Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menjadi topik hangat di kalangan masyarakat.
Rencana pemerintah menaikkanKebijakan ini muncul di tengah situasi ekonomi yang cenderung masih rapuh, di mana masyarakat berjuang untuk pulih dari berbagai tekanan, mulai dari pandemi hingga inflasi global. Walau sekilas kenaikan ini hanya 1%, tapi banyak menilai dampaknya tidak sesederhana itu.
Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi kondisi ekonomi masyarakat secara langsung tetapi juga menjadi cerminan bagaimana pemerintah mengelola negara.
Apakah kenaikan ini menunjukkan langkah strategis yang bijak, atau justru mencerminkan kebelum mampuan pemerintah mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal?
Bagi pendukung kebijakan, kenaikan 1% ini dianggap rasional. Pemerintah membutuhkan pemasukan tambahan untuk menopang anggaran negara yang terus meningkat.
Biaya subsidi energi, pembangunan infrastruktur, hingga kebutuhan dana untuk proyek-proyek strategis nasional mungkin menjadi alasan utama mengapa langkah ini dinilai perlu.
Para pendukung menekankan bahwa angka 1% ini relatif kecil dibandingkan dengan manfaat yang dapat diperoleh negara secara keseluruhan.
Namun, kelompok kontra memiliki pandangan yang berlawanan. Mereka menilai bahwa walaupun hanya 1%, dilapangan, dampaknya jauh lebih besar.
Kenaikan ini tidak hanya memengaruhi harga barang dan jasa, tetapi juga menciptakan ketidakpastian di sektor usaha, khususnya bagi pelaku UMKM.
Kritik lainnya adalah bahwa pajak konsumsi seperti PPN bersifat regresif---artinya, beban lebih besar akan dirasakan oleh wong cilik atau masyarakat berpenghasilan rendah dibandingkan mereka yang kaya.
Kenaikan ini mungkin sangat dirasakan masyarakat dengan pendapatan rendah, misal rata-rata Rp3 juta per bulan. Ketika PPN naik, ia harus mengalokasikan lebih banyak uang untuk kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, orang dengan pendapatan Rp10 - 30 juta per bulan mungkin tidak terlalu merasakan dampaknya. Ketidakadilan ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa banyak pihak menolak kebijakan tersebut.
Apa yang salah dengan negara yang punya banyak sumber daya ini?
Indonesia adalah salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam terbesar di dunia. Mulai dari hasil pertaniaan, tambang emas, batubara, hingga cadangan gas di Natuna, negeri ini memiliki modal besar untuk menopang perekonomiannya.
Namun, fakta bahwa pemerintah masih harus terus menaikkan pajak menunjukkan ada yang tidak beres dalam pengelolaan sumber daya ini.
Tidak perlu jauh-jauh, Singapura adalah negara kecil yang nyaris tanpa sumber daya alam. Namun, mereka berhasil membangun perekonomian yang stabil dengan tarif PPN hanya 9%.
Rahasianya terletak pada tata kelola yang efisien, sistem perpajakan yang ramah, dan investasi besar pada pendidikan serta teknologi.
Di Indonesia, kita masih bergulat dengan masalah klasik yaitu korupsi, kebocoran anggaran, dan tata kelola yang terkenal tidak efisien.
Data dari KPK menunjukkan bahwa setiap tahun, triliunan rupiah anggaran negara hilang akibat korupsi. Jika uang sebesar ini dikelola dengan baik, kebutuhan untuk menaikkan pajak mungkin tidak akan muncul.
Salah satu argumen utama yang sering diabaikan oleh pendukung kebijakan ini adalah bagaimana kenaikan PPN akan berdampak di lapangan.
Teorinya, kenaikan 1% PPN itu seharusnya berarti penambahan harga barang sebesar 1% juga. Namun, dalam praktiknya, kenaikan harga sering kali jauh lebih tinggi tidak 1%.
Misalnya, harga suatu barang saat ini Rp11.000 dengan PPN 11%, maka akan menjadi Rp11.110 jika tarif PPN naik menjadi 12%. Tetapi di dunia nyata, pedagang mungkin membulatkan harga menjadi Rp12.000. Dari sudut pandang pembeli, kenaikan ini bukan lagi 1%, melainkan nyaris 9%.
Mari kita ambil contoh kebutuhan pokok seperti beras. Jika harga beras 10 kg saat ini adalah Rp120.000, kenaikan 1% PPN bisa mendorong pedagang membulatkan harga menjadi Rp125.000 bahkan lebih.
Efek domino ini membuat daya beli masyarakat tergerus, terutama bagi mereka yang berada di kelompok pendapatan menengah ke bawah tadi.
Ahli ekonomi Faisal Basri pernah mengatakan bahwa ketergantungan yang tinggi terhadap pajak konsumsi menunjukkan kegagalan negara dalam memperluas basis penerimaan pajak.
Menurutnya, Indonesia harus beralih dari pendekatan "memeras yang kecil" menuju "mengoptimalkan yang besar." Artinya, fokus harus diarahkan pada sektor yang selama ini kurang tergarap, seperti pajak dari perusahaan multinasional, ekonomi digital, sektor properti mewah dan sektor lainnya.
Sejalan dengan itu, studi dari IMF yang menunjukkan bahwa kenaikan pajak konsumsi di negara berkembang cenderung memperbesar kesenjangan sosial. Pasalnya, kelompok bawah yang sudah rentan akan semakin terbebani, sementara kelompok atas relatif tidak terdampak.
Reformasi Bukan Malah Tambal Sulam
Daripada terus-menerus membebani masyarakat dengan pajak, pemerintah seharusnya mencari solusi yang lebih berkelanjutan. Berikut ini adalah beberapa usulan yang barangkali bisa dilakukan pemerintah :
1. Reformasi Tata Kelola Anggaran
Efisiensi dalam pengelolaan anggaran harus menjadi prioritas. Anggaran yang tidak terserap, proyek yang mangkrak, hingga pengeluaran yang tidak tepat sasaran harus segera diperbaiki. Dengan mengoptimalkan anggaran yang sudah ada, pemerintah mungkin dapat mengurangi kebutuhan untuk menaikkan pajak.
2. Optimalisasi Sumber Daya Alam
Potensi sumber daya alam Indonesia ini tidak kurang-kurang, namun sering kali tidak tergarap maksimal. Tidak perlu menyebut satu-satu, dibeberapa sektor pertambangan masih menghadapi masalah seperti eksploitasi ilegal hingga kontrak yang cenderung merugikan negara. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap potensi sumber daya ini dikelola secara profesional dan transparan.
3. Diversifikasi Sumber Pendapatan
Salah satu potensi yang mungkin bisa dimanfaatkan adalah sektor ekonomi digital sebagai sumber pendapatan baru. Dengan meningkatnya transaksi online, sektor ini memiliki potensi besar untuk menyumbang pemasukan tanpa membebani masyarakat luas. Pemerintah harus mulai melihat itu sebagai sumber potensial.
4. Investasi pada Kesejahteraan Masyarakat
Jika Skema Pajak 2025 nanti pemerintah tetap memilih menaikkan pajak, maka hasilnya harus dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk layanan yang lebih baik, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur atau lainnya yang sebanding dengan pajak yang dipungut. Jangan sampai dengan kenaikan pajak ini, justru masyarakat tidak merasakan dampak apa-apa, alias sama saja.
Bagaimanapun kenaikan pajak bukan sekadar soal angka. Ini adalah refleksi dari bagaimana pemerintah melihat dan mengelola negara.
Jika kebijakan ini terus-menerus diambil tanpa memperhatikan dampak sosial dan ekonomi, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan semakin terkikis. Hilangnya kepercayaan pada pemerintah sama dengan memicu masalah baru yang tidak mudah diselesaikan.
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan bersama, bukan sekadar tambal sulam anggaran.
Menaikkan pajak mungkin terlihat seperti solusi kilat, tetapi efeknya yang luas dan mendalam memerlukan pendekatan yang lebih hati-hati.
Mari berharap bahwa kebijakan ini diambil dengan pertimbangan matang dan tidak menjadi bukti lain dari ketidakmampuan kita mengelola potensi yang ada.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI