Menurut penelitian psikologi sosial, stereotip gender bersifat tidak akurat dan bias. Stereotip atau perspektif gender yang terjadi pada perempuan adalah, perempuan dianggap memiliki sikap akan ketergantungan, lemah, dan dituntut untuk menunjukan sisi lemah lembut dan femininnya, sedangkan laki-laki dianggap kuat, dapat diandalkan, dan dituntut untuk memiliki sikap yang maskulin.
Sebuah cerita tidak hanya berfungsi sebagai hiburan bagi para penikmatnya, tetapi sebuah cerita juga merupakan sebuah pelajaran hidup yang berisi nilai -- nilai kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sebuah pedoman. Sebuah cerita mengemas kompleksitas kehidupan menjadi sebuah deskripsi dan stereotip yang mudah diingat.Â
Bentuk dramatis dengan alur naik turun, karakter yang sederhana, serta permasalahan konflik yang sederhana, semua elemen ini akan membuat para penikmatnya merasa relate dan memudahkan sebuah cerita untuk dapat diceritakan kembali dan disebarluaskan. Sebuah cerita dapat menyebarluaskan nilai -- nilai dan stereotip yang dimilikinya.
Salah satu kisah populer yakni Cinderella yang merupakan kisah yang telah bertahan selama berabad-abad di masyarakat. Kisah Cinderella telah diceritakan dari masa ke masa tahun demi tahun.Â
Dalam sebagian besar ceritanya, Cinderella adalah gadis malang yang diperbudak oleh ibu tirinya sendiri, menunggu seorang pangeran untuk datang dan menyelamatkan dirinya. Cinderella dikenal dengan karakter utamanya yang pasif dan penurut.
Cinderella Complex
Kisah Cinderella digunakan sebagai istilah yang pertama kali dikemukakan oleh psikiater bernama Collete Dowling, istilah yang dimaksud adalah Cinderella Complex.Â
Collete Dowling dalam bukunya yang berjudul The Cinderella Complex: Women's Hidden Fear of Independence yang terbit tahun 1981 mengungkapkan bahwa perempuan cenderung bergantung pada keinginan untuk dirawat dan dilindungi oleh orang lain terutama laki -- laki, perempuan memiliki keyakinan akan adanya perlindungan yang didapat dari luar dirinya sendiri. Cinderella Complex membuat perempuan menjadi tidak mampu untuk membuat keputusan sendiri, dan lebih percaya dengan keputusan serta pendapat dari orang lain.
Kondisi Cinderella Complex berbeda dengan perempuan yang memang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengabdi pada pekerjaan rumah saja. Dalam kondisi ini, perempuan masih memiliki peran dan saling bahu membahu dengan laki -- laki dalam hal berumah tangga.
Sementara dalam kasus Cinderella Complex, wanita merasa tidak percaya diri untuk mengurus dirinya sendiri, takut untuk mengambil tanggung jawab, dan takut berusaha sendiri sehingga lebih memilih menggantungkan hidup kepada seorang pria.
Di Indonesia sendiri, cerita atau kisah yang mirip dengan Cinderella adalah kisah bawang merah dan bawang putih yang dimana dalam kisah tersebut bawang putih diselamatkan oleh seorang pria dari kehidupan sengsara yang diakibatkan oleh ibu tiri dan saudara tirinya. Ketergantungan Cinderella Complex tersebut bersifat sangat kuat, sehingga sang wanita tidak lagi berusaha mengembangkan diri, mengemukakan pendapat, dan benar-benar patuh kepada orang yang dianggapnya telah menjaga dirinya.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Cinderella Complex merupakan rasa takut dari perempuan yang terjadi secara tidak sadar terhadap kemandirian dan keberhasilan yang menyebabkan dirinya memiliki kecenderungan untuk dilindungi oleh orang lain terutama laki -- laki.
Gejala Cinderella Complex
Terdapat beberapa gejala yang menjadi indikasi bahwa seorang perempuan tengah mengalami sindrom Cinderella Complex:
- Perempuan bergantung pada keputusan dan pilihan dari pasangannya.
- Tidak mampu mengambil keputusan sendiri.
- Tidak mampu mengerjakan sesuatu sendiri.
- Takut jika hidup sendiri.
- Takut akan adanya perpisahan atau takut akan ditinggalkan dan sering merasa gelisah dan cemas jika ditinggalkan.
- Sangat sensitif dengan penolakan, terutama penolakan yang diberikan dari laki -- laki.
- Tidak mau keluar dari zona nyaman.
- Takut menjadi single. Selalu berusaha memiliki hubungan romantis dengan seseorang laki -- laki yang diidentifikasikan sebagai laki -- laki yang kuat dan bertanggung jawab.
- Secara diam -- diam atau bahkan terbuka memiliki keinginan untuk dirawat oleh orang lain.
- People pleaser. Perempuan dengan sindrom ini cenderung ingin terus menerus menyenangkan orang lain secara berlebihan tanpa memikirkan kepentingannya sendiri, terlebih lagi pada pasangannya sendiri.
- Mengalami mood swing. Di satu sisi menunjukkan sosok yang lemah dan perlu akan pertolongan, tetapi di satu sisi yang lain ada kalanya melakukan penolakan terhadap bantuan walaupun tetap menunjukkan keinginan untuk dibantu.
Penyebab Cinderella Complex
Dowling menduga  Cinderella Complex bermula dari budaya sosial patriarki yang memandang perempuan sebagai makhluk lemah yang harus dilindungi. Di sebagian besar masyarakat, perempuan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan patuh serta taat kepada laki-laki.Â
Di sisi lain, stereotip laki-laki adalah bahwa mereka adalah makhluk kuat dan berkuasa yang akan selalu melindungi perempuan. Penyebab lain dari Cinderella Complex adalah pola asuh di mana ibu terlalu tunduk kepada ayah, dan anak perempuan  cenderung meniru ketaatan tersebut.Â
Pendidikan tradisional hanya mempersiapkan anak perempuan untuk bekerja sebagai ibu rumah tangga, namun tidak mempersiapkan mereka untuk mandiri sebagai perempuan atau untuk mendapatkan pendidikan.Â
Rasa  percaya diri yang sangat rendah juga bisa menyebabkan sindrom ini. Orang yang menganggap dirinya sebagai ``wanita lemah yang tidak bisa berbuat apa-apa'' dengan mudahnya mempercayakan nasibnya kepada pasangannya. Hal ini bisa menjadi berbahaya jika pasangannya ternyata adalah orang yang tidak bertanggung jawab, karena penderita sindrom Cinderella  tetap bertahan bahkan setelah perawatan yang tidak menyenangkan.
Peran Media dalam penyebaran Cinderella Complex
Media memiliki peran yang signifikan dalam menyebarkan sebuah informasi. Media selalu menyebarkan citra perempuan sebagai makhluk yang cantik, lemah lembut, dan bergantung pada orang lain terutama laki -- laki. Hal ini dapat dilihat dari kisah Cinderella yang mendunia akibat penyebaran yang dilakukan oleh media.Â
Nilai -- nilai dan stereotip yang ada di kisah Cinderella mendunia dan ditiru serta menjadi stereotip yang diikuti oleh masyarakat dunia. Visualisasi dan dramatisasi yang apik dalam kisah Cinderella merepresentasikan sindrom Cinderella Complex dimana merepresentasi adegan-adegan  hasrat  perempuan  ingin diselamatkan, tokoh perempuan yang baik dan kehidupan yang berakhir bahagia karena bertemu dengan sosok penyelamat yang superior.Â
Tidak hanya dari kisah Cinderella saja, kisah -- kisah paling terbaru pada saat ini juga masih dan sering menyajikan stereotip yang dimiliki oleh sindrom Cinderella Complex.
Individu yang mengalami Cinderella Complex akan merasa khawatir terus-menerus, rasa khawatir ini akan terasa berlebihan bagi pengidap sindrom Cinderella Complex.
Jika ketakutan dan kecemasan Anda semakin mengganggu hingga mempengaruhi kehidupan Anda, sebaiknya segera konsultasikan ke psikolog atau psikiater untuk mengatasinya.
Referensi
Grindstaff, Susan. 2022. What Is the Cinderella Complex? https://www.wise-geek.com/what-is-the-cinderella-complex.htm.
Hanes, Elizabeth. 2020. Cinderella Syndrome: Signs You Have It and How to Overcome It. https://www.healthgrades.com/right-care/mental-health-and-behavior/cinderella-syndrome-signs-you-have-it-and-how-to-overcome-it.Â
Jacobson, Sheri. 2021. The Cinderella Complex -- When a Secret Need to be Saved Ruins Everything. https://www.harleytherapy.co.uk/counselling/cinderella-complex.htm.
Masruroh, S. A. (2022). Representasi Cinderella complex pada sinetron Ikatan Cinta. Bricolage: Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 8(2), 201-220.Â
ABIDAH, F. N. (2021). CINDERELLA COMPLEX PADA MAHASISWA MILLENNIAL (Studi Kasus Pada Mahasiswa Perempuan di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto) (Doctoral dissertation, UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO).Â
Xu, H., Zhang, Z., Wu, L., & Wang, C. J. (2019). The Cinderella Complex: Word embeddings reveal gender stereotypes in movies and books. PloS one, 14(11), e0225385.Â
Rachmijati, C., & Cahyati, S. S. (2021). "Cinderella" Vs "Timun Mas": Exploring Gender Stereotypes and Culture as Learning Material Purposes. Jurnal Sinestesia, 11(1), 10-19.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI