Di zaman serba teknologi informasi ini, rasanya siapa saja bisa belajar apa saja, asalkan punya perangkat, koneksi internet, dan yang paling penting, niat belajar.
Dulu kalau mau belajar skil tertentu, kita harus masuk lembaga khusus atau ikut kursus dengan biaya yang kadang tidak murah. Tapi sekarang? tinggal klik, kita langsung dihadapkan pada ribuan tutorial gratis, dari yang dasar sampai yang rumit.
Tanpa mengesampingkan situs lainnya, Youtube punya segalanya, dari tutorial gratis soal ngoding, desain grafis, editing video, sampai urusan perbengkelan, bisa dipelajari tanpa harus keluar uang sepeser pun! Bahkan, dari sini pun kita bisa menjadi profesional. Internet bukan cuma gudang informasi, ia adalah ruang kelas yang tak terbatas.
Sedikit nostalgia, saya tumbuh di dunia Engineering, mulai dari sekolah menengah kejuruan di jurusan teknik otomotif, hingga kuliah pun saya masih berada di rumpun yang sama, Teknik Mesin. Bahkan, cita-cita pun tidak main-main, ingin menjadi engineer di NASA. Ngerti to?
Saya besar dengan tangan yang terbiasa berkotor-kotor dengan oli dan kunci pas. Dulu sering otak-atik mesin motor atau mobil, bongkar sana-sini untuk sekadar tahu persis cara kerjanya.
Begitulah cita-cita, ada kalanya kita harus menerima kalau arah hidup bisa tiba-tiba belok, mengikuti arus yang di luar kendali. Bukan berarti menyerah, tapi memahami bahwa kehidupan ini kadang punya jalur yang misterius.
Meskipun ada yang bilang "cita-cita harus dikejar sampai titik darah penghabisan," saya setuju sebagai sebuah motivasi. Tapi sebagai sebuah realitas, dunia ini punya mekanisme yang memastikan cita-cita itu tidak selalu harus terwujud. Kalaupun dil uar sana yang akhirnya menggapai cita-citanya, ya syukur, tapi harus diakui jumlahnya tidak lebih banyak dari mereka yang harus menerima jalan lain.
Saat kemudian kita menyadari bahwa kita adalah bagian dari mayoritas yang harus berkompromi, itu bukan berarti kita menyerah atau gagal; kita hanya harus mencari jalan baru. Saya sendiri akhirnya sampai di titik di mana saya harus menerima bahwa mungkin, mimpi saya untuk jadi engineer NASA adalah mimpi yang terlalu ndakik (ketinggian), baik secara tenaga maupun finansial.
Hal itu menjadi trigger point saya untuk mulai mencari alternatif, sebuah jalur yang lebih relevan dan mungkin mudah dijangkau, dan tentu yang tidak terlalu menguras sumber daya. Mulailah saya melirik keterampilan lain yang sebenarnya sudah dekat sejak SMK dulu, yakni dunia desain.
Sedikit-sedikit sejak SMK, saya sudah punya kedekatan dengan software desain, seperti CorelDRAW, Photoshop, dan tentu semua itu berawal dari software andalan anak 90-an---Paint.
Dulu sering bantu desain backdrop untuk acara-acara di organisasi maupun di sekolah. Menggunakan laptop, saya belajar 98% dari internet, blog, forum, ebook. Mungkin hampir 80%nya saya belajar di YouTube.
Meskipun hingga detik ini saya bekerja sebagai "pekerja visual", saya tidak pernah klaim bahwa saya adalah desainer grafis, fotografer, videografer, atau "er-er" sejenisnya.
Saya punya semacam beban moral, tidak enak sama yang lain, utamanya dengan mereka para lulusan desain grafis, DKV, multimedia, atau semacamnya. Saya bukan lulusan itu, saya bukan orang yang berangkat dari bangku formal di bidang ini.
Sampai detik ini, saya masih sering khawatir dianggap mengambil lahan orang, maka dari itu selama ini juga saya lebih banyak bekerja secara underground. Bekerja secara diam-diam, bekerja dari proyek satu ke proyek lainnya tanpa tersentuh radar.
Tentu ini bukan tanpa konsekuensi, tanpa website, medsos, atau media publikasi lainnya orang lain menjadi tidak mudah menemukan portofolio saya. Sebuah akibat yang harus saya tanggung selama berprofesi.
Sempat sesekali menunjukkan karya saya di media sosial facebook, mengunggah hasil garapan branding (logo & seperangkat identitinya) sebuah brand karaoke di Bandungan, Semarang. Harapan saya, bisa mendapatkan feedback yang menyenangkan. Tapi, ya, yang saya dapatkan justru komentar-komentar yang tidak jelas-tidak membangun.
Ada yang bilang desain saya mirip dengan visual ini-itu, bahkan ada yang membandingkannya dengan desain obat batuk. Bukan berarti saya tidak tahan kritik---kritik itu perlu, malah saya menghargai karena justru kritik membantu saya untuk berpikir lebih kreatif.
Sampailah pada satu komentar yang agak brutal, "Biasane nyekel mesin kok ndadak engkek nyekel mouse barang" (biasa megang mesin kok sok-sokkan megang mouse komputer).
Ah Itu bukan sekadar komentar, tapi sindiran yang cukup menyadarkan saya pada ketidak enakkan tadi. Dari situ, saya semakin mantap untuk bekerja di bawah radar, biarlah karya saya bicara sendiri, walaupun tanpa eksposur.
Terlepas dari itu semua, poinnya bukan soal bukan lulusan ini atau lulusan itu. Poinnya adalah, bahwa dunia yang semakin progresif dan modern ini punya mekanisme baru yang memungkinkan kita belajar apa saja. Bahkan mau jadi apa saja, sekarang lebih mudah.
Teknologi memberi kita akses ke ilmu yang dulu hanya bisa dimiliki oleh segelintir orang. Dan untuk keterampilan-keterampilan tertentu, ini adalah berkah. Selama punya kreativitas dan ketekunan, apa pun bisa dipelajari dari rumah, dari layar kecil di tangan kita.
Selama saya menjalani profesi di bidang visual ini, satu hal menarik yang sering saya temukan adalah latar belakang orang-orang di industri ini. Saya mengenal beberapa agency, studio desain, fotografer, hingga berbagai agency kreatif lainnya, saya menemukan jalur menuju profesi ini ternyata sangat beragam.
Banyak dari mereka yang tidak datang dari jalur formal atau pendidikan khusus. Ada yang hanya lulusan SMA dan otodidak belajar sendiri, ada pula yang sarjana tapi jurusannya sama sekali tidak ada kaitannya dengan seni visual atau multimedia.
Fakta ini membuka mata saya bahwa dunia kerja sekarang tidak lagi sekaku dulu. Di masa lalu, seorang profesional di bidang desain mungkin hampir pasti berasal dari sekolah desain atau DKV. Tapi sekarang, yang dibutuhkan adalah karya dan keterampilan nyata, bukan hanya sertifikat.
Banyak praktisi kreatif ini yang berangkat dari sekadar ketertarikan atau hobi yang dikembangkan, memanfaatkan akses internet dan tekun berlatih hingga mampu menghasilkan karya yang bisa bersaing. Mereka tidak memulai karier dengan label "desainer" atau "fotografer," tetapi dengan kemauan kuat untuk belajar dan memperbaiki diri.
Meski demikian, untuk beberapa profesi tertentu, tetap ada jalur formal yang harus dilalui. Untuk jadi dokter, perawat, bidan, pilot, atau profesi-profesi yang menyangkut keselamatan orang lain, pendidikan formal dan sertifikasi tetap wajib hukumnya. Tidak bisa tidak!
Di luar profesi yang mensyaratkan lisensi dan sertifikasi ketat, dunia saat ini memberi kita kebebasan lebih. Cara belajar adalah pilihan kita. Memanfaatkan internet sebagai media belajar mandiri adalah nilai plus tersendiri, terutama bagi mereka yang punya keterbatasan biaya atau waktu.
Dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat, kita bisa belajar lebih cepat dan lebih murah. Tantangannya sekarang bukan lagi soal keterbatasan akses informasi, tapi lebih pada ketekunan dan kegigihan kita untuk memanfaatkan semua itu.
Saya tidak menganggap bahwa saya telah "membuang" cita-cita besar saya di dunia teknik. Malah, semua keterampilan dan pengetahuan teknis yang saya pelajari dulu tetap bermanfaat hingga kini. Ya setidaknya kalau cuman ganti oli, ganti kampas rem, bongkar pasang ban mobil tidak harus ke bengkel.
Tapi, hidup mengajarkan bahwa ada banyak jalur yang bisa membawa kita pada hal-hal menyenangkan, meski jalur tersebut tidak selalu persis seperti yang kita impikan sejak awal.
Dan bagi saya, saat ini, jalan hidup saya adalah menjadi seorang pekerja visual yang belajar dari pengalaman dan dari kesalahan.
Jadi, jika kamu punya impian, kejarlah sejauh yang kamu mampu, dan jangan takut untuk berbelok, karena kadang-kadang jalan yang tidak kita rencanakan justru membawa kita pada tempat yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H