme dan politisasi agama itu? Itu tergantung dari sejak kapan itu dimulai dan seintensif apa polanya. Ada kemungkinan itu dimulai dari 2014, ketika kubu biru kalah dua kali di dua pemilu paling bergengsi di republik ini, yaitu pilpres dan pilgub DKI. Banyak orang mengatakan Pilgub DKI 2017 itu serasa Pilpres. Angka dan data di atas menunjukkan itu sebuah konsekuensi logis. Tidak ada yang perlu terkejut seharusnya, bahkan itu harusnya sudah diantisipasi. Bagaimana pun, kemungkinan terburuk adalah bahwa angka 16% itu paling utama disumbangkan oleh gerakan-gerakan radikalisasi dan politisasi agama yang terstruktur, sistematis dan masif digencarkan hanya dalam hitungan bulan sebelum Pilgub DKI 2017, terutama Putaran II. Pintu masuknya adalah saat kata-kata Ahok tentang Al Maidah 51 di Pulau Pramuka dipersoalkan (baca: dijadikan persoalan. Apakah sejatinya itu sebuah persoalan? Silakan jawab sendiri). Jika demikian, maka cara itu terbukti sangat efektif untuk masyarakat kita. Ini suatu hal yang mengerikan, sangat mengerikan. Kondisi republik sudah parah. Sudah seharusnya setiap orang yang peduli memiliki sense of crisis dan sense of urgency mulai sekarang.

Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan pesan untuk Pak Jokowi berdasarkan analisis kuantitatif ini. Pak, angka dan data menunjukkan bahwa jika Pilpres diselenggarakan hari ini dan calonnya hanya Bapak dan Prabowo, ada kemungkinan bahwa Bapak akan kalah. Jika Bapak memutuskan maju di 2019 dan Bapak salah satu dari dua calon yang tersisa, maka angka dan data di atas menunjukkan bahwa Bapak PASTI akan kalah jika:

  1. Bapak tidak segera dalam tempo sesingkat-singkatnya menerapkan upaya-upaya yang juga terstruktur, sistematis dan masif untuk membendung dan menghentikan kanker radikalisasi dan politisasi agama yang masih giat berlangsung. Sebab itu sangat membahayakan bangsa dan negara kita. Itu juga akan terus merampok suara pemilih Islam yang masih loyal kepada Bapak. Kita tidak tahu setiap hari berapa orang dari pemilih Bapak berhasil dipengaruhi pikirannya untuk meninggalkan Bapak. Lalu kapan Bapak harus mulai? Jika saya ditanya, jawaban saya seharusnya di hari pertama sejak Bapak jadi presiden. Tapi Bapak bisa mulai hari ini. Seperti kata seorang tua kepada saya: masa lalu milik Iblis (karena akan dia pakai untuk mendakwa manusia di pengadilan terakhir), masa depan itu milik Tuhan, tapi hari ini adalah milik kita. Milik Bapak. Bergeraklah segera Pak dengan langkah kudamu! Millions of people in Indonesia and the world look at you, wait for you actions, and put hope in you Pak.
  2. Bapak tidak segera dalam tempo sesingkat-singkatnya melakukan langkah-langkah yang cerdas dan cermat untuk mencegah lebih banyak lagi pemilih non-Islam yang loyal kepada Bapak jadi berubah pikiran untuk meninggalkan Bapak. Data di atas menunjukkan bahwa, jika mereka tidak lagi mendukung Bapak, kecil kemungkinan mereka memilih menyeberang ke kubu rival. Alternatif pilihan bagi mereka sepertinya cuma satu Pak: memilih untuk tidak memilih, alias golput. Jika mencermati apa yang terjadi pasca putusan Ahok, sepertinya ada usaha-usaha untuk menggunakan itu sebagai alat untuk pelan-pelan mengikis suara pemilih non-Islam yang loyal kepada Bapak. Sila Bapak cek di media sosial. Bergeraklah segera Pak. Do something!
  3. Bapak masih merasa Bapak aman dan segala sesuatu akan baik-baik saja. Saya berharap Bapak semakin berhati-hati dengan apa yang dibisikkan orang-orang di sekitar Bapak. Saya jadi teringat dengan kata-kata ini Pak: “Watch your thoughts, they become words; watch your words, they become actions; watch your actions, they become habits; watch your habits, they become character; watch your character, for it becomes your destiny.”

Saya akan tutup dengan cerita pribadi singkat Pak. Takut kalah bisa menjadi sebuah sumber motivasi yang luar biasa. Itulah yang saya alami saat saya mempersiapkan diri untuk bertempur di ajang UMPTN 1998. Impian saya adalah diterima di Teknik Elektro ITB Pak. Saya sampai termimpi-mimpi saking inginnya. Namun saya sadar bahwa ada ribuan anak-anak Indonesia yang cerdas dan lebih cerdas dan tekun daripada saya yang memimpikan yang sama. Apalagi jika mereka memiliki akses dan sumberdaya jauh lebih banyak dan lengkap daripada saya yang hanya bersekolah di sebuah SMA Negeri non favorit di pinggiran kota Medan, anak dari seorang ayah PNS yang jujur dan benci korupsi. Karena itu saya takut kalah Pak, dan itu wajar. Itulah yang menjadi motor dalam diri saya hingga saya selama kelas 3 SMA itu hampir tiap hari belajar sendiri di rumah mulai dari pukul 7 malam hingga pukul 2 bahkan 3 subuh. Jika orangtua saya terbangun dan mendapati saya masih berkutat dengan buku-buku dan soal-soal saat subuh, mereka akan tegur saya dan suruh saya tidur. Saya tahu itulah saat dan cara belajar saya yang paling optimal, setelah tidur siang dulu. Itu satu sebab saya tidak pergi ke bimbingan belajar dan hanya ikut try out. Alasan lain adalah karena soal prinsip, dan juga karena itu cukup mahal bagi kami dan akan menambah beban orangtua. Puji Tuhan, semua perjuangan dan kerja keras itu berbuah manis! Jika saya tidak diterima di Teknik Elektro ITB, bisa jadi saya tidak akan menjadi seperti saya sekarang ini. Saya tidak hanya ingin sekali masuk ITB, tapi saya juga takut kalah. Saya menjadikan itu motivasi, and it pays off so nicely.

So Pak Jokowi, how BADLY do you want to WIN ini 2019? How BADLY do you want to NOT LOSE in 2019?

Referensi [diakses Mei 2017]

[1] Badan Pusat Statistik, "Sensus Penduduk 2010: Penduduk Menurut Wilayah dan Agama yang Dianut". Tersedia di sini.

[2] Saiful Mujani Research & Consulting, "Temuan Survei Pra-Pilkada & Exit Poll Putaran Kedua untuk Pilkada DKI Jakarta, Pemilu, dan Pilpres 2014", 23 September 2012. Tersedia di sini.

[3] Hasil Resmi Pilkada DKI Jakarta Putaran II 2012. Tersedia di sini.

[4] Indikator Politik Indonesia, "Hasil Exit Poll Pemilu Presiden RI 2014", 9 Juli 2014. Tersedia di sini.

[5] KPU RI, "Hasil real count Pemilu Presiden RI 2014". Tersedia di sini.

[6] Indikator Politik Indonesia, "Exit Poll Pilgub DKI Jakarta Putaran ke-2", 19 April 2017. Tersedia di sini.

[7] KPUD DKI Jakarta, Rekapitulasi Penghitungan Suara Pilgub DKI Jakarta 2017 Putaran II. Tersedia di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun